Bukan Karena Tari

920 Words
Juna hanya punya waktu sekitar satu mingu lagi untuk memutar otaknya mencari cara agar pertunangannya segera batal. Selama seminggu belakangan ini juga tingkah Tari semakin menyebalkan apalagi dia hampir setiap hari mampir kerumahnya. Meski Juna tidak berada dirumah, tapi gadis itu tetap datang dengan tujuan agar lebih akrab dengan calon mertua. Agendanya pasti ada saja, shopping bareng lalu pulangnya singgah kerumah Bu Widia, atau masak bersama padahal Bu Widia tak bisa masak sama sekali. Intinya Tari selalu memamerkan skill memasakanya di depan calon mertua. Seperti siang ini, Tari menggantikan posisi chef di rumah. Ya intinya dia menyiapkan makan siang hari ini untuk keluarga Pranaja. Dan sialnya, Maya mendapat perintah untuk membantu Tari menyiapkan bahan masakan, dan Bisa dibayangkan bagaimana kesalnya Maya saat itu. "Cucinya yang bersih ya, yang steril!” Titah Tari saat Maya sedang mengupas kentang. Maya tidak menjawab dia hanya diam saja. Soal itu tak perlu lah diingatkan dia juga sudah bisa memasak sejak duduk di bangku SD. Rasanya, kalau mau adu skill masak dengan calon nona muda sombong ini, Maya pun siap. "Potongnya enggak gitu, ya ampun. Untuk ukuran sop itu kekecilan. Bisa masak nggak sih kamu?!" Tari kembali protes saat ia melihat Maya memotong kentang dengan ukuran yang tidak sesuai dengan seleranya. "Potong sendiri aja kalau gitu." Sahut Maya sambil meletakkan pisau. "Ya ampun, ini sih gila ya ada gitu pembantu ngeyel kalau di kasih tau?" Tari menatapnya kesal. Dan yang Maya lakukan adalah membalas tatapannya dengan lebih sadis. "Ada apa, sayang? Kenapa?" Bu Widia yang mendengar samar ada perdebatan di dapur pun mendekat. "Enggak Bu, Tari ngasih tau sama Maya. Kalau potong kentangnya jangan kekecilan, eh dia malah marah." Jelas Tari dan Nyonya langsung menatap Maya saat itu. Rasanya dia tak percaya kalau Maya yang selalu bersikap sopan, bisa marah hanya dengan hal kecil begitu. "Maya, dengerin aja apa kata Non Tari ya?" Ujar Bu Widia dengan nada pelan tanpa menghakimi. Dan Maya hanya mengangguk pelan. "Ibu tinggal lagi ya Tari, sekalian mau nelpon Juna biar dia pulang makan siang di rumah. Kan kamu yang masak. Nggak mungkin kan calon suami kamu nggak ikut makan." Bu Widia mengusap lengan Tari. Dan Maya yang mendengar itu ingin muntah rasanya, apalagi terselip kata calon suami disana. Sejenak Maya berpikir, calon istri tuan mudanya ini mempunyai sikap seperti ini pantas saja Juna belum tertarik. "Oke Bu." Sahut Tari. Setelah dua menit kepergian Bu Widia dan Tari memastikan bahwa calon mertuanya itu sudah tak ada lagi di sekitar mereka, Tari kembali mendekat ke Maya. "Buang aja itu kentangnya, kupas yang baru!" Titah Tari. Maya memutar bola matanya kesal, ya ampun ini belum jadi nyonya aja cerewetnya minta ampun. Kalau membunuh nggak dosa dan nggak masuk penjara mungkin itu pisau di tangan Maya bisa-bisa melayang ke badan Tari. Astaghfirullah... Maya beristighfar dalam hati. Meski kesal, Maya tetap menuruti titah Tari. Untung saja belum banyak kentang yang dia potong, kalau banyak kan mubazir jadinya. Sepuluh menit kemudian, urusan kentang selesai. Kini Maya beralih ke bumbu masak, bawang, cabai, dan lain-lain. Nggak tau deh kalau di protes lagi. Yang iyanya memang mau nyari salah orang dan sengaja supaya Maya jadi nambah kerjaannya. Sementara Bu Widia sedang berada di ruang tengah, mencoba menelpon Juna dan tak butuh waktu lama, Juna langsung menerima panggilan. Ini merupakan sesuatu yang sangat langka. "Kamu dimana Nak?" "Di jalan, mau makan siang, kenapa Bu?" "Wah kebetulan, makan dirumah aja ya? Ada Tari dia lagi masak banyak loh untuk makan siang, kamu pulang ya? Bisa kan?" "Tari, masak?" Tanya Juna. "Iya, itu lagi nyiapin masakan di dapur, di bantuin Maya." "Maya?" mendengar nama Maya disebut, Juna seperti terpanggil untuk segera pulang. "Iya, gimana bisa kan?" "Oke, aku otw sekarang." Bukan karena Tari, tapi mendengar nama Maya di sebut, Juna ingin segera pulang. Bukan apa-apa, dia takut Tari menyakiti Maya dengan kata-katanya yang pedas. Dan Bu Widia kegirangan karena tumben sekali anak bungsunya itu langsung menurut tanpa perlu di paksa seperti biasanya. * Satu jam kemudian Juna tiba dirumah, makanan sudah tersaji di meja. Semuanya berkumpul, ada Pak Pranaja, Bu Widia dan Juga Mbak Wini. Mereka sengaja memang menunggu Juna agar bisa makan bareng. "Ini beneran masakan kamu, Tari?" Tanya Wini. Pertanyaannya menyudutkan. Mulut Wini yang tajam, tidak peduli kepada siapa dia berbicara. "Ya beneran lah Mbak." Sahut Tari dengab wajah masam. Sepertinya orang di rumah ini hanya Bu Widia yang baik kepadanya, yang lainnya? Masih bersikap acuh tak acuh dengan kehadirannya. "Cicip ya." Ujar Wini. Dan Tari mengangguk "silahkan Mbak." Juna baru selesai cuci tangan dan hendak bergabung ke meja makan, berpapasan dengan Maya yang sedang membawa teko berisi air putih. "Hai." Juna menyapa, sempat-sempatnya. Dan karena sapaan Juna pada Maya barusan, semuanya yang ada di meja makan menoleh. Maya hanya menundukkan kepalanya tanda sopan, tanpa membalas sapaan lelaki itu. Juna sudah duduk di tempatnya, di samping Tari. Sengaja Tari menyisakan kursi di sebelahnya untuk lelaki itu. Maya tengah menuangkan air ke dalam gelas Nyonya Widia, lalu beralih pada gelas di samping Tuan Pranaja. "Kamu nggak ikut makan? Masih ada kursi kosong tuh." Juna berujar saat Maya berdiri tepat di sampingnya sambil menuangkan air putih di gelas Juna. "Juna?" Bu Widia memanggilnya sambil berkerut kening. "Ya kan tadi ibu bilang, Maya ikut bantuin. Apa salahnya kalau Maya ikut gabung makan?" Jelas Juna. Dan Tari dadanya sudah kembang kempis, merasa kehadirannya dan usaha menyajikan makan siangnya hari ini tak di hargai oleh Juna. "Nggak apa-apa Tuan, saya bisa makan di belakang, kayak biasa. Permisi." Lalu Maya berjalan cepat sebelun menjadi pembahasan keluarga majikan siang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD