Hujan

2758 Words
Selamat membaca ~ - “Alasan ku mengaku sebagai hujan adalah, karena aku penuh akan warna gelap yang berhasil ku samarkan dengan sebuah drama kehidupan.” Galen Gibson Rajendra    -             Galen berjalan menuju aula fakultasnya setelah menyelesaikan mata kuliah di sore harinya. Saat ini sudah banyak mahasiswa yang berkumpul untuk melihat rapat para ketua Himpunan sebelum turun jabatan, juga perkenalan calon Ketua dan Wakil ketua Himpunan baru yang akan memimpin.             Galen menghampiri Sena saat ia tidak sengaja melihatnya bersama Belinda sedang tertawa terbahak di sela-sela rapat berlangsung. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Galen duduk dengan mengabaikan tatapan dua gadis yang terlihat bingung. “Gue kira lo pulang, terus mengundurkan diri jadi Kahim,” ucap Sena alih-alih menyapa partnernya ini. “Gak mungkin.” “Lagian kemana aja sih? Udah mulai dari lima belas menit yang lalu juga,” ucap Sena kesal dengan laki-laki disampingnya ini. “Ya kalau gue telat, kenapa ngga lo telephone?” tanya Galen dengan menatap tajam Sena.             Sena bungkam, ia tidak memiliki alasan untuk menjawab pertanyaan dari Galen. “Gue baru selesai kelas sore.” Lanjut Galen yang langsung di angguki oleh Sena tanpa menyela seperti biasanya.             Rapat berjalan dengan lancar, hingga tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Rapat di mulai pada pukul empat sore karena tidak ingin mengganggu jam kuliah, dan para mahasiswa pun bersemangat untuk mendatangi rapat akhir jabatan dan juga pengenalan calon Kahim dan Wakahim baru di Himpunan Jurusan Sastra Indonesia.             Galen berdiri dengan dadanya yang membusung, matanya menatap lurus tajam seperti elang. Rahangnya mengeras saat ia merasa marah ataupun gugup. Sedangkan Sena berbanding terbalik dengannya, Sena justru terlihat sangat santai dengan senyum yang terus ia perlihatkan untuk semua teman-temannya yang kini menatap kearahnya. “Menurut kalian, apa kekurangan dari pengurus Himpunan yang akan demisioner ini?” tanya laki-laki berambut gondrong namun rapi kepada Sena dan Galen sebagai tim.             Galen menatap Sena sekilas, seolah mengirimkan sinyal agar ia yang menjawab kali ini. Selama mereka berdiri di hadapan para mahasiswa untuk menyampaikan visi dan misi, hanya Galen yang berbicara menuturkan setiap visi dan misi untuk keberlangsungan Himpunan Jurusan mereka. “Baik, terima kasih Kak Vino akan pertanyaannya. Saya akan mewakili tim untuk menjawab pertanyaan ini. Menurut kami kekurangan dari kepengurusan Himpunan yang akan demisioner adalah kurangnya komunikasi dengan anggota lainnya sehingga PSDM pun kurang di perhatikan dan mengakibatkan banyak anggota yang tidak ikut dalam bekerja memajukan Himpunan,” jawab Sena dengan tegas.             Laki-laki berambut gondrong yang duduk di belakang pun berdiri seraya mengangkat tangan, meminta kepada moderator untuk di persilahkan menyela rapat. “Jadi maksud kamu, kita ngga becus dalam membuat semua anggota dekat dan bekerja sesuai divisi masing-masing?” tanya laki-laki itu dengan nada tinggi.             Galen tampak merenggangkan kepalanya, rupanya emosinya perlahan tersulut dengan cara bicara kakak tingkatnya yang bernama Bayu itu. Tanpa sadar tangan Galen sudah terkepal dengan kuat, matanya nyalang menatap mangsa yang sudah membangunkan amarahnya itu. “Bukan sep--” “Nyatanya begitu,” potong Galen yang membuat Sena menatapnya terkejut.             Suasana terasa panas dan tegang karena jawaban yang diberikan Galen. Sena terus menatap Galen seolah memberikan isyarat untuk menghentikan aksinya itu. Namun tatapan itu tidak diindahkan oleh Galen. “Apa buktinya kamu bisa ngomong seperti ini?” tanya Vino dengan nada yang lebih dingin. “Saya,” jawab Galen yang semakin membuat semuanya bingung. Namun tidak dengan Bayu, emosinya kini sudah berada di ujung tanduk. “Maksud lo, ini semua hanya karena pemikiran kanak-kanak lo? Menyalahkan kepengurusan Himpunan di tahun gue menjabat?!” sarkas Bayu yang sudah melupakan tata krama dalam forum rapat resmi. “Mohon maaf untuk Kak Bayu di harapkan mengangkat tangan sebelum menyela masuk kedalam pembicaraan,” tegur Moderator karena merasa Bayu sudah menyalahi aturan. “Sebelumnya, kita tidak perlu untuk tutup mata akan kekurangan kepengurusan tahun kemarin. Kita semua sebagai anggota, tahu bahwa pengurus inti, maupun anggota kurang dalam berbaur. Saya sebagai anggota divisi Intelektual merasa bahwa tidak semua anggota yang bekerja untuk menyelesaikan setiap program kerja yang kami buat sebagai tim. Apa itu artinya bukan karena kurangnya komunikasi? Sehingga membuat PSDM kurang di perhatikan,”  jelas Galen yang membuat Vino diam memahami setiap perkataan yang di lontarkan Galen dengan tegas. “Itu bukan salah kepengurusan,” tegas Bayu tidak terima. “Kalau bukan, lalu salah siapa? Memang benar bukan salah kepengurusan seratus persen, karena juga ada salahnya dari setiap individu yang enggan untuk berbaur. Namun anggota tetap di bawah kepengurusan inti, dan contohnya pun nyata. Seperti saat ini, saya tidak kenal atau dekat dengan Kak Bayu, yang saya tahu Kak Bayu adalah Ketua Divisi PSDM. Apa Kak Bayu juga tidak merasa dalam divisi yang Kak Bayu pimpin?” tanya Galen dengan nada yang lebih tenang.             Bayu diam, rupanya ucapan berhasil menohok hatinya. Ia pun kembali duduk dan enggan menjawab pertanyaan dari Galen. Helaan napas lega terdengar jelas dari gadis yang berdiri disamping Galen. Galen pun menoleh untuk melihat raut wajah Sena yang nampak tegang namun masih bisa di kontrol. Guratan senyum tipis terukir halus di wajahnya yang tampan tanpa sengaja.   -                 Juan menyalami Galen yang merupakan rivalnya untuk maju menjadi Kahim. Ia tampak kagum dengan sosok Galen yang pendiam namun selalu mengamati sekitar. Ia bahkan ikut terkejut saat menyimak perdebatan antara Galen, Vino, dan Bayu tadi. “Keren parah lo, gue aja ngga kepikiran untuk nyerang bagian PSDM yang benar-benar rusak,” ucap Juan dengan menepuk pundak Galen. “Udah lama gue pengen serang PSDM-nya Himpunan, biar pada ngaca,” jawab Galen yang malah di tertawai oleh Juan. “Berani banget lo. Mending lo aja deh yang jadi Kahim, udah pas sama jiwa liarnya.” “Kalau lo mengundurkan diri, gue maju dengan senang hati,” balas Galen yang malah membuat Juan tertawa semakin keras. “Sial lo.”             Galen menarik lengan Sena saat ia hendak pergi meninggalkannya sendiri bersama temannya yang lain. “Mau kemana?” tanya Galen pada Sena yang sudah bersiap dengan tasnya. “Main,” “Udah malam,” “Udah tahu malam, masih mau tanya kemana? Gue mau pulang, bego.” Jawab Sena ketus. “Gue antar,” “Ngga perlu, gue udah pesan taksi online.” Tolak Sena cepat. “Udah malem.” Balas Galen dengan berjalan mendahului Sena yang masih diam menatap punggungnya.             Setelah berpamitan pada Juan dan Tari selaku rival mereka untuk maju sebagai Kahim dan Wakahim, Sena pun mengikuti langkah Galen dari belakang. Ia berjalan dalam diam ditemani dengan malam dingin yang selalu menemani hari-harinya.             Galen memberikan helm untuk Sena gunakan, ia pun menerimanya dan segera memakainya. Setelah bersiap, Sena naik di jok belakang. Galen pun mulai menyalakan mesin dan melajukannya dengan kecepatan sedang. Lampu kota berwarna kuning menyala disetiap perjalan yang mereka tempuh. Sungguh indah.             Mata Sena menyusuri setiap sudut jalanan yang penuh akan lalu lalang manusia bernyawa dengan tujuan yang berbeda. Ia pun mendongak untuk melihat berapa banyak bintang yang menemani bulan pada malam ini. “Lagi, bulan kesepian malam ini,” gumam Sena sembari tersenyum tipis. “Bulan cukup terang untuk berdiri sendiri,” balas Galen saat tidak sengaja mendengar gumaman Sena. “Apa sih, nyamber mulu.” Sahut Sena ketus. “Permata akan bersinar walau ia sendiri. Begitu pula dengan hidup, dimana pun lo berada, lo akan bersinar karena itu diri lo sendiri.” Jawab Galen yang tampaknya tidak menghiraukan ucapan Sena barusan.             Motor melaju dengan kecepatan standart, Sena semakin mengeratkan pegangannya pada kedua saku jaket jeans yang sedang di pakainya. Malam ini sungguh dingin, rasanya hujan akan turun sebentar lagi. Perasaan khawatir menyeruak di benak Sena, pasalnya ia tidak membawa jas hujan untuk di kenakannya nanti.             Namun alih-alih khawatir, ia kini berfokus pada nyala lampu di sepanjang jalan. Rasanya syahdu melihat gemerlap lampu berwarna kuning itu membantu bulan dalam menerangi bumi. Senyum Sena terukir sekilas, ia bersyukur bulan yang samar itu tidak bekerja terlalu keras dalam menyinari gelapnya bumi.             Langit menyala, memberikan tanda bahwa  hujan benar-benar akan segera turun. Sena pun menepuk pundak Galen untuk meminta agar ia mempercepat laju motornya. Mengikuti intruksi dari Sena, Galen pun mempercepat laju motornya dan membuat Sena terkejut akan cepatnya Galen berkendara. Ia pun bahkan tidak sadar memegang pinggang Galen sebagai alat bantu untuk ia bertahan diatas motor Galen.             Tepat setelah Galen memasukkan motornya kedalam pekarangan rumah milik Sena, hujan turun dengan deras. Sena pun segera berlari untuk berteduh dan tangan kanannya menarik Galen untuk menyuruhnya berteduh juga. “Gue langsung pulang aja,” ucap Galen saat mereka berdua sudah berteduh di teras rumah Sena. “Tapi hujannya deras banget, mending tunggu reda baru pulang,” ucap Sena tidak setuju.             Galen tertawa melihat raut khawatir Sena, “Gapapa. Hujan itu gue,” balas Galen yang membuat Sena menautkan kedua alisnya untuk berpikir. “Lo Galen, bukan Hujan.” Tegas Sena. “Yaudah gue pulang dulu,” balas Galen. “Lo ada jas hujan?” tanya Sena saat melihat Galen hendak melangkah kearah motornya yang sudah basah terguyur hujan.             Galen menggeleng, “Kan gue udah bilang, gue itu hujan. Udah temenan sama hujan,” tegas Galen lagi pada Sena. “Besok pemilihan, awas aja lo ngga dateng. Bisa-bisa gue langsung mengundurkan diri di tempat,” ancam Sena. “Emang berani?” “Berani.” Balas Sena tegas. “Yaudah gue pulang dulu, jangan kangen sama calon Kahim ganteng,” goda Galen yang kini sudah berjalan di bawah air hujan untuk menuju motornya. “Mimpi lo,” teriak Sena kesal.             Galen tertawa sembari memakai helmnya. Sedangkan Sena tertegun melihat tubuh Galen di bawah guyuran air hujan. Baju yang di pakainya sudah basah membuat tubuh bagusnya tercetak dengan jelas di balik pakaian yang dikenakannya, juga rambutnya pun sudah basah membuat wajah dinginnya seketika lenyap karena ketampanan milik Galen.             Galen sudah bersiap, ia pun menekan klakson sebagai tanda bahwa ia akan pulang tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia pun akhirnya mengendarai motor yang di kendarainya keluar dari pekarangan rumah Sena. Ternyata sedari tadi ada pasang mata yang melihat anak gadisnya itu di antar pulang oleh teman laki-lakinya. “Kok ngga diajak masuk dulu dek?” tanya Ibu Sena setelah melihat motor Galen hilang dari pekarangan rumahnya.             Sena tersentak melihat kedatangan Ibunya yang menggunakan daster berwarna putih di gelapnya malam. Hampir saja ia berteriak karena terkejut. “Bubu kenapa bikin kaget adek sih?” tanyanya kesal karena hampir saja jantungnya melompat keluar.             Wanita paruh baya itu tertawa melihat anak gadisnya yang takut dengan hal ghaib. “Masih aja takut. Udah gede juga,” ejek Ibu Sena dengan membawa anak gadisnya itu untuk masuk kedalam dekapannya. Sena hanya tetrawa malu, mereka pun masuk kedalam rumah dengan saling berpelukan. “Tadi kok temennya ngga diajak masuk dek? Mana hujan-hujanan lagi,” tanya Ibu Sena kembali kepada gadisnya itu. “Udah Sena suruh mampir tetap ngga mau Bu,” jawabnya. “Yaudah adek mandi dulu pakai air hangat, biar Ibu siapin makan,” ucap Ibu Sena dengan lembut. “Makasih Bubu ku sayang.” Ucap Sena dengan nada manja seperti biasa sembari mencium Ibunya itu dengan gemas.             Wulan nampaknya bangga melihat kedua anaknya yang sangat dekat dengannya daripada suaminya. Baik Jeno maupun Sena memang sangat dekat dengannya, bahkan Jeno akan mengamuk saat melihat Sena mencium Wulan seperti tadi. Wulan bersyukur memiliki dua anak yang penuh akan kehangatan.             Sena pun berjalan menuju kamarnya dan segera membersihkan diri. Setelah ia sudah berganti pakaian dan membersihkan badan, ia kembali turun untuk makan malam. Sebenarnya ia sudah makan tadi, tapi berhubung Wulan sudah memasak untuknya ia pun dengan senang hati memakan masakan sang Ibu tercinta. “Pulang di anterin sama Galen?” tanya Jeno saat mendengar suara langkah kaki Sena yang mendekat kearahnya yang sedang duduk bersimpu sembari mengaduk s**u vanilla. “Udah gede masih aja minumnya s**u, malu sama otot,” olok Sena saat melihat kakaknya itu masih saja meminum s**u layaknya anak kecil. “Daripada lo, tidur masih mainin rambut sendiri,” serang Jeno yang tidak mau kalah. “Biarin, ciri khas gue. Sewot banget punya kakak cowok tapi mulutnya lemes kayak Ibu-ibu arisan,” sahut Sena kesal. “Emang udah pernah ikutan?” “Belum.” “Bego.” Ucap Jeno dengan menoyor kepala adiknya itu.             Sena pun mengusap kepalanya setelah mendapat toyoran keras dari Jeno. Mulutnya mengerucut yang berarti ia sedang kesal dengan kakak laki-lakinya itu. “Di makan, jangan berantem mulu. Ibu pusing dengarnya,” sahut Wulan saat kedua anaknya itu sudah diam. “Lagian ya Na, cowok lo juga suka minum s**u strawberry,” ucap Jeno setelah meneguk susunya hingga separuh.             Sena mengernyit bingung, ia masih menatap Jeno dengan kesal. “Cowok apaan?!” tanya Sena dengan nada kesal. “Galen, cowok lo kan?” jawab Jeno yang sekaligus bertanya pada Sena.             Dengan cepat Sena membalas pukulan pada lengan Jeno hingga membuat sang empu meringis kesakitan. “Enak aja kalau ngomong.”  Jawab Sena membantah.   -               Sena masuk kedalam biliknya setelah ia menghabiskan makan malamnya dan sedikit adu mulut dengan saudaranya itu. Ia tampak melihat catatan diatas meja belajarnya untuk memastikan bahwa tidak ada tugas yang harus di selesaikannya besok. Ia pun kemudian duduk di balkon, merasakan dinginnya angin malam bersama turunnya hujan.             Mengingat hujan, pikiran Sena tiba-tiba saja terputar akan keadaan Galen. Ia pun meraih ponsel dan mencoba untuk mengalihkan pikirannya dengan memutar lagu Someone You Loved  versi accoustic. Sena perlahan tampak menikmati alunan lagu yang membaur menjadi satu dengan suasana hujan yang damai. Ia mengikuti alunan lagu, menghayati setiap lirik, dan mengikuti ekspresi yang dihasilkan dari lagu tersebut. Sungguh menikmati waktu seperti ini sudah menyembuhkan lelah tubuh Sena.             Ponsel Sena bergetar saat ia sedang asik bernyanyi, ia pun melihat kearah ponselnya saat ada telephone masuk. Tertera dengan jelas ada nama Gavin disana. Tanpa disadar senyumnya mengembang saat membaca nama Gavin yang sedang menelphonenya malam ini. “Hai,” “Haii,” balas Sena antusias.             Dasar wanita, selalu saja tidak bisa menyembunyikan ekspresinya saat sedang senang. “Lagi apa Na?” “Duduk aja di balkon. Kenapa?” tanya Sena balik alih-alih berusaha untuk menormalkan kembali degup jantungnya. “Di rumah lo ngga hujan?” “Hujan,” “Masuk, dingin di luar.” Perintah Gavin yang berhasil membuat Sena tersipu.             Sena nampaknya merasa sangat senang mendapatkan perhatian kecil dari Gavin, hingga ia tidak mengindahkan perintah Gavin untuk masuk kedalam kamarnya. “Masuk ih, malah bengong.” Sambung Gavin yang berhasil membuyarkan lamunan Sena dalam sekejap. “Kenapa sih, udaranya enak tahu. Segar,” balas Sena menolak. “Udah malam Na, ngga baik buat kesehatan.” “Iyaa oke, gue masuk.” Ucap Sena pada akhirnya.             Sena pun bangkit dari duduknya dan melangkah masuk menuju kamarnya. Ia pun tak lupa menutup pintu balkon sebelum akhirnya memilih untuk merebahkan dirinya diatas ranjang. “Gitu dong nurut,” “Bawel lo. Btw ada apa nih?” tanya Sena kemudian karena ia tahu selalu ada cerita jika Gavin menelephonenya.             Sena dan Gavin dekat berawal dari jaringan Himpunan antar Prodi hingga menjadi teman cerita. Mereka nyaman satu sama lain dengan banyak perbedaan yang melekat diantara kedua insan itu. “Gue mau cerita,” ucap Gavin menggantungkan kalimatnya. “Apa?” “Gue coba maju jadi Kahim,” “Serius?!” tanya Sena dengan raut yang tercetak jelas bahwa ia saat ini sangat senang. “Iya lah, masa gue bohong.” “Sama siapa?” “Fania.”             Raut wajah Sena seketika berubah. Senyum yang ada tiba-tiba saja menghilang saat Gavin dengan gamblang menyebutkan nama Fania. Fania Khansa, teman satu Prodi Gavin yang juga dekat dengan Gavin. Fania adalah teman Gavin di divisi Infokom. Tentunya Sena mengenal Fania karena mereka pernah bertemu saat ada acara keorganisasian di Kampus mereka. “Kok basah semua Ry? Baru pulang?”             Sena mendengar samar-samar percakapan antara Gavin dengan suara yang diyakininya adalah Galen. Tapi kenapa Gavin memanggilnya dengan nama Ry? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Sena. “Kalau pinjem hoodie gue itu balikin b**o,” “Lo darimana? Baru pulang?” “Balikin sekarang, gue mau pakai.” “Gue udah bilang kan, jangan suka main hujan,” “Bacot, cepat balikin,” “Lo bisa sakit,” “Namanya juga manusia.” “Gue serius!” “Ck! Apa urusan lo sih?!” “Gue saudara kembar lo. Gue peduli sama lo.” “Gue bisa peduliin diri gue sendiri.” “Jangan keras kepala Ry,” “Balikin, gue tunggu di kamar. Gue mau mandi.”               Terdengar helaan napas berat saat langkah kaki dari salah satunya pergi menjauh. Sena adalah saksi buta kedua saudara kembar itu bertengkar. Alih-alih mendengarkannya, ia justru merasa kasihan pada Gavin yang juga terkena amarah Galen. Sena cukup yakin jika itu adalah Galen, namun ia merasa bingung mengapa Gavin memanggilnya Ry.             Ternyata banyak teka-teki diantara kedua saudara kembar ini. semakin masuk kedalam, Sena semakin larut akan saudara kembar ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD