Everybody's Gotta Learn Sometimes

1045 Words
Kehadiran 'Pangeran Bisu' mampu menghapus bagian tidak mengenakkan yang menyiksa neuron-neuron memori Sedayu. Ia sudah mampu tertawa lepas. Ia telah merelakan hubungannya dengan Ari berakhir. Bahkan, ia belajar melihat dunia dari sisi yang berbeda. Sisi yang lebih membuka pemikirannya. Bahwa, hidup ini bukan hanya ada Ari dan dirinya. Gadis itu merasa bahwa selama ini telah terkurung oleh rasa yang salah. Ia telah serampangan menanam benih di tempat yang tak seharusnya. Semua itu terjadi karena kehadiran sang 'Pangeran Bisu.' Dalam benaknya kini, tidak penting siapa orang tersebut. Asalkan orang tanpa wujud itu menciptakan kebahagiaan tiada tara. Kebahagiaan yang selama ini ia pikir hanya bisa diberikan Ari. Galau karena Ari berhasil dihapus pangeran bisu, lalu sang pencipta kegalauan itu tiba-tiba muncul kembali. Seolah mengajak bersama seperti sediakala. Sedayu tertawa miring. Ia tidak ingin hatinya dipermainkan. Sekarang bukan Ari yang ia butuhkan, tetapi pangeran tanpa wujud itu. Bagaimanapun sosoknya, Sedayu tak lagi pedulikan. Sudah berapa malam berlalu, Ari setia datang ke rumahnya. Berharap Sedayu mau menemaninya seperti dulu. Namun, gadis itu benar-benar menjaga jarak. Ia hanya ingin menjaga hati dari pesatnya pertumbuhan benih yang masih tersisa. Kalau ia menyambut kedatangan Ari, sama artinya membunuh diri. Benih itu akan kembali tumbuh. Lagi pula, ia tidak ingin sakit hati lagi. Sebab nyatanya, Ari masih berpacaran dengan China. Lantas untuk apa laki-laki itu seolah lupa pada kekasihnya. "Keong, aku minta maaf. Kenapa kamu tega banget, sih? Buka pintunya dong!" Ari tidak tahu, Sedayu menutup telinganya dengan headset. Ia menyetel musik bervolume tinggi. Sengaja. Ia tidak ingin mendengar rengekan Ari yang terus memintanya keluar kamar. Lelah memanggil, ia duduk di lantai depan kamar Sedayu. Rasa kantuk melanda. Ia sandarkan punggung dan kepala ke dinding. Tekadnya, malam ini ia harus merayu Sedayu agar mau berteman lagi dengannya. "Ari!" Pipinya ditepuk. Ketika membuka mata, sosok Pak Sandi berdiri tegak di hadapannya. "Kenapa kamu tidur di sini?" "Dayu tuh, Om. Enggak mau buka pintu." "Bukannya kamu yang memintanya menjaga jarak?" "Aish, Sedayu ember banget, sih!" "Dia tidak cerita. Saya yang cari tahu sendiri." "Maafin aku, Om." "Pergilah. Bukannya kamu punya pacar. Tuh, di depan mencak-mencak cari pacarnya yang menghilang tanpa kabar beberapa hari ini." Ari terdiam dengan mulut ternganga. Ini masalah, pikirnya. Kalau China tahu ia ada di rumah Sedayu, gadis itu pasti minta putus. Padahal Ari belum ingin jadi jomlo. Minggu depan akan ada reuni akbar SMA Nusa Bakti. Angkatannya diwajibkan membawa pasangan. Kalau tidak, ia akan dipermalukan atau bayar denda. Kurang ajar memang, gerutunya. Bisa saja ia mengajak Sedayu. Namun, masalahnya tidak semudah itu. Semua teman seangkatannya mengenal Sedayu sebagai sahabat, adik angkat, dan tetangga terbaik. Kalau tiba-tiba ia mengaku sudah pacaran, teman-temannya tidak akan percaya. Lagi pula, Sedayu belum tentu setuju. Sekarang saja gadis itu tidak mau menemuinya. Ia keluar menemui China. Gadis itu melotot. Mata sipitnya tidak melebar khas orang melotot. Ari tertawa. "Kenapa enggak angkat teleponku?" "HP-ku di kamar. Sedayu sakit. Enggak tega biarin dia sendiri. Tuh, papanya baru pulang. Jangan marah, ya. Sayang kamu." Ari mencubit gemas pipi China. Ia memohon dalam hati, semoga pacarnya percaya. Ini satu-satu cara yang terpikir olehnya. Demi reuni nanti. Setelah ini akan ia cari cara agar tidak terikat lagi dengan China. Setelah diabaikan Sedayu