Zona nyaman

1795 Words
Selamat membaca~ Maaf jika banyak typo dalam penulisan cerita - “Hujan akan selalu menjadi tempat kesalahan seseorang. Ia salah jika turun karena bisa menyebabkan banjir, dan ia salah jika tidak turun karena tanah menjadi tandus. Sama halnya dengan hidup ku.” Galen Gibson Rajendra -                 Galen mengeluarkan buku yang sudah ia coret-coret untuk membuat misi agar mereka dapat memenangkan pemilihan Kahim dan Wakahim yang akan di laksanakan besok siang. “Gue pilih Ben, Tika, Gilang, sama Vanna buat jadi team sukses kita,” ucap Galen dengan menunjukkan gambaran yang sudah ia tulis rapi disana.             Sena tertegun melihat tulisan tangan Galen yang begitu rapi, layaknya menulis pada mesin tik. Tidak ada cacat dalam mengukir setiap abjadnya disana. Galen bingung dengan Sena yang tiba-tiba saja diam dan berfokus pada tulisan tangannya. “Paham ngga sama yang gue omongin?” tegur Galen dan berhasil membuyarkan lamunan Sena. “Orang-orang berisik semua yang lo tunjuk,” gerutu Sena malas saat mengenali mereka semua. “Ya kan emang fungsinya orang berisik begitu. Dengan bantuan mereka, kita bisa dikenal circle mereka yang gue yakini pasti banyak,” jelas Galen pada Sena. “Serah lo deh. Terus tugas gue apaan? Orang udah lo selesain semua,” tanya Sena dengan menatap Galen bingung.             Tanpa menjawab, Galen kini menutup bukunya. Ia beralih untuk berfokus pada laptopnya dan membuka satu file yang berisikan susunan visi dan misi yang akan mereka bawa selama rapat Demisioner besok. “Baca,” Galen menyerahkan laptopnya untuk berpindah alih pada Sena.             Sena pun menurutinya dan kini ia memfokuskan pikirannya pada setiap ketikan yang sudah Galen susun dengan rapi. Suasana hening kini menjalar menemani malam mereka. Sena yang memang mudah bergaul, tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa mengikis jarak antara dirinya dengan Galen. Setidaknya mereka tidak secanggung saat awal bertemu. “Kenapa lo panggil Bubu ke Ibu lo?” tanya Galen memecah keheningan.             Sena mengangkat kepalanya, ia menatap Galen sekilas sebelum kembali berfokus pada layar laptop yang masih menyala. “Waktu gue masih kecil, gue ngga bisa bilang Ibu. Bisanya cuma Bu, Bu doang. Jadilah gue panggil Ibu itu Bubu.” Jelas Sena yang membuat Galen mengangguk paham. “Bang Jeno itu abang lo?” tanya Galen lagi yang masih penasaran akan keluarga Sena. “Bukan,”             Nampaknya jawaban Sena berhasil membuat Galen terkejut. “Kok dia ada di foto keluarga lo?” tanya Galen lagi memastikan. “Ck, ya lo lihat aja sendiri. Lo pintar kan? Tahu dong artinya apa kalau Jeno ada di foto keluarga gue.” Jawab Sena dengan ketus membuat Galen bungkam.             Galen bungkam lantaran ia terkejut dengan nada bicara Sena yang setengah berteriak kesal padanya. Galen pun mengerjapkan kedua matanya bingung, berusaha mencari letak kesalahannya sendiri. “Galak banget adek sama temannya,” ucap Ibu Sena yang kini menaruh beberapa makanan ringan untuk mereka belajar. “Makasih tante,” ucap Galen dengan senyum manis kearah Ibu Sena. “Padahal lebih galakan dia,” jawab Sena yang langsung mendapatkan tatapan tajam sang Ibu. “Sena emang gitu orangnya. Maklumin aja ya Galen. Kalau gitu tante tinggal dulu keatas,” pamit Ibu Sena untuk memberikan ruang lebih bagi mereka.             Sena pun kembali mengumpulkan fokusnya pada layar laptop yang masih menyala. Ia membaca setiap visi dan misi hasil pemikiran Galen selama berminggu-minggu untuk bisa lolos menjadi Ketua Himpunan di Periode ini. “Gue setuju,” balas Sena setelah selesai membaca dan memahami setiap isinya. “Untuk PSDM lo yang atur. Urusan lainnya biar gue,” ucap Galen dengan fokus mematikan laptopnya. “Lo emang udah prepare dan serius banget ya buat maju,” sahut Sena dengan menatap Galen dari samping.             Galen pun kini menoleh kearah Sena. Ia menatapnya tajam seolah sorotnya berubah menjadi serius. “Gue ngga pernah main-main sama apa yang gue jalani.” Jawab Galen tegas.   -                 Galen melangkah masuk kedalam rumah besar berwarna putih tulang tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat ia tiba di rumah, saat ia baru saja membuka pintu pun ia langsung di suguhkan pemandangan hangat bagi siapapun yang melihatnya, namun tidak dengan Galen. Ia jengah melihat keluarganya berkumpul dan bisa tertawa lepas, sedangkan tidak dengannya. “Kak baru pulang?” sapa Zea saat melihat Kakak keduanya itu baru saja tiba di rumah.             Tanpa menjawab maupun memberikan salam, Galen terus melangkah masuk kedalam rumah. Namun suara besar Adira mampu mengintrupsinya dan membuatnya menghentikan langkah besarnya itu. “Semakin besar, semakin berkurang rasa sopan kamu ke orang tua? Di tanya juga bukannya jawab, malah pergi gitu aja. Apa di dalam Sastra tidak di ajarkan untuk menghormati orang?” ucap Adira kepada anak tengahnya itu.             Galen mengalah, ia pun berbalik dan menyalami orang tuanya secara sopan. Namun Adira tidak kunjung membalas salam dari Galen, dan terus menyalahkan perubahan sikap Galen. “Inilah sebabnya Ayah ngga bolehin kamu masuk Sastra,” “Ini ngga ada hubungannya sama Sastra!” tegas Galen dengan suara tertahan. “Ada. Buktinya setelah kamu masuk Sastra, kamu semakin kurang ajar sama orang tua dan saudara,” teriak Adira tepat di hadapan wajah Galen. “Coba kamu lihat Theo, sikap dan sifatnya baik.” Lanjut Adira yang kini membandingkan Galen dengan Gavin. “Lagi?” tantang Galen.             Galen tersenyum miring, rautnya nampak menantang dengan membalas tatapan Adira tajam. “Theo bukan Ry. Theo cuma ngga berani keluar dari zona nyamannya untuk mengeskplor dirinya sendiri, sejauh mana dia bisa menghadapi kerasnya dunia. Harusnya Ayah juga sadar akan perubahan sifat dan sikap Ry belakangan ini.” tegas Galen. “Kamu salahin Ayah?” tanya Adira balik tak terima.             Galen mengangguk, “Ayah terlalu fokus dengan satu hal. Sampai lupa kalau Ayah sudah kehilangan hal lain.” Balas Galen.             Galen pun berbalik dan segera menuju kamarnya untuk menyudahi pertengkarannya dengan Adira yang tak ada habisnya. Ia menghela napas beratnya setelah mendudukkan diri di atas dinginnya lantai. Galen sudah menutup pintu kamarnya, ia tidak ingin di ganggu di saat pikirannya penuh seperti ini.             Galen mengusak rambutnya kasar, mencoba untuk membuang segala hal yang membuat kepalanya terasa berat. Tidak mendapatkan support keluarga membuatnya semakin sulit dalam menjalani hidup. Galen yang terlihat dingin dan tidak perduli dengan sekitar, rupanya menyimpan rasa dendam terhadap dirinya sendiri. Ia bahkan menyebut dirinya sebagai pecundang.             Terdengar suara ketukan pintu, Galen terperanjat kaget dan segera memperbaiki raut wajahnya saat mendengar suara Ayana dari luar. “Boleh Bunda masuk?” tanya Ayana dari luar kamar Galen.             Galen pun membukakan pintu agar Ayana bisa masuk. Sepertinya memang benar bahwa anak pertama lebih dekat dengan Ayahanya, dan anak kedua lebih dekat dengan Ibunya. Galen merasa nyaman berada di dekat Ayana yang tidak pernah sekalipun memarahinya.             Ayana tersenyum manis kearah Galen setelah pintu berhasil di bukanya. Ia pun menangkup wajah Galen menggunakan kedua tangannya. “Ganteng banget sih anak Bunda,” ucap Ayana yang berhasil membuat semua emosi yang tertanam pada diri Galen seketika luruh. “Tapi sayang suka nangis sendiri.” Lanjut Ayana yang kini mengusap kelopak mata Galen.             Ia pun berjalan masuk kedalam kamar Galen dan menggandeng tangan Galen. Ia duduk di tepi ranjang milik anaknya itu, sembari menyuruh Galen duduk bersamanya. “Mau dengar Bunda cerita ngga Kak?” tawar Ayana yang kemudian di anggukin oleh Galen.             Ayana pun menepuk pahanya, ia menyuruh anaknya itu agar berbaring diatas pahanya dan mencari posisi ternyaman. Galen menurutinya dan langsung berbaring. Ayana tahu jika anaknya ini merasa lelah. “Bunda ingat banget, dulu itu kamu paling usil dari Abang dan juga Adek,”  ucap Ayana dengan nada lembutnya, sembari tangannya mengusap lembut kepala Galen. “Pernah waktu kalian di titipin ke Oma sama Opa Rajendra, kamu berhasil buat mereka angkat tangan karena udah lelah sama kelakuan kamu yang usilnya minta ampun,” sambung Ayana yang tampak mendapati kekehan kecil dari anaknya itu.             Ayana tertegun melihat senyum manis milik Galen yang sama persis dengan suaminya. Kini tangan Ayana terulur untuk mengusap setiap sudut wajah tampan milik Galen. “Setiap lihat Kakak, Bunda merasa lihat diri sendiri. Karena kepribadian Kakak mirip banget sama Bunda,” ucap Ayana yang tampak mengingat masa lalunya. “Kakak selalu berani untuk keluar dari zona nyaman, Kakak tangguh dalam menghadapi semua masalah yang menghadang, tanpa mau mengusik Bunda atau Ayah sekalipun,”             Kini tangan Ayana bergerak untuk mengusap lembut kelopak mata dan alis tebal milik Galen. Matanya berubah sendu saat mendapati sisa air mata yang dikeluarkan anak tengahnya itu. “Tapi Kakak harus tahu, ada satu hal yang sangat Bunda takuti tentang Kakak,” lanjut Ayana yang kini membuat Galen menatap kearahnya. “Apa Bunda?”             Tangan Ayana kini beralih untuk menunjuk d**a busung milik Galen. Ia mengetuk d**a milik Galen dengan lembut, sebelum akhirnya mengusapnya dengan pelan. “Kamu masih muda, Bunda ngga mau kamu sakit seperti apa yang pernah Bunda rasakan dulu. Karena itu memang ngga enak Kak,” jawab Ayana yang berhasil membuat Galen termenung.             Galen kini mengubah posisinya untuk duduk menghadap Ayana, ia menatap Ayana seolah terkejut karena pada dasarnya Ayana tidak pernah menceritakan hal ini padanya. “Bunda dulu selalu memendam apa yang menjadikan sesak untuk d**a Bunda, ngga pernah cerita ke siapapun waktu Bunda merasa sedih, ataupun takut. Semua Bunda tanggung sendiri. Sampai akhirnya d**a Bunda sering ngerasa sakit dan nyeri setiap kali Bunda sedih ataupun takut. Eh ternyata itu penyakit yang di sebabkan pemikiran Bunda sendiri yang selalu memendam dan enggan untuk cerita ke orang lain,” lanjut Ayana yang masih di dengarkan dengan saksama oleh Galen.             Ayana meraih kedua tagan besar milik anaknya. Ia mengusapnya pelan seraya menatap lembut kearah mata tajam Galen yang sama persis dengan milik Adira. Jika di gambarkan antara wajah, sifat, dan sikapnya, Galen tentu menjadi juara daripada Gavin. Galen lebih tampan dengan goresan rahang yang tajam, mata sederhana namun terlihat tajam, bibir tebal berwarna pink, juga alis tebal berwarna hitam. Menjadikannya lebih sempurna dengan sifat dan sikapnya yang tidak peduli akan apapun. Sedangkan Gavin terlihat jauh lebih manis seperti Ayana. Gavin memiliki rahang sederhana namun tegas, mata tajam namun terlihat lembut, bibir tipis, juga alis yang tidak terlalu tebal. “Bahkan sama Kakek Aji sekalipun?” tanya Galen masih tidak percaya.             Ayana mengangguk, “Bahkan sama Kakek Aji sekalipun Bunda ngga cerita. Padahal Kakek Aji itu orang tua kandung Bunda,” jawab Ayana. “Kenapa Bunda?”             Ayana menggedikkan bahunya, “Mungkin karena Bunda merasa percuma untuk cerita ke siapapun. Makannya Bunda ngga mau kalau Kakak mempunyai pemikiran jelek seperti itu,” sambung Ayana. “Kakak ngga sendiri, ada Bunda disini yang selalu siap untuk mendengarkan keluh kesah Kakak. Kakak berharga buat Bunda, anak kesayangan Bunda yang paling mandiri dan tidak pernah menuntut sesuatu dari orang tuanya yang kurang sempurna. Kakak harus ingat itu, kalau Kakak masih mempunyai orang yang sangat sayang sama Kakak.” Ucap Ayana menegaskan kepada Galen untuk tidak menyimpan kesedihannya sendirian.             Ayana tidak ingin masa lalunya juga terjadi pada Galen yang masih muda. Biarlah hanya ia yang meraskannya, asal jangan anaknya juga ikut merasakan pahitnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD