Selamat membaca ~
-
“Banyak sekali perhatian yang memudar karena hanya mampu berfokus pada satu hal, yaitu kelebihan. Hingga tidak sadar bahwa ia kehilangan banyak hal setelahnya.”
Galen Gibson Rajendra~
-
Galen tengah bersiap di hadapan kaca yang mampu memberikan pantulan badan serta wajahnya yang tampan. Ia tampak merapikan kemeja kotak navy yang di kenakannya untuk pergi ke kampus hari ini. Ia juga tampak membiarkan rambut hitam legamnya terurai tak beraturan, membiarkan rambutnya mengering dengan sendirinya setelah ia membasuhnya pagi ini.
Setelah bersiap, ia pun tampak menuruni tangga sembari menenteng ransel yang ia letakkan pada punggung tegapnya. Disana, sudah ada keluarganya yang berkumpul untuk melakukan sarapan bersama. Itulah keluarga Rajendra, selalu menyempatkan untuk menghabiskan waktu bersama saat sedang sibuk sekalipun.
“Ry, sarapan dulu sayang.” Ucap Ayana penuh dengan kelembutan saat melihat putra kembarnya menuruni anak tangga.
Disana sudah ada Adira yang duduk dengan rapi melihat hidangan yang Ayana berikan, ada Gavin juga yang tampak bermain ponsel juga ada Leta yang sibuk dengan urusannya sendiri. Galen pun duduk tepat disamping Gavin, dimana itu adalah tempatnya duduk seperti biasa.
“Tumben kamu pagi ini sudah rapi?” ucap Adira menyelidik pada anak keduanya.
“Mau kemana?” lanjutnya dengan menatap Galen yang menatap piring kosong dengan tak minat.
“Kuliah.” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali.
“Kan jam pagi kamu pukul sembilan nanti,”
Adira memang terkenal sangat protective pada ketiga anaknya. Ia bahkan rela menghafal jam kuliah dan sekolah anaknya untuk bisa memastikan bahwa semua anaknya berjalan di jalan yang benar.
“Ada urusan,” balasnya tetap menggunakan nada dingin.
“Apa?”
Terdengar helaan napas besar dari Galen dengan sangat jelas, membuat Adira menajamkan tatapannya pada anaknya yang sangat dingin dan acuh ini. Galen pun kini mengubah arah pandangnya untuk menatap Ayahnya. Sebelumnya, ia tampak merubah tatapan dinginnya menjadi datar.
“Ketemu dosen, mau ngumpulin tugas minggu lalu.” Jelasnya.
Adira pun mengangguk paham. Ayana paham sekali jika Adira dan Ry suka sekali berinteraksi dengan suara maupun tatapan tajam. Ia sebenarnya takut dan sering mengingatkan Adira untuk bersikap lembut pada Ry, apalagi setelah ia memutuskan untuk masuk kedalam Sastra Indonesia. Namun sikap lembut Adira pada Ry adalah dengan cara memperhatikan tingkah dan lingkungan anaknya.
“Kamu gimana kuliahnya?” tanya Adira yang kini mengalihkan pandangannya pada Theo.
Yang diajak berbicara pun tampak tersenyum manis kearah Ayahnya. “Baik, yah.” Balasnya.
“Organisasinya juga lancar? Jangan lupa minum vitamin, soalnya kamu sibuk.” Peringat Adira dengan penuh kelembutan pada anak sulungnya itu.
Gavin hanya mengangguk untuk menanggapi peringatan Ayahnya yang selalu memperhatikan kesehatannya. Disisi lain, ada empat pasang mata yang memperhatikan dua laki-laki ini sedang berinteraksi. Matanya seraya menatap bergantian ekspresi Rajendra dengan laki-laki yang kini sedang diam menikmati makanannya dalam diam.
-
Gavin berjalan menyusuri koridor kampusnya yang sudah ramai. Kini sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, dimana sebentar lagi ia akan memasuki ruang kelas untuk mengikuti mata kuliah pagi. Tapi sebelum itu, ia memutuskan untuk pergi ke ruangan Sekretariat untuk menemui kakak tingkatnya. Ia ingin memberikan formulir yang sudah Gavin isi untuk maju menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa bersama dengan pasangan yang sudah di pilihnya.
“Gavin, ngapain kesini pagi-pagi?” tanya gadis berambut panjang saat mendapati Gavin masuk kedalam ruang Sekretariat tanpa suara.
Gavin pun menyerahkan selembar kertas putih yang sudah tertulis namanya sebagai calon Kahim bersama pasangannya. Lawan bicaranya pun mengambil namun tidak mendapatkan atensi dari sang empu.
“Mau maju?” tanya gadis itu lagi.
“Bang, kalau penerus lo modelannya begini. Makin booming fakultas kita,” sahut salah seorang laki-laki berambut gondrong dengan menepuk bahu ketuanya agar mendapatkan atensi.
Bagaimana tidak, Fakultas Ekonomi dan Bisnis terkenal memiliki mahasiswa dan mahasiswi tampan dan cantik seantero kampus mereka. Tidak ada yang tidak mengenal anak FEBI ini, bahkan orang awam sekalipun.
Yang diajak berbicara pun menyahut, ia tersenyum puas melihat Gavin dengan wajah datarnya meskipun sudah di goda oleh kakak tingkatnya berkali-kali.
“Gitu dong, maju. Masa jadi anggota terus.” Ucap lelaki yang memiliki tinggi sama seperti Gavin itu menepuk bahu milik Gavin.
Dareen, mahasiswa semester akhir. Ia sudah menjabat sebagai Ketua Himpunan selama satu dekade, dan saat ini sedang ada pembukaan untuk pencalonan pemimpin selanjutnya. Dareen yang melihat potensi besar dalam diri Gavin, ia pun menyarankan Gavin untuk maju dan memimpin Himpunan lebih baik lagi.
Tidak mudah untuk Dareen meyakinkan Gavin agar bisa maju. Pasalnya Gavin selalu menolak jika di daulat sebagai pemimpin, bahkan untuk menjadi Ketua Divisi sekalipun. Tapi Dareen kini tersenyum puas saat melihat Gavin datang dengan selembar kertas putih berisikan namanya untuk maju sebagai kandidat ketua selanjutnya.
-
Galen memarkirkan motornya di sebuah pekarangan luas yang juga banyak motor disana. Ia pun turun dan melepas helm yang digunakannya sebelum berjalan masuk kedalam rumah tua besar disana. Perlahan tapi pasti, langkahnya terus menuntunnya untuk masuk kedalam rumah itu. Tapat setelah ia berhasil membuka pintu, terdengar dengan jelas suara berat laki-laki yang sedang asik bermain bersama.
“Galen, datang juga lo.” Sapa seorang laki-laki dengan alis tebal.
Galen tersenyum tipis sembari bersalaman dengan semua temannya yang sudah berkumpul disana. Ya, ini adalah geng motor yang Galen ikuti lebih dari dua tahun belakangan. Tidak ada yang tahu jika Galen bergabung dengan perkumpulan seperti ini saat berada di luar rumah dan kampus. Bahkan Adira yang overprotectif terhadap anak-anaknya pun sedikit lengah karena meninggalkan Galen yang ternyata bermain di belakangnya.
“Gak kuliah bos?”
Galen menggeleng, “Masih nanti.” Balasnya dengan mendekati meja billiard.
Galen pun mengambil Cue (stik billiard) dari tangan lelaki tinggi dan tampan di sebelahnya. Ia pun tampak memainkan billiard tanpa suara, seperti biasanya. Teman-temannya hanya saling pandang meskipun sudah biasa melihat Galen diam sepanjang perkumpulan mereka.
Galen tampak fokus dengan permainannya saat ini. Tidak sulit untuk Galen dalam bermain billiard yang ditekuninya sejak dua tahun yang lalu. Tak lama, terdengar suara sorakan senang yang menggema seantero ruangan saat melihat Galen berhasil memenangkan permainan melawan Jhonny.
“Elah, ngalah dong sekali-kali.” Ucap Jhonny kesal karena selalu kalah saat bermain dengan Galen.
“Padahal gue lawan Adnan tadi udah mau menang,” sungut Jhonny.
“Kalah mah harus legowo, biar bisa dapet cewek cantik,” sahut Ben dengan merangkul bahu Galen sebagai tanda bangga.
“Apa hubungannya bego.” Sarkas Jhonny malas dengan menoyor kepala Ben kesal.
“Besok malam ada balapan di jalan Gupendung,” ucap Cakra yang duduk di sofa dengan pandangan yang fokus pada layar ponselnya.
“Siapa lawan siapa bang?” sahut Ben yang kini mengalihkan pandangannya untuk menatap Cakra, orang tertua di dalam kumpulan mereka.
Cakra pun mendongak, matanya bergerak untuk menatap Galen yang juga menatapnya datar. “Eric lawan Deon. Dan yang menang akan lawan Galen,” jawab Cakra.
“Kok Galen? Apa hubungannya?” tanya Adnan yang kini ikut dalam pembicaraan mereka.
“Mereka ngga terima kalah dari Galen yang masih awam dalam balapan.” Balasnya.
Galen pun mengalihkan pandangannya, kini ia tidak lagi tertarik dalam bahasan yang dibicarakan oleh Cakra. Galen pun melepaskan rangkulan lengan Ben yang berada di pundaknya. Ia meraih tasnya dan hendak keluar dari rumah tua itu untuk pergi ke kampus.
“Lo harus terima,” ucap Cakra saat tidak mendapatkan reaksi dari Galen.
“Gue sibuk,” balasnya singkat.
“Untuk kepentingan diri lo. Lo tahu Eric kayak apa kan?” sahut Cakra yang memikirkan keadaan Galen.
Galen berhenti, terdengar helaan napas kasar yang keluar dari hidungnya. “Gue akan lawan setelah berhasil maju jadi Kahim bareng Sena.” Ucapnya final.
Ben yang melihat Galen sudah berjalan lebih dulu pun kini mengejarnya. Ia tidak membawa sepeda untuk berangkat ke kampus, maka dari itu ia ingin menebeng Galen untuk berangkat bersama. Karena mereka juga satu Universitas, Fakultas, Jurusan, dan Kelas.
Benny Haris Tirtatmaja, lelaki berambut sedikit gondrong namun terlihat rapi. Memiliki tinggi yang sama persis dengan Galen. Ia merupakan pribadi yang supel dan cenderung cerewet untuk menghidupkan suasana, apalagi saat ia bersama Galen yang irit bicara. Ia dan Galen merupakan teman sejak mereka awal masuk kampus. Ben juga yang mengenalkan Grayezt pada Galen.
Grayezt sendiri adalah nama perkumpulan geng motor mereka. Ben juga yang mengajarkan pada Galen untuk sedikit nakal namun dalam batas wajar. Karena bagi Ben, nakal adalah seni kehidupan. Tidak seru jika hidup tanpa adanya alur yang dapat menantang jiwanya yang tenang. Maka dari itu, Galen pun bergabung hanya untuk melarikan diri dari tekanan hidup yang sudah menghantuinya.
Dari sinilah ia mulai berbohong pada kedua orang tuanya yang selalu menganggapnya sebagai pribadi yang dingin, pendiam, dan polos. Mungkin itulah alasan kenapa kedua orang tuanya sama sekali tidak menghkawatirkan dimanapun Galen berada. Tidak seperti Gavin yang sangat sibuk dalam Organisasi kampus yang positif.
-
Galen melangkah menjauh dari parkiran motor bersama Ben yang tadi ikut dengannya. Dengan tatapan dan wajah datarnya, membuat pesonanya keluar. Mas sastra dengan segala pesona yang mampu di gambarkan dengan indah menggunakan sajak-sajak istimewa sastra. Berhasil mengambil alih atensi mahasiswi yang melewatinya karena terlena akan pesonanya.
Galen menghela napas berat saat pandangannya tak sengaja saling bertatapan dengan Gavin yang juga barusaja lewat di hadapannya. Galen pun menatap saudaranya tanpa minat, ia lebih memilih untuk mengalihkan pandangannya dan memutar arah untuk menghindari berpapasan dengan Gavin.
Selalu, Galen seolah menyembunyikan kenyataan bahwa ia kembar dengan Gavin. Mereka memang kembar, tapi tidak identik. Mereka lebih condong mirip pada salah satu dari kedua orang tuanya. Gavin lebih mirip dengan Ayana, sedangkan Galen mirip dengan Adira. Maka dari itu, tidak banyak yang menyadari akan kemiripan mereka.
Sedangkan Ben mengangguk sopan saat menyadari bahwa temannya itu terus di perhatikan oleh laki-laki yang asing baginya.
“Dia siapa? Kok ngeliatin lo terus?” bisik Ben pada Galen sembari matanya yang terus menatap punggung Gavin yang sudah berlalu.
Tidak menjawab, Galen hanya menggedikkan bahu acuh. Tak mau memberi tanggapan ataupun jawaban pada pertanyaannya Ben. Ia terus melangkah menuju fakultasnya dalam diam.