baru ia sadar, lebih baik kehilangan China daripada kehilangan separuh hidupnya. Sedayu Bening. Pak Sandi, papanya Sedayu menyaksikan kelakuan Ari yang sangat berengsek menurutnya. Ia akan peringatkan sang anak agar benar-benar menjauh. Selama ini ia pikir Ari anak yang baik. Selalu menjaga Sedayu saat sendirian. Nyatanya, kelakuan berengsek anak muda itu mulai terlihat sekarang. Bukan tidak mungkin suatu saat ia akan berbuat buruk pada Sedayu. Laki-laki paruh baya itu menutup pintu. Ia ingin menemui Sedayu, tetapi kamar sang anak terkunci. Berkali-kali dipanggil tidak ada jawaban. Mungkin sudah tidur, pikirnya. Ia pun masuk ke kamar. Ketika pagi menjelang, ia tersenyum melihat Sedayu telah menyiapkan sarapan. Biasanya ia tidur lagi setelah melaksanakan kewajiban pada Sang Kuasa. Hanya karena ingin berbicara dengan Sedayu, ia tidak kembali ke peraduan, tidak melanjutkan tidurnya. Sedayu tidak menyadari kehadiran papanya. Hari ini ia membuat bubur ayam, sesuai pesanan sang pangeran. Senyuman manis terukir jelas. Hatinya tidak perlu dibelah untuk mengetahui rasa yang tersimpan di dalam sana. Cukup melihat rekahan senyuman dan rona merah di pipi sang gadis, siapa pun akan menyadari sesuatu telah berlaku di hatinya. Sesuatu yang membahagiakan. Bubur untuk sang pangeran sudah terisi di rantang. Kata manusia tak berwujud itu, mereka akan bertemu jika rantangnya sudah mencapai 66 buah. Entah apa maknanya ia memilih angka tersebut. "Itu buat siapa, Nak?" Sedayu terperanjat. Rantang di tangannya terjatuh. Mukanya kecut saat memandang tumpahan bubur di lantai. "Maafkan papa, Sayang." Ia pura-pura tersenyum. Tidak ingin papanya merasa bersalah. Bubur buatannya tidak banyak. Hanya tiga porsi. Dia harus merelakan porsinya untuk sang pangeran. "Enggak apa-apa, Pa. Tumben sudah bangun. Mau berangkat sekarang?" katanya sembari membersihkan lantai. "Belum, Sayang. Papa ingin bicara." Kening Sedayu mengernyit, tetapi ia tidak menanggapi, masih membersihkan lantai. Setelah beres, barulah ia duduk di samping papanya yang tengah melahap sarapan. "Mau bicara apa, Pa?" "Jauhi Ari." "Emang kenapa, Pa?" "Pacarnya posesif. Papa tidak ingin dia mencelakaimu karena cemburu. Dan, laki-laki seperti Ari memang tidak pantas jadi pendamping hidupmu." Sedayu hanya mengangguk. Tidak ada bantahan atau mengajukan pendapat. Ia tahu kapan menurut tanpa membantah dan kapan boleh protes. "Kamu kuras tabungan?" Sedayu mendongak menatap bingung sang papa. "Itu HP baru, kan?" "Oh. HP Dayu rusak, Pa. Jatuh di jalan, terus digilas motor. Rencananya mau beli HP baru, tapi beberapa hari lalu, ada kurir antar paket. Isinya HP ini. Enggak tahu siapa yang kirim. Dia cuma bilang calon suami." Papanya menarik napas, lalu memperhatikan ponsel di tangan sang anak. Ia tahu itu ponsel mahal. Laki-laki siapa yang rela mengeluarkan uang untuk seorang perempuan yang belum terikat apa pun. Orang baik itu hanya ada satu tujuan; karena ada maunya. Entah mau diridai Tuhan atau mengharapkan balasan pada sesama. "Apa orang yang menggilas motormu ingin menggantinya?" "Enggak mungkin, Pa. Dia masih remaja. Paling uang jajannya masih ngemis sama orang tua." "Kalau orang tua si anak bagaimana?" Sedayu terpekur. Sungguh, ia tidak memikirkan ke arah sana. Ia tertunduk. Rasa yang disebut kecewa tiba-tiba melintasi hati. Kalau ini pemberian orang tua sang anak, kenapa gombalannya memikat hati dan pikiran. Seumur hidup ia tidak pernah bercita-cita menjadi pelakor. Sebutan yang patut dihindari. Haruskah bahagia yang baru tercipta ini berakhir? Kenapa begitu cepat?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD