Rumah Sena

2202 Words
Selamat membaca~ - “Sepertinya tuhan bangga setelah berhasil menciptakan gadis seperti mu. Penuh akan warna indah yang selalu mengitari.” Galen Gibson Rajendra~    -               Sena melangkah masuk kedalam ruang kelas. Ia segaja berangkat pagi ini karena takut macet, dan tepat hari ini juga dosen killer sedang mengajar di kelasnya. Alhasil lah ia berangkat lebih awal untuk menghindari semburan yang biasa dosen killer berikan padanya.             Ia pun duduk di bangku belakang dalam diam, padahal teman-temannya sudah membuat kelompok untuk melakukan sesi ghibah. Sena bukanlah tipe orang yang suka dalam mengomentari urusan orang, karena ia sudah cukup pusing dan lelah dengan hidupnya sendiri. “Sena, lo tadi di cariin sama anak FEBI,” ucap salah seorang teman kelas Sena berambut sebahu.             Sena mengernyit, ia menatap bingung gadis bernama Belinda itu. Belinda adalah satu-satunya orang yang berambisi untuk menjadikan Sena sebagai temannya. Karena Sena tidak terlalu mengurusi sekitar, ia pun tidak peduli jika temannya hanya singgah padanya untuk sementara. Toh ia juga tetap hidup dibawah kakinya sendiri. “Siapa?” “Itu loh, si ganteng.” Balas Belinda tanpa spesifik yang pasti. “Ya kan semua anak FEBI ganteng menurut lo,” jawab Sena dengan menghela jengah.             Belinda terkekeh malu, ia pun membelalakkan matanya saat ingat siapa namanya. “Gavin,” ingatnya.             Mulut Sena membulat, tanda ia paham. “Kenapa?”             Belinda tampak memberikan sebuah buku pada Sena. Ia pun menerimanya dengan guratan senyum yang terlihat sangat manis. Ternyata dibalik itu semua, ada Galen yang kini terpaku melihat senyuman manis milik Sena yang sudah terumbar untuk umum di pagi hari. “Thanks ya.” Ucap Sena pada Belinda.             Sena pun menyimpan buku yang diberikan Gavin kedalam tas miliknya. Kini Galen melangkah mendekati sang calon wakil yang akan menemaninya untuk maju sebagai ketua. “Gimana?” tanya Galen dengan duduk di bangku samping Sena yang kosong.             Sena melirik Galen tak minat. Terdengar hembusan napas panjang yang keluar dari hidungnya. “Masih pagi, harus banget ya?” tanya Sena balik tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan Galen tadi. “Harus. Mau gue kirim ke ruang Sekretariat formulirnya.” Tegas Galen.             Sena diam, matanya kini tampak melihat Galen dengan lamat. Ia menatapnya seolah sedang memindai kepribadian seseorang. Yang di tatap pun memasang wajah datar meskipun sorot mata Sena terus memindainya. “Lo ngga takut kalah dengan kepribadian lo kayak gini?” tanya Sena kemudian.             Sena menghela napas, “Gue sih yakin, ngga akan ada yang milih ketua modelan kayak lo.” Lanjutnya tak gentar berusaha menurunkan minat Galen untuk mengajukan diri menjadi Ketua Himpunan. “Itu fungsinya gue ajak lo maju sebagai Wakil Ketua Himpunan, Senakila.” Jawab Galen dengan nada tegasnya.             Sena menutup mata geram, rupanya Galen sangat keras kepala karena ambisi yang memenuhi jiwa, hati, dan raganya. Sebenarnya, Sena merupakan anggota aktif di Himpunan. Ia merupakan anggota divisi Informasi dan Komunikasi, dan akan di ajukan oleh Ketua Divisinya sebagai Wakil di Periode yang akan berganti. Sena memiliki keterampilan dan kerja yang baik selama ia aktif menjadi mahasiswa di Himpunan. Ia turut menyumbang ide untuk keberlangsungan program kerja divisinya. Jadilah ia menjadi anggota kesayangan divisinya, juga karena kepribadiannya. “Sebenarnya, gue udah di ke--” “Di keep sebagai Wakil Divisi periode selanjutnya sama bang Tyo,” tembak Galen paham dengan arah pembicaraan Sena.             Sena membulatkan matanya karena terkejut dengan tembakan Galen yang pas mengenai sasaran. Bagaimana ia tahu jika Sena akan maju sebagai Wakil  Ketua Divisi? Padahal sebelumnya mereka tidak saling mengenal.             Sena kini mengganti tatapannya dengan selidik, ia curiga dengan Galen yang tahu tentang dirinya sendiri. Bahkan kepribadian yang tidak Sena sadari, Galen bisa tahu begitu saja. Kini Galen yang terus di tatap pun menghela napas panjang, ia lelah dengan debat tak ada arti seperti ini. “Gue udah ngomong sama bang Tyo. Dan dia lepasin lo buat maju jadi Wakahim bareng gue,” lanjut Galen yang kini mendapatkan anggukan paham dari Sena.             Sena diam, beberapa pertanyaan sebenarnya terputar dengan jelas di otaknya. Namun sebisa mungkin ia menyaring pertanyaannya, karena Galen pun belum pasti menjawab semua pertanyaannya. “Gue mau tanya sesuatu,” ucap Sena yang lebih tepatnya meminta izin. “Apa?” “Alasan lo maju jadi Wakahim itu apa?” “CV kerja,” balasnya singkat. “Wah, gila lo.” Balas Sena terkejut dengan alasan Galen yang sangat melukai harga dirinya. “Gue ngga munafik,” “Ya tapi, dengan alasan awal lo kayak gini ngga akan bisa bikin Himp--” “Gue udah susun beberapa proker untuk memperbaiki Himpunan. Biar Himpunan Fakultas Ilmu dan Budaya bisa di pandang apik seperti Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Bukan karena orangnya, tapi karena kemampuan kerja dalam menyelesaikan setiap program kerja dengan baik.” Sela Galen dengan nada bicara dan wajah datarnya untuk menanggapi emosi Sena yang perlahan mulai tersulut.             Sena bungkam setelah mendapat sela atas jawaban yang di berikan Galen barusan. Tidak ada niatan untuknya menjawab dengan nada kesal lagi. Menurut Sena, niat Galen baik terhadap pertumbuhan Himpunan yang masih berusaha untuk terus maju. Ia setuju dengan alasan yang Galen berikan kali ini. “Gimana? Lo mau kan?” tanya Galen lagi saat tak mendapatkan respon dari Sena. “Kenapa harus gue?” tanya Sena lagi.             Galen menghela napas, “Lo suka banget ya dengar orang puji kelebihan lo?” “Nyatanya begitu.” Jawab Sena percaya diri. “Lo bisa seimbangin gue. Lo ramah dan mudah bergaul, lo percaya diri dengan semua keadaan yang ada dihadapan lo. Lo sempurna dengan karakter yang ada di diri lo.” Ucap Galen namun tetap dengan wajahnya yang tanpa ekspresi.             Sena diam, ia tampak menarik napasnya panjang sebelum ia akhirnya menjulurkan tangan kanannya agar bisa berjabat tangan dengan lelaki batu di hadapannya. Galen mengernyit bingung, ia merasa bingung dengan Sena yang tiba-tiba ramah dengan dirinya hanya karena ingin berjabat tangan.             Tanpa pikir lama pun, Galen akhirnya berbalik untuk menjabat tangan Sena yang masih menggantung di udara. “Gue terima tawaran lo. Selamat sudah menjadi rekan kerja gue,” ucap Sena dengan senyum manis yang ia berikan pada Galen.             Galen tertegun melihat senyum Sena dari dekat. Selama ini, ia hanya mampu melihat senyum manis Sena dari kejauhan saja. Tapi, mungkin jika mereka terpilih menjadi Kahim dan Wakahim di Periode ini, senyum Sena akan menjadi asupan untuk membuatnya semangat kali ini.   -                 Kelas terakhir sudah selesai pukul empat sore, rasanya melelahkan untuk Sena yang hari ini memiliki jadwal sangat padat. Belum lagi, tadi ia sempat mengikuti rapat divisi Infokom sebelum masuk di kelas terakhirnya. Rasanya Sena ingin cepat berbaring di kamar miliknya.             Sena merogoh kantung celananya saat merasakan getaran akibat ponselnya. Ia mengernyit bingung saat mendapati panggilan dari nomor asing yang tidak ia simpan pada ponselnya. Dengan ragu, ia pun menjawab telephone tersebut. `Halo?` sapa Sena dengan ragu. `Nanti jam 7 malam, gue ke kosan lo.` `Apaan sih, orang gue tinggal sama orang tua,` `Yaudah, nanti gue kerumah lo,` `Ngga ada. Lagian mau ngapain sih malam-malam?` `Mau ketemu calon mertua`             Hening, nampaknya Sena terkejut dengan ucapan Galen barusan. Meskipun ia selalu kesal dengan Galen, tapi jika ia selalu di goda juga akan lemah. Namanya juga manusia. `Mau susun program kerja Himpunan buat rapat besok, Senakila.` `Harus banget ya hari ini?` `Harus.` `Tapi kan kata lo udah punya proker buat di ajuin pas rapat,` `Punya. Tapi kita team, bukan cuma gue yang maju buat memimpin Himpunan nantinya, Senakila.` `Gue capek banget hari ini Len,` `Masih ada waktu buat istirahat,` `Tapi gu--`             Sena mengumpat dalam diam saat telephone terputus secara sepihak. Sena pun memejamkan matanya sembari menghela napas lelah menghadapi rekannya ini. Sepertinya ia harus belajar untuk melatih kesabarannya jika ia benar-benar menjadi rekan kerja di Himpunan Periode ini.   -                 Sena tampak berjalan menuju depan rumah saat Galen sudah menelphonenya untuk segera keluar. Sena kini hanya terbalut celana pendek selutut, dengan kaos putih kebesaran yang melekat pada tubuhnya, membuatnya terlihat semakin kecil karena tenggelam pada kaos yang dikenakannya. “Masuk Len,” ucap Sena pada Galen yang masih setia diatas motor besarnya. “Bukain gerbangnya,” “Manja banget sih, turun kek buka sendiri.” Ucap Sena kesal tetapi tetap menuruti ucapan Galen.             Sena membuka gerbang dengan hatinya yang terus meruntuki kehadiran Galen malam ini di rumahnya. Pasalnya ia masih kesal dengan Galen yang memutuskan panggilan secara sepihak, juga ia merasa sangat lelah hari ini. “Gue tamu,” “Siapa juga yang anggap lo sebagai majikan. Bisa gila,” jawab Sena dengan sewot saat Galen sudah memasuki halaman rumahnya. “Kok lo motoran?” tanya Sena tiba-tiba saat menyadari bahwa Galen menaiki motor saat kerumahnya.             Galen mengernyit bingung dengan pertanyaan Sena, bukankah saat di kampus ia juga menaiki motor yang sama? Tapi kenapa Sena bertanya seperti ini padanya. “Kenapa emangnya?”             Kini Sena yang tampak bingung dengan jawaban Galen. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena merasa gugup akan pertanyaan yang dilontarkan Galen barusan. “Gapapa sih, kan cuaca juga lagi mendung. Takut hujan aja.” Balas Sena sebelum akhirnya ia bergerak lebih dulu untuk masuk kedalam rumah.             Galen melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah milik Sena. Sorot matanya tampak memindai seluruh sudut rumah Sena secara bergantian. Ia merasa takjub dengan rumah besar dan bersih ini. Banyak ornamen yang menghias ruang tamu menjadi semakin indah, seperti beberapa ukiran di tembok dan meja yang digunakan untuk menyusun foto keluarga.             Galen menyipitkan matanya saat melihat ada seorang lelaki yang tampak tak asing baginya, ikut berfose formal bersama keluarganya. “Bang Jeno?” lirihnya. “Lo mau minum apa?” tanya Sena setelah mempersilahkan Galen untuk duduk. “Apa aja,” “Air selokan mau?”             Galen menatap sinis gadis dihadapannya itu dengan wajah datar. Sedangkan Sena pun juga membalas tatapan itu seolah menantang, `Lo mau apa?!` “Adek mulutnya ngga boleh gitu dong sama tamu,”             Terdengar suara yang berhasil membuat tatapan mereka saling terlepas. Terlihat ada wanita paruh baya dengan wajahnya yang masih terlihat amat muda, dan memiliki senyum persis seperti Sena. Sangat manis. Galen pun bangkit dan tampak menyalimi Ibu Sena dengan sopan. “Yakin ini teman adek?” tanya wanita itu saat melihat wajah tampan Galen. “Bubu apaan sih, orang cuma teman.” Balas Sena dengan memajukan bibirnya karena kesal.             Wanita yang biasa di panggil Bubu oleh anaknya ini hanya tertawa gemas melihat tingkah gadisnya yang masih terlihat seperti anak-anak jika dekat dengannya. Sedangkan Galen, tanpa disadari sudut bibirnya mulai tertarik dengan samar saat melihat ekspresi wajah kesal Sena. “Yaudah, bantuin Bubu ambil makanan sama minuman buat teman adek.” Balas wanita itu pada Sena. “Lo duduk aja dulu.” Ucap Sena pada Galen sebelum akhirnya hilang bersama sang Ibu di balik tembok besar. “Bang, ajak ngobrol teman adek dulu di bawah.” Teriak sang Ibu pada anak lelakinya yang bersarang pada kamarnya.             Galen pun mengacuhkan suara Ibu Sena karena ia tidak ingin ikut campur dalam urusan. Ia pun berusaha untuk menyamankan dirinya dalam diam. Bersama dengan pikiran-pikiran yang terus berputar pada otak pintarnya. “Loh, Galen.”             Galen mendongak kearah sumber suara saat namanya di panggil dengan sangat jelas. Ia membelalakkan matanya saat melihat Jeno secara langsung. Ia terkejut, pasalnya ia dan Jeno bisa dibilang dekat saat berkumpul dalam geng motor mereka. Tetapi kedetakan mereka rupanya hanya dirasakan oleh Galen, Jeno menghilang tiba-tiba tanpa memberikan alasan. Bahkan Galen pun sempat mengiriminya pesan hanya untuk menanyakan kabar tentangnya, namun tidak kunjung mendapatkan balasan. “Lo apa kabar?” tanya Jeno dengan memeluk tubuh Galen layaknya pria sejati. “Baik bang,”             Wajah tak percaya nampaknya tercetak dengan sangat jelas pada raut Galen. Jeno yang melihat pun hanya tertawa melihat adiknya yang terkejut akan kehadirannya. “Lo temannya Sena? Atau pacarnya?” tanya Jeno menyelidik. “Teman lah,” “Ngga mau lebih?” “Lo apa kabar?”             Tawa Jeno semakin menggelegar saat Galen dengan kasarnya mengalihkan pembicaraan mereka. Dengan jelas bahwa Galen saat ini terlihat gugup saat berhadapan dengannya. “Seperti yang lo lihat,” “Anak-anak kangen sama lo bang,” balas Galen dengan menatap Jeno sendu. “Lo atau anak-anak?” “Gue sih.” Balasnya tanpa elakan sama sekali.             Jeno adalah anggota tertua kedua setelah Cakra. Jeno memiliki sikap dan sifat yang tidak peduli akan apapun dihadapannya, sangat persis dengan Galen saat ini. Sikap Jeno yang dingin namun selalu memperhatikan dan peduli, keras kepala namun tidak mudah tersulut emosi, membuat Galen kagum akan sosok Jeno yang bisa mengendalikan emosinya dengan baik.             Tak jarang jika orang yang belum mengenal Jeno lebih dalam, ia akan merasa bahwa Jeno adalah orang yang kaku, cuek, dan dingin. Tidak bisa diajak untuk berteman dan bersenang-senang. Namun mereka salah jika menganggap Jeno demikian. Galen yang berhasil menembus dinding pembatas milik Jeno pun merasa sangat kehilangan saat laki-laki ini harus menghilang tanpa kabar, tidak seperti anggota lainnya yang merasa bersyukur karena tidak ada lagi hawa dingin yang mengitari. “Kayaknya mulai sekarang gue ngga bisa lagi hilang dari lo,” ucap Jeno dengan menepuk pundak Galen.             Galen mengernyit bingung akan perkataan Jeno. Hendak ia membuka mulut, tapi Sena sudah datang dengan nampan berisi makanan juga minuman disana. Sorot mata Galen pun tampak memperhatikan gadis di hadapannya ini yang sibuk dengan barang bawaannya. “Kok udah akrab sih?” tanya Sena bingung saat melihat kakaknya menepuk pundak Galen akrab. “Namanya juga laki-laki,” jawab Jeno santai menanggapi pertanyaan adiknya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD