"Kalau kamu tidak mengizinkan sedih hadir lebih awal, lakukan hal yang sama dengan bahagia. Jangan melambungkan harap yang belum pasti, kamu akan kecewa."
Semangat Sedayu menguap bersama kalimat sakti papanya. Ia masih membisu di meja makan setelah papanya pamit kerja. Dering ponsel tidak lagi dihiraukan. Bubur di mangkuk hanya diaduk-aduk.
Begitulah Sedayu, jika sedih melanda, makan pun enggan. Makanan selezat apa pun tidak menggugah selera. Kata papanya, ia berbeda dengan mendiang mama. Kalau sedang sedih, makannya lebih banyak.
"Andai Mama masih ada," gumamnya muram. Air mata menetes. Meski tidak pernah merasakan kehadiran sang mama, terkadang ia merindukannya. Ia beranjak ke kamar tanpa memperbaiki mangkuk dengan bubur yang masih utuh. Foto mamanya di atas nakas diambil. Kemudian ia berbaring sembari memeluk bingkai foto sang mama.
Puluhan pesan dari manusia tanpa wujud diabaikan. Ponsel itu hanya dipandang. Seolah tenaganya telah tersedot habis oleh sebuah dugaan. Padahal ia selalu baca kalimat motivasi tentang hal ini; jangan siksa hatimu dengan prasangka. Lebih baik mencari tahu kebenarannya. Meskipun jika kenyataan nanti terasa pahit, setidaknya semua hal sudah jelas. Bukankah menyelesaikan masalah yang sudah pasti itu jauh lebih mudah?
Suara ketukan pintu memaksanya bangun. Ketika membuka pintu, ia dapati seorang perempuan paruh baya–seumuran mamanya Ari– berdiri di depan pintu rumahnya. Mbak Karsi, biasa dipanggil orang kompleks. Beliau pemiliki warung di ujung gang, tempat Sedayu menitipkan donat.
"Cah Ayu, donat neng warung wes ntek. Inyong telepon nomere kowe ko ora aktif ya?”
"Maaf, Mak. HP Dayu rusak. Ada yang pesan donat?"
"Iya. Wonge pesen akeh nemen, Ngko bengi pan dijukut. Bisa ora?"
Sedayu masih berpikir. Pesanannya banyak artinya keuntungan juga banyak, tetapi waktunya cuma sebentar.
"Cah Ayu, aja melongo. Sanggup ora?"
Sedayu mengangguk. Daripada berdiam diri dan memikirkan sang pangeran, lebih baik bergerak mengumpulkan cuan. Sebelun mulai membuat adonan, ia mengirimkan pesan tanpa membaca puluhan pesan dari si pangeran bisu.
"Kirimkan alamatmu. Aku akan mengembalikan HP ini."
Ia letakkan ponsel di atas kasur, lalu ditinggal ke dapur. Galau karena praduga beberapa menit yang lalu, ia kesampingkan. Sekarang ia percaya pada perkataan orang bijak. Kalau sedih, jangan merenung. Kesedihan akan berlipat-lipat. Akan lebih baik jika sedang sedih, lakukan aktivitas berguna dan menghasilkan hal-hal yang menggembirakan.
Tangannya cekatan menguleni adonan. Lumayan, hasilnya bisa tambahan beli ponsel baru. Pikirnya sembari tertawa. Mentertawakan hidupnya yang seperti lelucon. Bahagia baru saja tercipta, tetapi waktu begitu cepat datang merampas.
Ia mencuci peralatan saat menunggu adonan mengembang. Pintu diketuk dan suara salam anak kecil terdengar. Ia mencuci tangan dan masuk ke kamar mengambil ponsel. Ia yakin, anak kecil itu disuruh sang pangeran bisu.
Benar dugaan itu, anak yang biasanya mengambil sarapan di depan rumah, sudah berdiri mengerjap-ngerjap di depan pintu.
"Ini untuk kakak."
Satu parcel berisi cokelat diulurkan ke arahnya. Sedayu menerima dan memberikan ponsel pada si anak.
"Kasih ke orang yang menyuruhmu."
Ia menutup pintu. Tak lagi pedulikan panggilan sang anak. Langkahnya telah berderap ke dapur. Sekali-kali bersikap masa bodoh ternyata seru juga. Girangnya dalam hati. Ia tertawa sembari menyalakan kompor. Siap menggoreng donat.
Ketika mengantar pesanan ke warung Mbah Karsi, ponsel yang dikembalikan tadi ada di sana. Disertai secarik kertas dan sebuket bunga mawar. Seolah kiriman dari kekasih yang sangat romatis. Sedayu mengutuk pemikiran itu. Tiba di rumah, ia simpan ponsel dalam lemari. Bunganya dibuang. Kertasnya disobek tanpa dibaca.
"Menyebalkan."
Besoknya ia ke ATM, mengambil uang dan pergi ke konter, beli ponsel baru. Tidak peduli siapa manusia tukang gombal tersebut. Kalau laki-laki itu bukan suami orang, ia bakal mendatangi papa dan menghentikan permainan gilanya. Sebuah keyakinan baru yang Sedayu tanamkan dalam pikirannya.
"Hai, kamu yang cantik! Sudikah menemani si ganteng ini makan siang?"
Sedayu baru keluar dari konter. Langkahnya terhenti karena Iyan menghalangi jalannya. Ia kembali teringat pada sang pemberi ponsel yang tidak mau berbicara. Pun, seringnya ia menggombal. Apakah orang itu Iyan? Pikir Sedayu sembari terus menatap Iyan yang masih cengengesan di depannya. Laki-laki itu tidak mau berbicara karena takut suaranya dikenali. Sedayu mengangguk-angguk, membenarkan pemikirannya.
Sekarang ia akan meladeni Iyan, ingin mencari tahu kebenaran dugaannya.
"Mau makan di mana?"
"Ah, enggak penting tempatnya di mana, Cantik. Yang penting bersama kamu yang manis, mas-mu ini sudah senang."
Sedayu terdiam, mencerna gombalan Iyan. Kebanyakan laki-laki memang suka menggombal, tetapi setiap dari mereka memiliki ciri khas. Selama chating sama pangeran bisu, ia mengenal ciri khas dari orang tersebut. Dan, itu berbeda dengan gaya Iyan.
"Kita ke Warung D'Kailupa, ya." Sengaja ia memilih warung itu. Warung yang alamatnya diberikan anak remaja, perusak ponsel Sedayu. Ia ingin mencari tahu, apakah ponsel itu diberikan orang tua si anak atau bukan.
"Sip. Sudah kubilang, Cantik ..."
"Ke mana saja asal bersamamu." Sedayu melanjutkan kalimat Iyan. Laki-laki berambut cepak itu tertawa. Hatinya kegirangan. Akhirnya ia bisa mendekati Sedayu tanpa gangguan Ari.
Sedayu memperhatikan warung yang begitu ramai pada jam makan siang seperti sekarang. Meskipun hari Minggu, warungnya tetap ramai.
Iyan menarik tangannya, melangkah masuk. Beberapa menit berlalu, seporsi rujak teplak untuk Sedayu dan semangkuk soto tauco untuk Iyan telah tersaji.
"Minggu depan kamu datang reuni bareng aku ya, Cantik!"
Sedayu memperhatikan wajah Iyan memelas. Sejujurnya ia tidak suka menghadiri acara reuni. Sesuatu yang sia-sia menurutnya. Tahun lalu juga ada reuni dan terjadi sebuah kejadian luar biasa. Seorang kakak kelas datang bersama istrinya. Pertengahan acara, ada keributan. Sang istri mendapati suaminya berduaan dengan mantan waktu masih sekolah dulu.
Gadis itu menguyah sayuran yang telah dibaluri dengan sambal gaul. Sambal untuk rujak teplak. Terbuat dari singkong yang direbus dan dihaluskan. Kemudian dicampur aneka bumbu dan dilarutkan dengan air. Belum sempat menanggapi ajakan Iyan, anak remaja yang berjanji mengganti ponsel waktu itu mendekatinya.
"Mbak Sedayu sudah terima ponsel baru, kan?"
Sedayu terperangah. Jadi, dugaan papanya tidak meleset. Ingin rasanya ia meneteskan air mata saat ini juga. Namun, ia tidak ingin mempermalukan diri. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum pada sang anak.
"Makasih, ya. Bilang pada papamu ..."
"Duh, maaf. Aku kebelet, Mbak." Anak itu sudah berlari sambil memegang perut. Padahal Sedayu belum menyelesaikan ucapannya. Ia melirik Iyan yang memandang bingung. Gadis itu tersenyum dan segera mengalihkan pembicaraan.
"Baiklah. Aku akan menemanimu ke acara reuni nanti."
Menurutnya, menerima Iyan yang masih single jauh lebih baik. Daripada laki-laki sudah beristri, tetapi suka menggoda perempuan lain.
Iyan bersikap berlebihan saat Sedayu menyanggupi ajakannya. Laki-laki itu bersujud ke lantai warung. Tidak peduli pengunjung lain memandangnya dengan beragam arti.
Sedayu menggeleng-geleng melihat kelakuan Iyan. Ia tidak tahu, di ruang penghubung bagian dalam, laki-laki berkepala botak sedang menahan amarah. Tidak suka melihat gadis yang diincarnya bersama laki-laki lain.