Bab 12 : Kebenaran

1156 Words
Setelah 4 hari berada di Malang akhirnya pria itu kembali ke Surabaya pagi tadi. Sebenarnya kurang 3 hari lagi ia menghabiskan waktu bersama dengan istri keduanya itu. Namun karena tuntutan dari Salsa—istri pertama— yang sangat pria itu cintai. Satria akhirnya menurut tak ingin kejadian satu bulan lalu terulang kembali, dimana Salsa meninggalkan nya. "Selamat datang, Pak." sambut Mbak Inah yang berdiri di depan pintu menyambut tuan rumahnya datang. "Ibu sudah pulang?" "Sudah, Pak. Tadi langsung ke kamar," Satria berjalan menjauhi Mbak Inah yang sebelumnya sudah berpesan untuk membuatkannya teh hangat. "Dari mana?" pertanyaan Salsa pada Satria yang baru saja memasuki kamar. "Dari Malang, Sayang." Satria mendekati istri nya itu mengecup kening, kedua pipi, dan bibir sesekali melumat bibir merah itu. "Pemotretan kamu udah selesai?" Satria telah memindahkan Salsa untuk duduk di pangkuan nya. "Hm," Tangan Salsa mengalung pada leher Satria, "Nanti malam Bunda undang kita untuk makan malam," "Mau goda aku, hm?" Bukannya menjawab ucapan Salsa, Satria malah menanggapi tentang godaan dari istrinya. Tak biasanya Salsa mengodanya seperti ini. "Aku yang pimpin permainan?" Tangan Salsa sudah meremas bagian bawah milik sang suami yang masih tertutup celana bahan. "Baiklah." Satria gampang sekali terangsang. Apalagi yang merangsang nya adalah Salsa—wanita yang amat dicintainya. Salsa dengan gerakan menggodanya mulai melepas seluruh kain penutup tubuhnya. Satria tersenyum melihatnya. Satria mulai melepas satu persatu kemeja, celana bahan, dan dalaman miliknya. Dengan nafsu yang menguasai diri masing-masing. Kedua nya mulai melakukan percintaan panas dengan Salsa memegang kendali penuh. Gerakan Salsa yang berada di atas tubuh Satria membawa kedua insan itu mendesah kuat. Salsa memaju mundurkan pinggulnya dan kadang kala menaik turunkan nya. "Ohhh.. ohhh... ahhh... aahh.. ughh.. shhh.. sayanghh.. ahh" Salsa lebih mempercepat gerakan nya dengan bantu sang suami dari bawah sana. "Ahhhh.." Satria tersenyum senang menyadari jika ia berhasil memuaskan sang istri. Istrinya itu telah mengalami pelepasan dan pindah dari atas tubuh Satria ke samping ranjang. Apa yang istrinya itu lakukan? Satria mulai bangkit mendekati sang istri karena dia belum mencapai pelepasan nya. Kepalanya sangat pusing karena belum tertuntaskan. Satria menarik pelan bahu Salsa agar berbaring terlentang. "Milikku belum keluar, Sayang. Kita tuntaskan dulu ya? Setelah itu kamu bisa tidur," "Ck! Aku capek. Kamu di kamar mandi aja sana, tuntasin, pake tangan kamu. Dan jangan ganggu aku," Salsa menepis kasar tangan Satria yang mengelus rambut nya. 'Sayang, sampai kapan aku harus seperti ini? Selama 6 tahun lebih aku selalu bersabar untuk selalu menghadapi mu. Aku tak ingin kehilanganmu, aku ingin memiliki bayi dari rahim mu, anak yang nanti akan mempererat rumah tangga kita berdua. Anak dengan wajah perpaduan dari kita. Kalau dengan ini aku bisa memuaskanmu tidak apa. Aku ikhlas, semoga ke depannya kamu meminta hal seperti ini lagi padaku.' Batin Satria dengan senyum sendu terlukis di bibirnya. Pria itu bangkit berjalan ke kamar mandi untuk menuntaskan hasratnya. Hasrat yang ia lakukan dengan di bawah guyuran shower. Air matanya ikut terjatuh mengingat kenangan manisnya bersama Salsa dulu sebelum mereka menikah dan setelah menikah menjadi pengantin baru. Mereka adalah pasangan bahagia, dulu mereka juga sering menghabiskan waktu di luar negeri untuk berlibur menghabiskan waktu bersama. **** Pagi yang dingin, hujan terus saja mengguyur kota Surabaya sejak tadi malam. Selesai sholat subuh Satria kembali tertidur kembali, kepalanya masih pening mengingat semua kejadian tadi malam. Hasratnya memang sudah keluar, tapi rasa pusing itu masih ada. Sedangkan, Salsa selesai sholat subuh sudah pergi keluar, tak tau kemana. Merasa sudah lebih baik, Satria mulai bangkit menuju ke kamar mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor. **** "Hari ini kita ada jadwal temu dengan klien di resto angkasa, pukul 1 siang, Pak." Eza mulai menjelaskan daftar rincian Satria untuk hari ini. "Untuk seminggu ke depan, apakah ada jadwal untuk keluar kota?" Satria masih tetap terfokus dengan kertas-kertas hasil coretannya. "Tidak, Pak. Tapi untuk minggu depan Bapak ada jadwal temu dengan klien di Bayuwangi." Satria membuang nafas gusar, "Berapa hari?" "Kemungkinan minggu depan itu hanya meeting saja, dan untuk pembangunan sendiri dilakukan 2 bulan lagi," "Baiklah, kamu bisa keluar," "Maaf, Pak sebelumnya karena lancang," Satria mendongak menatap Eza—sekretaris nya yang tengah menunduk menatap nya. "Apa bapak ingin ke Malang, kangen dengan Ibu Ayla?" Satria meneguk ludah kasar, ia ingin menyangkal hal itu. Tapi hatinya berkata lain, entah kenapa sejak malam pertama mereka rasanya Satria tak ingin jauh-jauh, ia ingin segera memiliki seorang anak. "Itu bukan urusan kamu," kilah Satria dengan wajah yang sudah memerah. "Jujur aja Sat, gimana malam pertama nya, mantap? Genjotnya jangan kenceng-kenceng kasihan istri muda dong," Eza sudah tak memikirkan tentang atasan dan bawahan, ia sungguh ingin menggoda sahabatnya itu. "Za, jaga bicara kamu." peringat Satria dengan telinga yang sudah sangat memerah. Eza tertawa keras melihat sahabatnya sekaligus atasannya itu. "Jadi pengen liat istri mudamu deh, pasti cantik ya?" "Eza!!" geram Satria. Eza melihat Satria yang sudah ingin sekali marah akhirnya pamit unduru diri dengan tawa yang masih terdengar. **** Malam ini sesuai rencana, Satria dan Salsa akhirnya pergi ke rumah keluarga Bismantara untuk makan malam bersama. Makan malam sangat tenang, namun juga sesekali Arya dan Satria melontarkan percakapan untuk mencairkan suasana tegang diantara mereka berempat. "Mas, gimana keadaan Ayla?" ucapan tiba-tiba dari Ita langsung membuat tubuh Satria menegang. Pria itu melirik takut-takut pada Salsa, Salsa yang saat ini sedang menatap Satria dengan tatapan sulit diartikan. Satria ingin mengatakannya dengan pada Salsa pada waktu yang tepat. Satria ingin Salsa tahu kebenarannya dari mulutnya sendiri, tidak seperti ini. "Ba-baik, Bun." "Syukurlah, semoga cepat isi ya? Bunda udah nggak sabar banget pengen gendong CUCU," Ita sengaja menekankan kata 'cucu' dengan tatapan menusuk yang ditujukan pada Salsa. "I-iya, Bun." "Kurasa makan malam ini telah selesai, Ayah Bunda terimakasih banyak atas undangan makan malam yang sangat mengesankan ini, kami harus pamit." Salsa langsung bangkit pergi meninggalkan mereka bertiga. "Bun, apa-apaan sih? Jangan ikut campur urusan rumah tangga anak kita," ucap Arya. "Biarin aja, biar wanita itu sadar. Kalo dalam rumah tangga itu jangan menuruti egonya saja." Satria membuang nafas gusar, dia pun pamit undur diri menyusul istrinya. **** "Sayang dengerin aku dulu, ya?" "Jadi kamu udah nikah nggak bilang-bilang?" "Aku mau bilang tapi nunggu waktu yang tepat, please dengerin penjelasan aku," "Apa?! Apa yang mau kamu jelasin?! Hah?!" Satria mengusap wajahnya frustasi, "Sayang, please dengerin aku, ya?" "Apa aja yang udah kamu lakukan sama dia? Secantik apa dia?" "Nggak gitu, tolong dengerin aku bentar aja." "Oh jangan-jangan dia pengen uang kamu aja? Dia matre? Atau dia wanita murahan? Berapa dia jual badan dia ke kamu? Atau—" "SA! CUKUP!" nafas Satria memburu dengan wajah yang telah memerah menahan segala amarah. "Jangan pernah sekali-kali kamu rendahin Ayla. Kamu boleh maki, hina, atau nggak anggap aku, tapi tolong jangan sekali-kali kamu hina Ayla." Satria merendahkan suaranya, karena hanya dengan kesabaran dan kepala dingin Salsa bisa dimengerti. "Kamu dengerin aku dulu," Satria mulai menceritakan semua, juga tentang izin yang Salsa berikan pada suaminya sendiri untuk menikah lagi. Asalkan pria itu tak pernah mencampuri urusannya, dan menuntut nya untuk memberikan seorang anak. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD