bc

Hai, Bapak Muda!

book_age18+
6.0K
FOLLOW
53.5K
READ
teacherxstudent
school
like
intro-logo
Blurb

Peringatan! Membaca judul ini dapat menyebabkan Anda cengar-cengir atau bahkan keram perut. Dianggap gila oleh orang terdekat bukan tanggung jawab Author apalagi kelurahan setempat!

Abrisam Ramadhan (32), pria yang cukup sukses dan berpendidikan itu menyandang status duda satu anak. Hidupnya tenang dan nyaman pada awalnya, tetapi takdir malah mempertemukannya dengan seorang gadis yang bernama Sabila Khansa (20).

Gadis yang sering dipanggil Jenong oleh teman-temannya itu sangat menjengkelkan, merepotkan, banyak maunya, rewel, bicara blak-blakan, sembarangan, dan masih banyak lagi. Terlebih, orangnya tidak cantik, tidak menarik, tidak tahu malu, tidak sopan, dan tidak-tidak yang lainnya.

Hidup Abrisam kian berubah. Iya, berubah menjadi sangat menyebalkan. Tapi, mau bagaimana lagi? Takdir yang sudah mengirim gadis itu untuknya. Abrisam bisa apa? Lagi pula, dia ada gunanya juga walau Abrisam hampir gila.

Note : Cerita ini bertema komedi, bukan 'aku menangis', tidak ada menye-menye. Bacaan santai, minim konflik. Jika ada konflik, jangan diambil pusing, bawa santai aja. Luv ❤

• Spin-off Para(gak)Normal

• Series Enam Sekawan 2 - Sabila

chap-preview
Free preview
Tidak Ada Pilihan
Punya teman, saudara, atau bahkan pasangan yang bar-bar, lempeng, sembarangan, bicara blak-blakan, tidak tahu malu, tidak sopan, tidak cantik dan tidak-tidak yang lainnya? Terlebih, orangnya sok cantik, sok manis, sok bener, sok akrab, dan sok-sok yang lainnya? Nih, kenalin, Sabila Khansa, manusia jadi-jadian yang lahir 20 tahun silam. Ke warung pakai sarung? Mendadak jadi petugas lalu lintas saat macet? Keluar rumah pakai sandal beda sebelah? Nebeng ke tempat tujuan sama orang asing? Sabila sering melakukannya. Jika penampilannya sedikit rapi, percayalah, dari atas sampai bawah itu barang pasti milik kelima temannya yang ia pinjam dan pura-pura lupa cara mengembalikannya. Tidak melulu tentang kekurangan, Sabila juga punya kelebihan, yaitu otaknya yang pintar hingga mendapatkan beasiswa dan diterima di universitas yang cukup terkenal. Dibesarkan bersama ibu kandungnya yang serba kekurangan, menjadikannya sebagai wanita yang mandiri, tidak manja, pekerja keras, dan tak pernah mengeluh. Di sela-sela waktunya, Sabila selalu bekerja paruh waktu untuk menutupi kebutuhan hidupnya, apa pun pekerjaannya. Seperti halnya membantu ibunya menjadi buruh cuci pakaian, terkadang menjadi asisten rumah tangga, berjualan secara dropship, mengantarkan barang atau makanan, dan masih banyak lagi. “Ran?” Sabila memasuki kamar, mendapati adiknya yang sedang belajar di sana. “Kak Bila.” Rani, gadis berusia 12 tahun itu menyahuti dengan antusias. “Makanan buat kamu.” Sabila menyerahkan kantong plastik berisi makanan yang sudah ia beli dari warung. “Mama masih sakit?” tanya Rani sambil membuka bungkusan makanan. Sabila mengangguk malas, kedua tangannya sibuk memilih pakaian ganti untuk ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit. Tanpa bertanya sekalipun, Rani sudah tahu bahwa kakaknya itu akan segera pergi lagi ke rumah sakit. “Rani mau jenguk Mama.” “Ck! Gak usah. Kamu di rumah aja. Belajar yang bener.” “Tapi Rani mau ketemu Mama.” “Besok, deh. Besok Kakak jemput.” “Saya tidak mau tahu, Pak. Hutang Bapak sudah lama gak dibayar-bayar! Tiap ketemu minta tempo!” Ada banyak pria yang sedang berbincang dengan ayah tirinya, Erip. Sabila tahu siapa mereka, orang-orang yang biasanya datang untuk menagih hutang Erip. Sabila menoleh ke arah Rani yang juga sedang menatapnya takut. “Jangan didenger,” ucapnya, lalu kembali mempersiapkan barang yang akan dibawanya. “Udah kelamaan kamu minta waktu! Penipu!” “Ini kalo ditotalin, berapa hutang lo sama kita-kita? Gak mikir lo!” “Udahlah. Kita jual aja rumahnya. Uangnya kita bagi-bagi. Percuma nunggu-nunggu terus. Orang kayak gini gak ada niat buat bayar!” Teriakan beberapa pria dari luar rumah terus saling menimpali. Lagi-lagi Sabila dan Rani saling tatap, tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan saat itu, suara ribut seperti Erip yang terkena tamparan bahkan pukulan pun terjadi. Hanya saja, suara Erip sendiri sangat pelan hingga tidak terdengar jelas bicara apa. Seseorang tiba-tiba saja masuk ke dalam rumah, lalu membuka tirai kamar Sabila. Ia berkata, “Dek, beresin barang-barang. Besok harus udah kosong!” “Kak, Rani takut.” Rani berlindung di belakang tubuh Sabila, meninggalkan posisinya yang semula sedang duduk. Gadis itu memang memiliki trauma. Wajar saja ia terlihat sangat ketakutan, tangannya pun dirasa bergetar hebat kala mendengar pertengkaran dari luar rumah. Sabila tak mungkin diam, yang ia khawatirkan adalah Rani, bukan ayah tirinya. Ia pun bergegas membawa sang adik keluar dari rumah, memintanya untuk menginap di rumah temannya yang kebetulan masih tetangga. Di dalam angkutan umum, Sabila bingung harus ke mana. Tujuan angkutan memang menuju rumah sakit, tetapi entah mengapa hatinya ingin menemui kakak tirinya, Nadya. Ancaman pria-pria tadi tidak bisa diabaikan begitu saja. Mereka ingin menjual rumah yang saat ini ditempati Sabila? Walau ukurannya sangat sempit dan hanya memiliki dua kamar, tetap saja itu adalah harta terbesar yang dimiliki keluarganya. Tanpa banyak berpikir lagi, Sabila meminta angkutan umum untuk berhenti, dilanjutkan perjalanan menuju apartemen Nadya. Entah apa yang akan terjadi, Sabila tidak peduli, yang jelas ia harus membicarakan masalah keluarganya. Lagi pula, di rumah sakit ada adik sang ibu yang menjaga. Sabila tidak terlalu khawatir. Sekarang, wanita berwajah standarnya Indonesia itu sedang memperhatikan orang yang berlalu-lalang di parkiran apartemen kakak tirinya. Adanya di sana dengan pakaian yang tidak jelas style-nya seperti apa membuat orang-orang merasa iba. Ingin sekali menyimpan uang recehan di depan gadis itu. Hanya saja, wajahnya yang tidak bersahabat membuat mereka enggan mendekati. “Ngapain lo di sini?” Nadya mendelikkan matanya dengan sinis. “Mungutin botol bekas.” Sabila bersungut-sungut. “Ya elah, masih aja nanya,” gumamnya kesal. “Kalo mau ngomongin soal biaya perawatan mama lo, gue angkat tangan.” Nadya mengangkat kedua tangannya di udara seolah sedang ditodong sebuah pistol. “Ini lebih penting lagi, sih.” Sabila menggeleng pelan, tak kaget dengan reaksi Nadya yang sudah dapat diduga sejak awal. “Apaan? Gak usah banyak cincong, deh.” Nadya malas berbasa-basi. “Lo gak niat buat bawa gue masuk, Kak?” Sabila menggaruk kepalanya dengan asal. “Ngapain lo mau ke dalem? Mau ngabisin makanan gue? Berantakin dapur sama kamar mandi gue? Iya?” cecar Nadya tak santai. “Gak gitu juga kali.” Sabila menatap kesal. Bagaikan langit dan bumi, wajah Nadya sangat cantik, dia juga baik menurut Sabila. Hanya saja, pekerjaannya sebagai ani-ani kelas atas atau lebih lumrah dengan sebutan PSK, membuatnya dipandang sebelah mata hingga tidak diakui oleh keluarga, terutama ayahnya sendiri yang kini menjadi ayah tiri Sabila, Erip. Nadya tinggal di apartemen miliknya seorang diri. Kehidupannya pun terbilang mewah, pakaian serta perawatan dirinya sudah setara dengan seorang model atau artis. Bahkan, Nadya menjadi seorang seleb di sosial media dan memiliki jumlah pengikut hingga berjuta-juta karena kecantikannya. “Cepetan, deh. Gue ada acara.” Nadya berdiri tak jauh dari Sabila yang sedang asyik menyuapkan roti ke dalam mulutnya. “Rumah mau dijual sama orang yang dihutangin sama Ayah, terus uangnya mau dibagiin ke orang-orang yang Ayah hutangin juga.” Sabila memberitahu. “Kak, gue tau lo gak tinggal di sana, tapi pikirin gue, Mama, sama Rani, mau tinggal di mana kalo rumah dijual?” lanjutnya dengan nada lemah. “Lo 'kan bisa ngontrak.” Nadya terlihat masa bodoh. “Masalahnya, mama gue lagi sakit, Kak. Gue gak tega ngomongnya. Mau bayar perbulan uang dari mana? Gue belum kerja, Mama sakit-sakitan. Lo tau sendiri Ayah gak peduli sama kita.” Lagi, Sabila memelas melalui nada dan mimik wajahnya, berharap hal itu dapat membuat hati Nadya merasa prihatin. “Terus? Mau minta gue bayarin?” Bukan pertanyaan, jelas Nadya sedang menyinggung dengan nadanya yang tak enak didengar. “Bil, gue kalo susah, gak pernah tuh minta bantuan lo atau Mama. Gue gak bisa bantu. Apartemen aja belum gue bayar.” “Kak, lo 'kan banyak duitnya.” Sabila merengek, memperlihatkan wajah murungnya. “Dikira tinggal mungut apa? Bil, pengeluaran gue juga banyak. Lo pikir mobil gue main ambil di dealer tanpa harus bayar bulanan?” Nadya tetap pada keputusannya, yaitu menolak untuk membantu. “Kak ... sekali ini aja, please.” Sabila memohon walau dirinya sendiri tak yakin wanita di hadapannya akan berubah pikiran. “Gue udah sering bayar hutang Ayah, bukan sekali doang. Tapi lo tau sendiri, 'kan, apa kata Ayah? Selalu aja bilangnya ‘Gak butuh duit haram lo!’” Nadya mempraktekkan kalimat ayahnya yang selalu ia ingat hingga detik ini. Memang benar yang dikatakan Nadya, Erip selalu mengungkit uang haram yang diperolehnya. Padahal, Nadya melakukan pekerjaan haramnya dikarenakan ekonomi. Jika ada uang, tidak peduli uang haram atau halal, Nadya tidak pelit untuk berbagi bahkan membayar hutang ayahnya sedikit demi sedikit. Namun, balasan Erip selalu sama, yaitu 'uang haram' seolah