DUA PULUH SATU

1109 Words
Darah di kepalanya sudah mendidih, Andra akhirnya memutuskan untuk pulang terlebih dahulu dari kantor. Ia berusaha sebisa mungkin untuk meredam kemarahannya terhadap orang-orang kantor. Terlebih kakaknya. Ia berusaha menahan amarah pada setiap lawan bicaranya, sebisa mungkin agar amarahnya tidak meledak dan mengacaukan segalanya. Ia menyabet map yang tadi ia temukan di meja kerja istrinya dan memasukkan nya ke dalam tas kerjanya dan kemudian mengambil kasar kunci mobilnya. "Saya pulang dulu, ada urusan penting. Atur ulang jadwal saya jika ada pekerjaan lainnya" ucap Andra pada sekretarisnya setelah mengunci ruangan kerjanya dan kemudian bergegas menuju mobilnya. "Selamat sore Tuan" sapa Mbak Siti melihat majikan lelakinya pulang kerja. "Sore, Renata udah pulang Mbak?" tanya Andra jutdes (jutek + judes) pada pembantunya itu. "Belum Tuan, Nyonya belum pulang, mungkin sekitar jam setengah enam atau jam enam biasanya baru pulang" jawab Mbak Siti. "Yaudah, saya mau mandi dulu" Andra bergegas menuju kamarnya itu. Ia membanting kasar pintu kamarnya saat menutupnya. Ia sebenarnya ingin membanting tas kerjanya juga, namun karena masih ada laptop miliknya di dalam sana, akhirnya ia berpikir dua kali untuk melemparnya. Ia menaruhnya di ruangan kerjanya dan melonggarkan kancing teratas kemejanya. Andra bergegas mendorong pintu balkon kamarnya dan menarik handuk dari jemuran dengan kasar lalu pergi mandi untuk mendinginkan dirinya. Renata menarik rem tangan mobilnya saat dirinya sudah sampai di rumah. Ia melihat mobil suaminya sudah terpakir dengan cantiknya di garasi mobil mereka. "Tumben banget Andra sudah pulang" Renata menarik tas nya dari kursi penumpang di sampingnya itu. Ia pun masuk ke dalam rumah dan kemudian langsung bergegas ke kamarnya tanpa menemui Mbak Siti seperti biasanya. Ia hanya melihat Mbak Siti memasak untuk makan malam mereka. Ia langsung naik ke lantai dua dan masuk ke kamar. Renata mendengar suara shower dari dalam kamar mandi, tandanya Andra masih berada di dalam kamar mandi. Setelah suaminya keluar dari kamar mandi, Renata masuk ke dalam kamar mandi tanpa sepatah kata pun. Seakan ia tidak heran mengapa suaminya pulang lebih awal sebelumnya dan tidak biasanya juga suaminya pulang lebih cepat.  Selesai mandi Renata mendapati suaminya masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia sudah terbiasa dengan sikap suaminya yang cuek terhadapnya meskipun rasanya sakit di perlakukan seperti itu oleh suami sendiri.    Di dalam ruangan kerjanya, Andra mengambil laptopnya dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat ia hentikan beberapa saat tadi. Meskipun rasanya marah bukan main namun ia mencoba untuk sabar beberapa saat sebelum akhirnya ia bisa meledak sehebat-hebatnya nanti. Map tersebut masih tersimpan dengan rapih di dalam tasnya. Bukti kuat itu akan ia sodorkan jika masih berani mengelak juga. Ia hanya tidak menyangka ini semua terjadi. Setelah selesai makan malam yang penuh dengan keheningan itu, keduanya langsung menuju kamar tidur. Tidak ada satu abjad pun terucap dari mulut mereka. Andra yang lebih dulu meninggalkan ruang makan dan langsung naik ke atas, tanpa sepatah kata pun pada istrinya yang masih makan itu. Tak lama Renata naik ke atas dan masuk ke dalam kamarnya. Ini saatnya batin Andra saat melihat istrinya masuk ke dalam kamar. "Jadi ternyata rumor perusahaanmu mau buat furnitur baru itu benar ya" Andra akhirnya memecah kebisuan di antara keduanya. "Hah?" Renata mengerutkan keningnya. "Jangan pura-pura bodoh kamu" Andra melempar map yang menjadi alasan kemarahannya ini. "Coba jelaskan ini" ucap Andra dengan suara menantang. Renata membuka map tersebut dan kageet mlihat gambar-gambar tersebut. "Itu desain furnitur perusahaanku asalkan kamu tahu" Andra melemparkan map yang berisi sketsa-sketsa desain furnitur perusahaannya itu.  "Seenaknya kamu plagiat ya" ujar Andra sambil menunjuk ke arah kertas-kertas yang Renata pegang. "Aku gak pernah tanda tangan sketsa-sketsa ini. Aku bahkan gak tahu apa-apa tentang sketsa-sketsa ini" Renata masih menggengam kertas-kertas tersebut. "Gak usah bohong! Ini apa? Semua sudah kamu tanda tangani itu artinya kamu sudah setuju dengan desain-desain ini!" gertak Andra dengan seluruh amarahnya. Ia merasa sudah saat yang tepat ia menumpahkan kemarahannya pada Renata. "Kamu benar-benar ini mengibarkan bendera perang dengan suamimu sendiri rupanya" Andra berkacak pinggang.  Renata tidak mengerti apa-apa. "Kamu pikir desainer yang aku pekerjakan itu dengan mudah menemukan ide ini hah? Kamu pikir kuliah desain produk seperti mereka mudah? Kamu pikir ide mereka itu murah hah?" Andra semakin menumpahkan kekesalannya pada Renata yang tidak mengerti apa-apa. "Aku benar-benar tidak mengerti Andra. Aku tidak pernah menanda tangani itu semua dan aku tidak bermaksud untuk menyaingi perusahaanmu. Sungguh" Renata menjawab sejujur mungkin pada suaminya yang sudah terbakar emosi tersebut. "Jangan bohong! Ini semua sudah ada buktinya, untuk apa lagi kamu mencoba berbohong" tegas Andra sambil menunjuk ke arah sketsa-sketsa yang sudah terkapar di atas tempat tidur mereka.  "Sekarang aku tahu, kamu yang mencuri desain-desain tersebut. Aku juga baru sadar, kamu datang agak terlambat untuk makan siang dengan ku, Diana dan anak-anak karena kamu menaruh kembali desain itu setelah kamu plagiat. Karyawanku juga baru menemukannya kembali setelah kamu tiba di kantorku. Sudah jelas sekarang kamu pelakunya" Andra menjelaskan semuanya sesuai dengan pemikirannya. "Ini tidak seperti yang kamu simpulkan. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa" Renata mencoba membuat Andra mengerti bahwa dirinya sama sekali tidak mengerti dengan ini semua.  "Kamu kesal karena selama ini aku tidak memperlakukan dirimu sebagaimana seorang suami memperlakukan istri, jadi ini balasannya?" Andra mulai berbicara lagi. Raut kecewa terlihat jelas di wajah Renata. "Kamu mau tahu kenapa aku memperlakukan kamu seperti ini selama ini?" tanya Andra. "Aku memperlakukan mu selama lima bulan ini karena aku tidak pernah mencintaimu! Aku menikahimu untuk membalaskan dendamku pada mantan istriku karena aku sakit hati ia menduakanku. Dan untuk menghukummu yang sudah mencampuri urusan pribadiku!" hardik Andra. "Kapan aku mencampuri urusan pribadimu?" balas Renata. "Saat kamu memutuskan untuk menikah denganku itu artinya kamu sudah mencampuri urusan pribadiku. Asal kamu tahu aku bisa cari istri yang jauh lebih baik daripada kamu" ucap Andra dengan kemarahannya.  Renata sakit mendengar pernyataan suaminya barusan. Hatinya benar-benar teriris. Lima bulan menikah, Andra ternyata sukses membuatnya jatuh hati. Namun ternyata selama ini sikap kasar Andra adalah untuk menghukumnya karena menerima pernikahan ini. Ia benar-benar tidak percaya. Air mata merembes di pipi cantiknya. "Air mata buaya mu nggak akan buat aku luluh. Sudah cukup Renata" Andra menatap tajam istrinya yang menangis dengan posisi terduduk di pinggir ranjang mereka. "Aku benar-benar nggak tahu apa-apa. Aku berani sumpah demi apapun aku sama sekali tidak tahu tentang ini semua. Demi Tuhan Andra, aku mohon" Renata menangis sejadi-jadinya.  "Cukup! Simpan air mata buayamu itu! Sekarang lebih baik kamu . . " Andra menggantungkan kata-katanya. Renata menatap wajah suaminya tersebut dengan air mata yang terus mengalir di dari sudut mata cantiknya. "Pergi dari hadapanku. Sudah cukup semua drama ini" ujar Andra sambil menghela napas panjang. Kecewa, marah dan kesal semua jadi satu. "Aku mohon dengarkan aku dulu" Renata memohon untuk yang kesekian kalinya. "Pergi dari hadapanku. Sudah cukup dengan semua ini. Aku muak!" gertak Andra yang sudah kehilangan kesabarannya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD