Dengan perasaan tidak menentu Grace mengemudikan mobilnya menuju apartemen tempat tinggalnya. Sesampainya di dalam kamar Grace menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia memejamkan matanya. Pikirannya kembali membara ke dua tahun yang lalu di mana ia dan William kembali dari pesta makan malam.
Sepanjang acara perjamuan makan malam Grace beberapa kali meneguk anggur di gelasnya karena orang-orang di sekitarnya yang terus mendentingkan gelas kepada Grace, ia tidak mungkin menolak karena akan di anggap tidak sopan. Apa lagi perjamuan itu di hadiri oleh orang-orang penting sehingga Grace sebisa mungkin menerima ajakan mereka bersulang. Lagi-lagi demi kesopanan.
Paginya Grace membuka mata kepalnya terasa berdenyut. Gadis itu merasakan ada sesuatu yang tidak benar, bukan hanya kepalanya yang berdenyut tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit. Tubuhnya juga berada di dalam kungkungan lengan kekar seorang pria, lebih parahnya lagi mereka berdua tidak mengenakan pakaian.
Grace tahu siapa pria yang memeluknya dengan erat, rambut keemasan dan aroma maskulinnya. Grace hapal aroma itu karena selama tujuh belas tahun mengenal pemiliknya. Meski begitu diam-diam Grace menikmati aroma itu sebagai aroma yang ia rindukan. Tetapi, ia segera menepis pikiran konyolnya.Grace perlahan melepaskan lengan William, namun tidak di sangka William justru mengeratkan lengannya.
"Aku tidak mengizinkanmu pergi," ucapnya dengan suara serak.
"Tapi Sir...."
William mengeratkan lengannya. "Panggil aku, Willy," katanya.
"T-tapi...."
William agak mencondongkan kepalanya, mata Hazelnya menatap lurus ke arah mata biru Grace. "Grace, sejak saat ini kau wanitaku."
Mata Grace sedikit menyipit menatap mata William, kepalanya menggeleng lemah. Bulir bening di matanya mulai tergelincir dari kelopak matanya. Dadanya terasa sesak hingga tangisnya pun pecah, kesuciannya diambil William saat kesadarannya hilang. William adalah makanya tetapi justru memerkosanya.
"Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanya Grace sambil terisak.
William mengamati wajah Grace tanpa sedikitpun rasa iba. "Kau pikir siapa dirimu? Kau bisa magang di Johanson Corporation adalah caraku membalas penghinaanmu terhadap keluarga Johanson," ucap William. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh kemenangan yang nyata, tatapannya begitu angkuh dan sinis.
Mendengar apa yang di ucapkan William Grace menghentikan tangisnya. Sebisa mungkin ia mengatur napasnya. "Kau?" Grace meraba kepalanya, rambut palsu yang di kenakan di kepalanya tidak ada lagi. Dengan kata lain penyamarannya telah berakhir.
Sudut bibir William terangkat, wajahnya penuh dengan ekspresi menghina. "Kau pikir aku bodoh Grace? Aku tidak bisa kau tipu dengan trik murahanmu itu. Selama ini kau mengira aku bisa kau tipu dengan permainan kekanakamu itu? Jangan bermimpi. Kau bisa bermain dengan caramu tetapi aku adalah seorang Johanson. Kepandaianku di atas rata-rata, kau tidak akan sebanding denganku, Grace," ucapnya.
Bagaimana mungkin aku tidak mngenalimu? Aku telah mengenalmu sejak kau di bawa kembali ke kediaman keluarga Johanson.
Dada Grace terguncang. Perasaannya sangat sakit, ia berusaha mengumpulkan keberanian dan menata emosinya kemudian Grace menghela napasnya pelan. "Apa yang kau inginkan dariku?"
"Apa yang kuinginkan? Aku ingin membalas penghinaanmu karena kau telah menghina keluarga kami dengan menanggalkan nama Johanson di belakang namamu." William mencengkeram rahang Grace dengan sedikit kasar, sorot matanya begitu tajam penuh kebencian menatap Grace.
Grace menepis dengan kasar cengkeraman telapak tangan William meski tidak berhasil karena cengkeraman tangan William sangat kuat bahkan sedikit menyakiti kulit dan rahangnya. "Itu tidak seperti yang kaupikirkan, aku hanya ingin kembali kepada orang tua kandungku," ucap Grace nadanya sedikit meninggi.
Mendengar jawaban Grace tampak rahang William mengeras. Matanya menatap tajam mata Grace "Orang tua? Orang tua seperti apa yang kau inginkan? Apa mereka menginginkanmu? Apa kasih sayang kami keluarga Johanson tidak cukup untukmu?" nada suara William tidak tinggi tetapi nadanya penuh amarah yang tertahan. Kilatan kebencian bahkan tampak jelas di mata Hazelnya. Dan itu sejujurnya sangat menakutkan bagi Grace, seumur hidupnya ni belum 9etnah melihat William begitu marah hingga seperti itu.
Grace terdiam. Bibirnya terkatup rapat, saat ia merasakan cengkeraman William melemah ia segera menyingkirkan telapak tangan William kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi William lalu menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Grace kemabali menangis.
"Patuh dan tinggal bersamaku, jadilah wanitaku," ucap William sambil menarik selimut yang menutupi kepala Grace.
"Kau memerkosaku," ucap Grace di sela isaknya.
Tidak terima di tuduh telah memerkosa, William membalik tubuh Grace dengan paksa. "Aku tidakad memerkosamu," geramnya.
"Kau mengambil kesempatan di saat aku tidak sadar, apa bedanya?" tanya Grace, bibir indahnya tampak sedikit bergetar.
Bibir William telah berada di bibir Grace. Menciuminya dengan kasar dan brutal, menghisap-hisap bibir Grace tanpa memberikan ruang kepada Grace untuk melawan. Kedua telapak tangan Grace yang berada di d**a William berusaha mendorong tubuh William dengan sekuat tenaga tetapi semua usahanya sia-sia. Ia tidak memiliki tenaga dan pastinya tubuh kurusnya tidak sebanding dengan William. Perlahan ciuman William melembut, sangat lembut. Ketika William menggigit bibir Grace secara alami Grace membuka mulutnya dan membiarkan lidah William menyeruak memaksa masuk ke dalam rongga mulut Grace.
Canggung, tentu saja sangat canggung karena Grace tidak pernah berciuman dengan pria mana pun. Seharusnya ini yang pertama tetapi ciuman pertamanya berakhir dengan William yang merupakan kakaknya. William terus menggoda, menyapukan lidahnya hingga menyentuh lidah Grace. Ketika lidah mereka bertemu Grace merasakan gelenyar aneh di tubuhnya, tanpa sadar erangan halus terlepas dari bibirnya.
Tubuh Grace semakin melayang otaknya bahkan terasa kosong manakala jemari William menelusuri kulit di dadanya. William mengakhiri ciuman mereka, bibirnya mulai menjelajah kulit leher Grace. Membuat beberapa kiss mark kemudian lidahnya menari di atas salah satu puncak d**a Grace.
Grace terkesiap, tersadar dari kenikmatan yang menghanyutkan akal sehatnya dan segera mendorong kepala William menjauh dari dadanya.
"Tidak perlu munafik, kau menikmatinya bukan? Seperti tadi malam, aku hanya sedikit menggodamu tetapi kau dengan senang hati menyerahkan dirimu kepadaku, apa kau ingin kita mengulanginya lagi?" William menaikkan sebelah alisnya membuat Grace semakin jengkel melihat ekspresi William yang seolah tidak merasa menyesal telah mengambil kesucian seorang gadis di luar pernikahan. Bahkan tubuh William masih dengan posisi merangkak di atas tubuh Grace dan sekarang wajah mereka begitu dekat. Napas William lembut menyapu kulit wajah Grace.
"Kau melecehkan adikmu...!" ucap Grace. Dadanya terguncang karena amarah. Ia masih saja tidak bisa menerima jika kesucian yang ia pertahankan lenyap begitu saja di renggut di saat ia tidak sadar dan William adalah pria yang merenggut kesuciannya.
"Adik? Aku tidak memiliki adik bernama Grace Elizabeth," kata William sambil bibirnya kembali menyunggingkan senyum sinis yang sangat menghina.
Grace menatap William dengan tatapan benci, ia ingin sekali mencaci-maki, berteriak, mencekik, menampar dan memukuli William yang telah menodainya. Tetapi, ia tidak mampu melajukan semuanya. Di samping tidak memiliki tenaga, semuanya telah terjadi. Waktu tidak mungkin bisa di putar kembali. Selaput dara yang telah robek tidak mungkin bisa menjadi rapat kembali. Grace hanya bisa pasrah menerima bahwa kini ia bukan gadis yang suci lagi.
"Kau benar-benar iblis yang tidak memiliki perasaan." Akhirnya hanya itu yang mampu Grace lontarkan dari sekian banyaknya cacian dan makian yang menjerit di otaknya.
"Aku adalah iblis yang selamanya akan ada di ranjangmu, Grace," ucap William sambil menyeringai penuh kemenangan. "Sebagai balas budi kepada keluarga Johanson aku ingin kau menjadi simpananku selamanya," ucap William.
Simpanan untuk selamanya? Membalas Budi? Menjadi anak yang terlahir di luar pernikahan dan di jual sama sekali bukan kehendakku, mengapa sekarang aku harus membayar dosa yang tidak pernah aku lakukan?
Grace memalingkan wajahnya, ia tidak mampu menatap William lebih lama. Perasaanya saat ini sangat sakit dan kecewa karena perlakuan William. William adalah kakak teraiknya dulu, William selalu memanjakannya. Kini semuanya terpatahkan sudah.
William merebahkan tubuhnya di samping Grace, memeluk tubuh Grace yang kaku penuh kasih sayang. Perlakuannya begitu lembut berbeda dengan beberapa menit yang lalu, William bahkan menciumi rambut di kepala Grace seolah-olah ia tidak pernah berbuat kejahatan terhadap Grace.