ia tidak membutuhkannya. Ayah tirinya yang jarang sekali pulang itu bekerja sebagai juru parkir. Tapi, di samping itu ia juga senang berjudi hingga berhutang kepada banyak orang. Pekerjaan Erip sebagai penjudi sama-sama bukan jalan benar, apa yang ada di pikirannya hingga selalu saja mengungkit pekerjaan Nadya? Erip bukan hanya tidak mengakui Nadya sebagai anaknya, tetapi ia juga tidak peduli kepada keluarganya termasuk Sabila. Bahkan, saat ini ibu Sabila sedang dirawat di rumah sakit akibat penyakit asam lambungnya kambuh, tetapi Erip tak pernah menjenguk satu kali pun. “Kapan dijualnya?” tanya Nadya setelah cukup lama diam dan memandangi wajah sang adik yang semakin semrawut saja. “Besok, lusa.” Sabila menatap sayu. “Gue gak bisa bantu langsung. Tapi kalo lo mau kerja, gue bisa bantu.” Nadya tetap tidak bisa membantu banyak, kecuali membantu Sabila untuk mendapatkan uang. “Kerja apaan?” Sabila terlihat was-was. “Berdiri doang.” Nadya berjalan ke arah sofa, mengambil ponsel dalam tasnya. “Maksud?” Sabila bangkit dari duduknya, mendekati Nadya untuk meminta penjelasan. Nadya sebenarnya bingung mengatakannya. Tapi baiklah, ia akan mencoba menjelaskan, “Gini, ada cowok kaya yang—” “Duh, nggak deh, gak bisa.” Sabila menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Dengerin dulu makanya!” Nadya melotot kesal, tahu apa yang ada di pikiran gadis kusam itu. “Dia butuh cewek. Mami butuh lima cewek buat dipilih sama orangnya langsung. Nah, lo ikut aja. Tenang aja, gue yakin cowoknya gak buta, kok. Gak mungkin milih lo,” lanjutnya menjelaskan, berniat untuk membuat sang adik tenang, tetapi juga terkesan mengejek penampilannya. “Kalo dia gak milih gue, berarti gue gak bakal dapet duit dong?” Sabila tidak mengerti. “Dapet, tapi cuma sejuta. Beda lagi kalo lo yang dipilih.” Nadya malas menjelaskannya lebih rinci. “Sejuta? Serius?” Mata Sabila membelalak sempurna, tak percaya hanya dengan berdiri saja ia akan mendapatkan uang sebesar itu. “Cuma berdiri doang.” Nadya mengangguk satu kali, memperjelas intinya. “Gue mau,” sahut Sabila tanpa berpikir panjang. “Sekali ini doang.” Nadya memperingati. “Kalo cuma berdiri mah gue mau tiap hari, Kak. Bahkan kalo bisa, sehari lima kali, deh. Bisa kaya mendadak gue,” celetuk Sabila sembarangan. “Gak usah! Pokoknya cuma sekali ini aja!” Nadya membantah tegas. “Besok lo ke sini, bawa duit tambahan buat bayar utang Ayah,” ucapnya kemudian. “Kenapa gak sekarang aja? Gue gak perlu berdiri, 'kan?” Sabila kesal sendiri. “Sekarang gak ada duitnya, Bil. Adanya besok atau lusa. Lo minta waktu aja sama yang mau gusur rumah.” Nadya terlihat serba salah. “Tapi ... kalo cowoknya milih gue, gimana?” Sabila kembali bertanya jika itu terjadi. “Gak mungkin! Jangan berkhayal kayak di novel-novel yang cowoknya kaya raya, terus mau-maunya ama cewek kayak lo!” maki Nadya kesal sendiri seraya menelisik penampilan Sabila yang jauh dari kata bagus apalagi cantik. “Ya udah, sih. Gue ikut.” Sabila cemberut, kakak tirinya itu terlalu blak-blakan menurutnya. “Mandi, gih. Entar gue dandanin,” titah Nadya yang langsung dituruti Sabila. Satu juta tentunya tidak akan cukup untuk membungkam semua orang yang dihutangi Erip, tetapi setidaknya ia sudah berusaha dan berharap uang tersebut dapat membuat mereka mengundur waktu. Lagi pula, Nadya bilang akan memberikan sejumlah uang untuk ikut membayar hutang Erip. Di samping itu, Nadya menghubungi seseorang yang merupakan seorang 'mami'. Mami yang dipanggilnya bukan mami biasa, melainkan pemilik agency yang menaungi PSK berkelas. Nadya sendiri telah menjadi 'karyawan' kesayangan si Mami tersebut. Alasan Nadya menghubunginya adalah meminta izin kepada Mami untuk membawa Sabila. Tidak, Nadya tidak berniat untuk menjual tubuh Sabila ataupun mengajarkan gadis itu caranya mendapatkan uang secara instan. Dalam hatinya yang terdalam, ia sendiri tidak akan membiarkan Sabila mengikuti jejaknya. Hanya saja, saat ini Nadya juga sedang membutuhkan biaya untuk membayar ini dan itu termasuk apartemennya. Lagi pula, wajah kusam dan tubuh kerempeng Sabila sudah jelas tidak ada apa-apanya dengan ani-ani lainnya. Tepatnya, Nadya yakin tidak akan ada yang mau 'membeli' Sabila sekalipun gadis itu berdandan seharian dan memakai dress dari designer ternama. “Jangan menor,” pinta Sabila saat Nadya sedang merias wajahnya. “Berisik lo!” Nadya bosan dengan kata-kata itu yang terus Sabila ucapkan sejak tadi. “Jangan segala ditempelin bisa gak, sih? Gue takutnya kepilih.” Sabila kembali memperingati saat riasan hampir selesai, tapi kakaknya itu masih saja menyentuh wajahnya menggunakan alas bedak. “Kalo halu itu pake perkiraan! Muka lo mau ditempelin foundation sepuluh layer juga gak bakal berubah banyak.” Akhirnya, tangan Nadya yang sudah gatal sejak tadi menoyor kepala Sabila juga. Selesai menghias wajah Sabila, Nadya lanjut menghias rambutnya dengan cekatan. Setelah semua sudah selesai dan Sabila sudah memakai dress miliknya, Nadya cukup terhibur dengan perubahan gadis itu. Lumayan, agak mirip anak manusia pada umumnya. “Wah, ternyata gue lumayan juga kalo dandan.” Sabila bicara sendiri dalam hatinya saat melihat penampilannya dari cermin. *** Di salah satu ruangan tempat Nadya 'bekerja', sudah ada Mami dan tiga wanitanya. Sama seperti Nadya, ketiga wanita itu sangatlah cantik. Kehadiran Sabila bagaikan limbah yang mencemari pemandangan indah di sebuah sungai. Tidak perlu dijelaskan, tidak ada satu pun yang menyapanya. Nadya juga asyik berbincang dengan Mami-nya dan teman-temannya, mengabaikan Sabila yang duduk seorang diri. “Bil.” Nadya berjalan menghampiri, sedangkan Sabila langsung bangkit dari duduknya. “Berdiri yang bener,” pintanya dengan suara pelan. “Yang bener emang kayak gimana?” Sabila memperhatikan kedua kaki Nadya seolah sedang membandingkan caranya berdiri. “Yang anggun,” jelas Nadya, menarik tangan Sabila untuk berjajar dengan wanita lainnya. “Ah, bodo amat. Yang penting berdiri, 'kan?” Sabila tak peduli dengan gayanya sendiri. “Jangan nunjukin kalo lo gak mau dipilih,” bisik Nadya yang sudah siap dengan gaya anggunnya, berdiri di samping Sabila. “Cowoknya di mana?” Sabila celingukan, penasaran setampan dan sekeren apa pria yang akan datang. “Bentar lagi juga masuk. Senyum yang manis.” Nadya lagi-lagi menasehati. “Gak bisa.” Sabila menolak untuk bersikap manis. Tujuannya hanya berdiri dan mendapatkan uang satu juta, itu saja. “Lo kalo kayak gini gue tumbalin juga, dah.” Nadya melotot kesal. Walaupun memang tidak ingin terpilih, setidaknya jangan menunjukkannya. “Ampun, ampun.” Sabila bergidik ngeri ketika membayangkan kata tumbal, yaitu melayani seorang pria. “Jangan kaku gitu senyumnya.” Nadya geram saat melihat adiknya yang sedang belajar tersenyum manis. Sabila terus memaksakan senyumnya yang tidak enak dipandang dengan beberapa pose. “Lumayan.” Nadya mengangguk pasrah melihat senyuman yang sedikit manis. Dari kejauhan, Mami sedang berbincang bersama dua pria yang diyakini pembeli. Saat mereka selesai bicara, Mami memberikan isyarat agar Nadya menghampirinya. Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya, Nadya segera mendekatinya, meninggalkan Sabila yang masih berjejer bersama wanita lainnya. Entah apa yang dibicarakan Nadya bersama Mami dan kedua pria itu. Namun pada akhirnya, Nadya keluar dari ruangan itu bersama satu pria. Jelas, Sabila bingung apa yang terjadi, mengapa kakaknya itu meninggalkannya. Sementara satu pria lagi, berjalan di belakang Mami untuk menghampiri Sabila dan tiga wanita lainnya. Setelah jaraknya sudah dekat, Sabila baru menyadari siapa pria itu. Tidak mungkin salah, pria itu adalah dosen pengganti di kampusnya yang menjadi haluan Sabila karena ketampanannya. Apa yang dilakukannya di sini? Apakah pria itu seorang pembeli? Lalu, ke mana Nadya pergi? Sabila tidak bisa berkata-kata juga bertindak apa pun selain menundukkan kepalanya, berharap pria itu tidak mengenalinya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.7K
bc

My Secret Little Wife

read
97.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook