Bab 10 : Gagal

1141 Words
"Loh? Mas Satria mau kesini kok nggak bilang-bilang toh?" Satria dan Maya yang baru saja datang langsung disambut oleh Mbak Rini. "Mbak Ayla juga nggak bilang-bilang e?" gerutu pelan Mbak Rini yang merasa tak enak hati, karena belum memasakkan makanan apapun untuk Satria. Satria yang tak diberi kesempatan sejak datang kesini terkekeh, "Mbak Rini, kita nggak boleh masuk, ya?" ada nada permohonan di kalimat itu. "Eh? Oh iya, lupa, Mas. Yuk mari Bu, Mas Satria silakan masuk," Akhirnya setelah cukup lama berdiri di depan pintu, Maya dan Satria dibiarkan masuk oleh Rini. Sepi. Suasana yang Satria harapkan hilang begitu saja, karena keadaan ruang tamu yang amat sepi ini. "Mari, Bu, duduk dulu. Ini tas nya saya bawa ke kamar Ibu. Ibu mau minum apa?" Maya sudah dipersilakan duduk oleh Rini di kursi ruang tamu. Sedangkan, Satria masih berdiri mengamati sekitar. "Yang hangat saja," pinta Maya. Setelah Rini pergi ke sebuah ruang, yang pasti ruangan itu kamar milik Maya yang terletak di sebelah dapur. Satria mendudukan dirinya di seberang Maya. Rini kembali dengan nampan berisi secangkir teh hangat, "Ini teh nya, Bu. Teh hangat pesanan Ibu," Maya mengucapkan terima kasih dengan senyuman mengembang di bibirnya. "Ayla mana, Mbak?" "Mbak Ayla tadi keluar naik motor saya, Mas." Dahi Satria bertaut, "Keluar? Kemana?" "Mbak Ayla nya nggak bilang tadi, Mas." "Emang nya Ayla sudah tahu jalanan disini?" cecar tajam Satria yang tengah menahan kesal. "Ya, cuma pasar saja. Tiap pagi, Mbak Ayla selalu ikut saya ke pasar. Biasanya juga, Mbak Ayla yang boncengin saya kalo ke pasar," Satria menghela nafas berat, "Kok Mbak Rini izinkan Ayla pergi sendiri?!" Satria sudah tak habis pikir dengan jalan pikiran ART nya itu. Dari kemarin Satria sudah khawatir dengan keadaan istrinya itu. Tapi ketika dia tiba disini, apa yang dia dapat? Bukannya hilang kekhawatiran itu malah semakin bertambah besar. "Tadi bilang nya cuma sebentar kok, Mas. Katanya nggak jauh-jauh dari sini." jelas Rini yang mulai ketakutan mendengar suara tuannya yang sedang marah. Tak pernah Rini mendengar tuannya itu marah seperti saat ini. Terdengar suara motor memasuki halaman rumah. Satria sangat berharap jika itu adalah istri mudanya. "Assalamualaikum, Mbak." "Waalaikumsalam," jawab mereka bersamaan. "Ibu?" Ayla langsung menubrukkan tubuh nya pada sang Ibu. Ayla memeluk Maya sangat erat untuk melepaskan kerinduan. "Ayla kangen, ih. Kenapa nggak pernah diangkat sih telfon nya?" Maya terkekeh ringan dengan tangan yang masih mengusap punggung sang anak. "Manja banget, nggak malu apa sama suami kamu, hm?" Maya berbisik di telinga Ayla. Tubuh Ayla sedikit menegang, mengingat orang yang ada di seberang nya saat ini adalah suami yang dia khawatirkan sejak kemarin. Perlahan Ayla mendongakkan kepala menatap suami nya yang ternyata juga tengah menatapnya dengan tatapan datar. "Ayo sana," titah Maya mendorong pundak Ayla. Dengan perlahan Ayla menghampiri suami yang masih menatap dirinya. Ingin sekali dia memeluk Satria erat karena rasa rindu. Padahal baru 1 hari saja ditinggal, tapi sudah seperti ini. Tapi mengingat lagi bahwa dia adalah istri kedua, Ayla tersenyum kecut. Ayla sudah berada di samping Satria yang masih dengan tatapan lekat menatap nya. Hal itu membuat Ayla gugup bukan main. Cup! Mata Ayla membola merasakan kecupan singkat di kening nya. "Ay, dicium dong tangan suaminya baru pulang," Maya dan Rini tertawa menyaksikan Ayla yang hanya diam saja. Dengan cepat, Ayla mengecup penggung tangan kekar milik suaminya. Tangan Satria lalu mengusap surai hitam Ayla, "Bu, Satria izin bawa Ayla ke dalam." Maya mengangguk pelan. Ayla langsung di tarik ke dalam kamar utama —kamar milik Satria dan Ayla— tangan Satria mengunci pintu warna putih itu. Satria dengan telaten mentitah agar Ayla duduk di pinggir ranjang. Sekarang mereka duduk di pinggir ranjang berhadapan. Ayla menunduk tak berani menatap suaminya. Gadis itu takut jika perasaannya kepada sang suami kian membesar. Karena jika kembali diingat, pernikahan mereka ini hanyalah sebuah keterpaksaan dari kedua belah pihak. "Dek," "I-iya, Mas?" "Dari mana tadi?" "Habis ke pasar, Mas. Beli kuota," ucap Ayla sambil memperlihatkan handphone yang ada di tangannya. Satria membuang nafas berat mendengar penjelasan istrinya, "Jadi kemarin kamu nggak angkat telfon dari Mas karena kuota habis?" "Emang nya Mas telfon ya kemarin?" Ayla buru-buru menyalakan data seluler di handphone nya itu. "Oh iya, bener. Maaf ya, Mas, aku beneran nggak tau." Namun, tiba-tiba saja Satria merengkuh tubuh mungil istrinya itu, "Kamu nggak kangen sama Mas, dari tadi kamu nggak peluk Mas." Suara Ayla seperti tercekat, jantung nya berdegup kencang saat bersandar di dada bidang Satria. Tangan pria itu mengelus lengan Ayla naik turun. Sungguh, Satria tak tau ada apa dengan perasaan nya. Ketika berada di dekat Ayla, hatinya nenghangat. Dan entah mengapa ia sangat rindu dengan Ayla. "Maaf karena kemarin Mas tiba-tiba pergi gitu aja, tanpa pamit dan memberi Adek kabar." "E-enggak apa-apa, Mas. Yang penting semua baik-baik saja," "Dek," Ayla mendongak. Cup. Tanpa berkata apapun, Satria mengecup dan melumat bibir merah sang istri. Satria mendorong bahu Ayla agar berbaring dengan kaki yang masih menjuntai di samping ranjang. Satria mulai menjelajahi tubuh sang istri yang harusnya ia lakukan sejak kemarin. Tapi karena kendala yang terjadi kemarin ia harus mengurungkan niatnya. "Ahhh..." Desahan lolos ketika tangah kekar Satria meremas buah dada Ayla. Remasan terus Satria lakukan, namun dengan sekuat tenaga Ayla menahan desahan yang ingin lolos daei bibirnya. "Masshhh.." ucap Ayla tertahan berusaha menahan desahan. "Hm?" Satria melepaskan aktivitasnya yang sedang menciumi leher jenjang sang istri. Dia menatap sayu kedua mata sang istri. Cukup. Satria sudah tak kuat lagi jika harus menahan hasrat nya lagi. Dengan cepat ia menyambar bibir istrinya lagi. Tangan Ayla yang memukul dada bidang pria itu tak dihiraukan, Satria meraih tangan Ayla dan menggenggam nya erat. Satu tangan nya lagi masih sibuk meremas-remas milik sang istri. "Emhhh..." Satria melepas kembali tautan mereka. "Mas, sudah nggak kuat, Dek." ucapnya dengan nafas memburu. "Ini masih siang, Mas. Bukannya, aku nggak pengen layanin Mas. Tapi masih ada Ibu sama Mbak Rini," tolaknya halus memberikan pengertian pada suaminya. Satria akhirnya sadar, walau sedikit kecewa. Tapi ia tak mau merusak malam pertama pernikahan mereka. Pria itu ingin memberikan yang terbaik untuk istri mudanya. "Nanti malam boleh?" tanya Satria meyakinkan. Ayla mengangguk ragu. Bagaimana pun juga hal ini masih menjadi yang pertama bagi dirinya. Ia takut, dan kata orang-orang bahwa malam pertama itu akan terasa sakit. Tapi ia mencoba meyakinkan dirinya. Ia ingin melayani kebutuhan sang suami. Ia ingin menjadi istri yang berbakti pada sang suami. Satria mengecup kening dan bibir ranum sang istri. Lalu ia bangkit melepas kemeja putih yang sudah dipenuhi oleh keringatnya. Ayla juga bangkit membenarkan letak daster motif bunga yang sudah tak karuan bentuknya dan rambut yang acak-acakan karena suaminya yang ganas. "Mas mau mandi?" "Iya, tolong siapin baju ya, dek." "Iya, Mas." jawab Ayla, "Oh ya, Mas mau makan? Nanti aku siapin." "Boleh, tapi harus masakan kamu ya," Satria tersenyum simpul setelah mengatakan keinginannya. Dan langsung masuk ke kamar mandi yang ada di kamar tersebut. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD