Bab 8 : Kejadian

1316 Words
Ayla berjalan mondar-mandir dengan ponsel yang melekat di telinganya. 'Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi,' Hanya suara operator itu yang selalu terdengar ketika Ayla mencoba menghubungi sang suami yang tidak pamit atau bahkan tak memberinya kabar. Ayla khawatir dengan apa yang terjadi sampai-sampai suaminya itu sangat buru-buru. Apa terjadi sesuatu dengan pekerjaan suaminya? Atau mungkin telah terjadi sesuatu dengan Mbak Salsa, istri pertama suaminya? Ayla menatap ke arah kirinya, ranjang dengan seprai putih yang acak-acakan. Baju, celana pendek, dan celana dalam milik Satria masih tergeletak di lantai. Pipinya bersemu merah mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Hampir saja, mereka akan melakukan malam pertama sebagai pasangan suami dan istri. Wanita itu, ralat gadis itu pun memutuskan untuk membereskan kekacauan yang telah suaminya buat. Dan nanti ia akan mencoba untuk menelefon suaminya lagi. **** Di tempat lain, Satria berlari-lari di pelataran parkiran rumah sakit menuju pintu utama bangunan itu. "A-apa a-ada pasien yang baru saja mengalami kecelakaan sekitar 1 jam lalu?" dengan mencoba mengatur nafasnya Satria bertanya pada salah satu resepsionis. "Ada di IGD, Pak. Sedang di tangani oleh dokter," Satria mulai berjalan menuju dimana IGD berada, sungguh ia tak tenang saat ini. Ia sangat khawatir pada istrinya, Salsa. Grep! Satria memeluk erat tubuh yang sedang terduduk di kursi tunggu itu. Tubuh itu sedikit terhuyung karena pelukan tiba-tiba. "Sayang, kamu bilang--?" "Sat, manager aku ada di dalam. Di-dia parah banget tadi. A-aku.. hiks.." perempuan yang tak lain adalah Salsa--istri pertama Satria, itu menangis menumpahkan ketakutan nya pada suaminya. "Sttt.. dia akan baik-baik, aja. Tenang ya.. Okey?" ucap Satria pelan sambil mengelus punggung bergetar istrinya. Posisi mereka sekarang adalah Salsa duduk di kursi dengan pelukan Satria yang berjongkok di depannya. "Kamu nggak apa-apa kan?" Salsa menggeleng dengan air mata terus keluar membasahi pipi mulusnya. "Syukurlah kalo kamu nggak apa-apa," ucap Satria dengan sesekali mengecup ubun-ubun sang istri. Satria tadinya sangat khawatir karena mendapat telefon suara seorang laki-laki yang mengatakan jika pemilik handphone ini mengalami kecelakaan. Pikirannya kalang kabut memikirkan istri pertamanya. Dan saat ini, Satria telah berpindah duduk di sebelah Salsa dengan tangan yang merangkul pundak istrinya dan menyandarkan kepala istrinya itu pada bahu laki-laki itu. "Mbak Salsa," Suara pelan seorang wanita yang membuat atensi kedua orang itu mengalihkan pandangannya. Satria yang bingung melihat seorang wanita dengan 3 anak yang masih kecil-kecil berdiri di depannya, dan sosok bayi dalam gendongan wanita itu. Ia hanya bisa memperhatikan mereka tanpa berkata. "Mbak, sa-saya Wita istri Mas Novan," ucap wanita yang sedang menggendong seorang bayi kecil. "Hm, saya sudah tahu," ucap Salsa ketus sambil mengalihkan pandang ke samping. "Silakan duduk dulu, Mbak," ucap Satria yang prihatin melihat keadaan Wita dan anak-anaknya. Akhirnya, ia lebih memilih berdiri dan membiarkan mereka untuk duduk. "Suami, Mbak sedang di tangani oleh dokter," Wita mengangguk dengan wajah pucat nya. "Ck! Jangan dekat-dekat saya!" bentak Salsa melihat Wita dan anak-anak nya duduk di dekatnya. "Ma-maaf, Mbak," ucap Wita menggeser duduknya. Satria yang melihat itu tersenyum maklum. Karena memang sudah seperti itu pribadi Salsa. Ketus, cuek, dan pemarah. **** "Dengan keluarga dari Pak Novan?" setelah hampir 3 jam lamanya menunggu, akhirnya pintu IGD terbuka dan keluarlah sosok dokter berperawakan tinggi. Wita langsung bangkit menghampiri dokter tersebut, "Iya, saya istrinya, dok," Salsa yang melihat itu memutar bola mata malas. "Pak Novan baik-baik saja, Bu. Tadi ada beberapa luka kecil dan jahitan, sekarang hanya tinggal menunggu nya sadar saja," "Saya boleh melihatnya, dok?" "Untuk sekarang jangan dulu ya, bu. Pak Novan masih butuh istirahat," Setelah mengatakan itu, dokter tersebut pamit untuk pergi. **** Saat ini cuaca kota Malang sangat buruk, hujan terus mengguyur kota Malang dari pukul 2 dini hari. Ayla yang masih berbaring nyaman di ranjang king size mulai menaikkan selimut hingga leher. Tangannya mengeratkan pelukan pada guling, teman tidurnya malam ini. Tit! Tit!! Tit! Tit!! Alarm berdering mengusik tidur nyamannya. Tangannya dengan malas bergerak ke meja nakas mematikan jam digital. Mata gadis itu mengerjap, menatap ke samping tempat tidurnya. Kosong. Tak ada Satria di sampingnya. "Sebenarnya ada apa? Apa sesibuk itu hingga ia tak menghubungiku sama sekali?" ucap Ayla pelan menatap sendu bantal di sampingnya. Malam pertama yang gagal. "Ingatlah, Ay. Kamu hanya istri pertamanya. Tidak boleh berharap lebih," Ayla mulai bangkit dari tidurnya, berjalan ke arah kamar mandi untuk mandi terlebih dahulu sebelum sholat subuh. **** Selesai sholat subuh, Ayla langsung merapikan tempat tidur, kemudian membersihkan rumah. Ia ingin mengalihkan perhatiannya untuk tidak khawatir berlebihan pada suaminya. Ia mencoba berpikir positif, meyakini jika saat ini Satria dalam keadaan baik-baik saja. "Assalamualaikum, Mbak Ayla," "Waalaikumsalam, Mbak Rini, saya belum beli sayur lho," Rini sang ART yang baru saja datang hanya senyum-senyum tidak jelas. "Kenapa toh, Mbak? Ada yang salah ya dengan penampilan saya?" Ayla menunduk menatap pakaian yang di pakai nya pagi ini. Sebuah daster bali tanpa lengan yang melekat pada tubuh ramping Ayla, yang padahal sejak tinggal di Malang, gadis itu tak pernah mengenakan baju seprrti itu. Di tambah lagi rambut yang basah karena keramas pagi tadi belum kering, membuat Rini semakin ingin menggoda majikan mudanya itu. "Ya nggak ada, Mbak. Hehe.. Pasti Mas Satria betah deh kalo tiap hari disuguhi pemandangan Mbak yang cantik dan seksi gini. Bisa-bisa nanti Mbak digempur lagi," Ayla mulai paham dengan apa yang dikatakan ART nya ini langsung salah tingkah. Tawa Rini seketika tertahan mengingat jika tuannya sedang tidur. Padahal saja, Satria sedang tak ada di rumah. **** "Mbak Rini pernah ke rumah Mas Satria yang di Surabaya?" Ayla menyendok kuah sop ayam yang ia buat dengan Rini pagi hari ini. "Belum pernah, Mbak," Ayla mengangguk-angguk. "Emmm.. Kalo makanan kesukaan nya Mas Satria, Mbak Rini tau?" Mereka saat ini menikmati sarapan pagi di meja makan, sebenarnya Rini sudah menolak. Ia tak enak hati jika sampai tuannya--Satria melihatnya apa yang harus ia katakan. Namun, Ayla telah menjelaskan jika Satria harus ke Surabaya malam tadi. "Kalau setahu saya tuh, Mas Satria selama disini nggak pilih-pilih, Mbak. Atau coba Mbak tanya ke Nyonya Ita," "Oh gitu ya, Mbak. Ya sudah nanti saya coba tanya," Setelah sarapan itu, Ayla memilih untuk mencuci pakaian kotor miliknya dan juga milik sang suami. **** "Assalamualaikum, Mas," "Waalaikumsalam, Bun," "Dimana kok kayanya rame banget?" ucap Ita mendengar suara ramai di seberang telefon. "Di Rumah Sakit, Bun," "Hah?! Siapa yang sakit?!" Ita berteriak kaget. Apa mungkin menantunya sakit? Tapi kenapa? Apa karena malam pertama? Satria bermain dengan kasar hingga sampai dilarikan ke Rumah Sakit? Atau--atau mereka tidak jadi malam pertama karena menantunya sakit? "Bunda jangan teriak-teriak. Ini telinga Satria sakit lho," "Ih, Mas. Siapa yang sakit? Kamu? Atau--" "Maneger Salsa, Bun," "Hah?! Terus apa urusannya sama kamu?!" Ita sangat heran dengan anak satu-satunya ini. Jadi Satria sudah di Surabaya sepagi ini? Dan meninggalkan Ayla pagi-pagi seperti ini? "Terus gimana sama menantu Bunda?" tanya Ita lagi. "Salsa baik-baik saja, Bun. Ini sekarang Satria lagi temani dia sarapan," Salsa mendongak menatap wajah sang suami yang tengah tersenyum padanya. Ia mendengus sebal kemudian memalingkan muka nya ke arah lain. "Emang Bunda tanya keadaan Salsa?" Satria yang berada di seberang telefon menaikkan satu alisnya. "Bunda tuh tanya Ayla, soalnya Bunda telfon nggak diangkat sama dia? Kamu ninggalin dia sendiri di Malang ya, Mas?" Satria berdecak pelan sambil menepuk keningnya merutuki kebodohan yang sudah ia lakukan. Ia baru ingat jika ia sekarang punya 2 istri. Dan kejadian malam tadi, pria itu dengan bodohnya meninggalkan istrinya saat malam pertama, bahkan tanpa pamit. "Bun, udah dulu ya. Satria mau ke toilet," Tut! Tut! Tut! Tanpa menunggu jawaban sang Bunda dan mengucapkan salam, Satria langsung memutuskan sambungan. Ternyata benar 15 panggilan tak terjawab dari Ayla, dan 3 panggilan tak terjawab lainnya dari Eza. Tangannya dengan terampil menekan digit nomor. "Ck! Sial! Kenapa nggak dijawab coba?!" Satria menggerutu pelan karena Ayla tak mengangkat telefon dari nya. Bahkan ia melupakan seseorang yang ada di depannya saat ini. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD