Nggak Sudi

884 Words
Ya, Maya memang pembantu di rumah itu. Baru beberapa bulan dia menetap di kediaman Pranaja. Lantas apa harus ditatap seperti itu, hingga dia risih. Tatapan Tari cukup menyudutkannya. Dan Maya merasa dipandang rendah. Apalagi Tari seolah ingin menerkamnya karena memergoki Maya sedang berduaan dengan Juna. Seolah gadis itu ingin menjadi pelakor yang hendak merebut Juna-nya. "Permisi Tuan,” Ujar Maya lalu dia setengah berlari menuju kamarnya yang ada di sekitar dapur. Aku memang pembantu, tapi aku nggak kalah cantik kok dari kamu. Nggak boleh insecure. Maya terus menguatkan diri. Lagian itu perempuan kenapa ngeliatin aku gitu banget, dikira mau ngerebut lakinya kali ya. Ih nggak sudi!! ngebet banget sih Mbaknya? Nggak tau apa kalau usahanya sia-sia karena calonnya itu nggak doyan perempuan?! Maya terus menggerutu dalam hati, mengumpat wanita bernama Mentari itu. lalu dia tertawa kecil, sambil membuka kerudungnya saat sudah tiba di kamar. Kamar yang di huni oleh Maya dan ibunya itu hanya berukuran tiga kali empat meter. Lalu Maya menyalakan kipas angin dan memutar tepat ke arah wajahnya. Cuaca panas hatinya pun panas. Uh Maya kesal sekali dengan calon nona mudanya itu. * "Iya, aku lagi bareng Maya. Terus emangnya kenapa kalau dia pembantu? Ada yang salah?" Tanya Juna sambil berjalan menuju ruang tengah dan Tari tentu mengikutinya. "Ya enggak sih, maksudku ngapain berduaan sama dia di dapur. Dia godain kamu kan?" Tanya Tari ketus. "Jaga mulut kamu ya Tari, dia nggak sehina itu." Sahut Juna lalu duduk di sofa. Kalimatnya memang terdengar membela Maya. Tari masih diam, mereka memang sering berdebat seperti ini. Menuurutnya, Juna termasuk laki-laki yang keras kepala, nggak ada sisi lembutnya sama sekali. Tapi kenapa Tari bisa terpikat? Dan tak ingin melepaskan lelaki ini. Dia pun heran. "Terus, ada apa kamu kesini?" Lanjut Juna setelah meneguk cokelat dingin hasil curiannya. "Ya kita kan mau fitting baju sore ini, kamu nggak hubungi aku. Dan aku juga nggak bisa hubungi kamu, terus gimana? Terpaksa aku nelpon Ibu dan Ibu bilang kamu udah pulang kerumah." Jelas Tari. Sejak beberapa bulan lalu memang dia sudah mengubah panggilannya pada calon mertua dari tante menjadi ibu. Alasannya biar lebih akrab lagi. "Ya udah, mau pergi sekarang?" Juna tak ingin Tari berlama-lama disini, mending langsung pergi saja. "Iya,” Sahut Tari * Suasana di perjalanan hening, Juna masih diam dengan wajahnya yang menampilkan bahwa dia cukup kesal hari ini. Sementara Tari juga hatinya nggak tenang karena dirundung rasa cemburu. Tapi otaknya selalu menepis kalau dia cemburu. Yang benar aja, cewek sekelas dia harus cemburu dengan pembantu? Dimana harga dirinya? "Juna, aku boleh nanya?" Takut-takut, Tari bertanya. "Apa?" Sahut Juna ketus. "Em, kalian... beneran nggak ada apa-apa kan?" "Kalian siapa?" Juna balik bertanya. "Kamu dan pembantu kamu tadi, soalnya dia masih muda banget. Mana cantik lagi. Maaf aku nggak maksud buat ngerendahin kamu karena bakal tergoda sama pem-“ "Kamu nggak ngerendahin aku, tapi kamu terus ngerendahin dia." Juna langsung menyambar kalimat Tari dan nada bicaranya terdengar jelas bahwa dia sedang membela Maya. "Kamu dari tadi belain dia terus." Keluh Tari sambil menghentakkan satu kakinya. "Kenapa memangnya?" Tari memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam. Entah lah, hatinya terasa sakit aja. "Dan yang aku lihat tadi, tatapan kamu ke dia itu beda banget Jun. Sementara ke aku, nggak pernah kamu begitu." Tari memang sempat melihat Juna menatap Maya begitu dalam, bahkan saat Juna menghadang Maya tadi, terukir senyum tipis di wajahnya. Dan hanya Tari yang melihat itu, sedang Maya sendiri tidak tahu sama sekali karena dia begitu enggan menatap tuan mudanya itu. "Kamu suka sama dia?" Lanjut Tari, saat merasa Juna tak memberi jawaban apapun. "Kalau iya, gimana?" Sahut Juna tegas. Dan kalimat itu begitu menusuk jantung dan hati Tari. Ingin dia menangis galau tapi emosinya ternyata lebih besar. "Selera kamu murahan, rendahan, pembantu? Di mana akal sehat kamu Juna? Mikir dong. Gimana perasaan ibu kamu kalau tau anaknya begini?" Suara Tari menggema di dalam mobil, gadis itu berbicara setengah berteriak. Lantas Juna menghentikan mobilnya secara tiba-tiba, hingga terdengar suara decitan ban yang beradu dengan aspal. "Turun kamu!" Titah Juna. Tari tersenyum sinis, yang benar saja, dia di suruh turun di pinggir jalan seperti ini? "Jun, kamu punya pikiran nggak sih?" "Nggak!! Untuk saat ini aku terpaksa nggak mau gunakan pikiran aku, sekarang kamu turun aja ya!!" Juna melembutkan nada bicaranya. "Jun, jangan gini dong. Dikit lagi kita nyampe ke butik." Tari setengah memohon. "Kamu fitting aja sendiri, nanti waktu hari H. Kamu pakai cincin sendiri. Aku nggak ada urusan lagi dengan semua ini." Juna mengela napas kasar. Sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menggambarkannya. Cukup bosan, muak dan entah lah. Tari belum juga turun, dia masih diam sambil memainkan ponselnya. Lima menit sudah mereka saling berdiam dalam kondisi mobil yang berhenti. Dan Juna kembali melajukan mobilnya, masih tetap dengan Tari yang duduk disampingnya. Kamu tuh cuma ngancam doang Juna, mana mungkin kamu tega turunin aku di pinggir jalan begitu. Bilang aja sayang, tapi gengsi kan? Tari mengukir senyum miring di wajahnya ya tentu karena dia merasa menang, dan Juna yang kalah. Bukan Juna tak tega, dia cukup tega. Tapi bisa ribet urusannya kalau sampai Tari mengadu pada ibunya. Apalagi akhir-akhir ini ibunya itu sering mengatakan kalau sedikit-sedikit pusing, karena tensi darah naik. Juna tidak tahu pasti itu memang benar atau hanya ancaman, tapi yang jelas Juna hanya ingin ibunya tetap sehat dan hidup lebih lama lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD