Tiga

1156 Words
“Selamat malam semuanya.” Sapa Dicka saat memasuki rumah dan terlihat Mamih Siska, Papih Devan, dan Shahia tengah duduk bersama di ruang tamu. “Hay sayang, kamu sudah pulang.” Sapa Mamih Siska. “Iya mih.” “Bagaimana acaranya? Lancar?” Tanya Papih Devan. “Lancar pih.” Jawab Dicka dan ikut duduk bersama mereka. “Tunggu, tapi kenapa kok muka kamu begitu?” Tanya Mamih Siska. “Memang kenapa muka Dicka mih? Gantengkan? Kan emang dari lahir muka Dicka emang ganteng mih.” Mendengar jawaban Dicka, Mamih Siska dan Shahia menghela nafas panjang. Sifat songong dan Kepedeannya Devan benar-benar menurun pada Dicka. “Hahaha. Kamu memang benar-benar anak papih.” Ucap Devan bangga. “Hehm, terserah kalian berdua deh. Tapi yang mamih tanyakan kenapa muka kamu kelihatan asem begitu?” “Iya mih tadi ada sedikit masalah. Dicka hampir saja kecelakaan.” “Hah? Kecelakaan? Kok bisa? Apa kamu terluka?” Panik Mamih Siska. “Nggak kok mih. Dicka baik-baik saja. Tapi perasaan Dicka yang kesal.” “Lah kok bisa?” Dicka pun menceritakan tentang kejadian saat ia perjalanan pulang. Ia hampir menabrak seseorang yang mengendarai motor dengan ugal-ugalan.  Yah yang dimaksud Dicka adalah Fiona dan orang yang hampir bertabrakan dengan Fiona adalah Dicka. “Tapi nggak ada yang terluka kan?” Tanya Mamaih Siska. “Nggak sih mih.” “Terus kenapa kamu kesel gitu?” “Mamih tahu nggak sih, cewek itu tuh nggak sopan banget. Dicka masih ngomong main pergi aja. Dia yang salah tapi dia yang marah-marah. Ngeselin nggak tuh mih? Dan satu lagi, cewek tapi bentukannya cowok banget. Kayaknya dia anak motor dan suka urakan mih. Dicka juga yakin kalau dia tadi habis mabuk-mabukan tawuran.” “Hush, jangan berburuk sangka seperti itu.” “Bukan berburuk sangka mih, tapi kelihatan dari penampilannya dan tadi juga ada memar di mukanya. Apalagi kalau bukan habis berantem. Dicka tambah benci cewek yang model begituan. Cewek tapi kayak cowok dan kayak preman gitu. Nggak bersyukur banget, dan nyalahahin kodratnya sebagai seorang cewek.” Semuanya menahan tawa melihat kekesalan Dicka yang tak jelas itu. “Jangan begitu, nanti kamu kena karmanya dan malah jatuh cinta.” Goda papih Devan. “Hih, amit-amit pih. Dicka sukanya cewek yang lemah lembut seperti mamih. Iya nggak mih?” Ucap Dicka sambil mengangkat kedua alisnya. “Betul, mamih kamu memang wanita paling sempurna.” Tambah papih Devan. Sedangkan mamih Siska yang mendengar pujian dari kedua jagoannya itu masih saja merasa tersipu malu. “Eh tapi tiba-tiba Shahia malah pengen jadi cewek yang pemberani dan keren seperti kakak tadi.” Sahut Shahia. “Seperti kakak tadi? Siapa maksudmu?” Tanya Dicka. “Iya. Jadi gini. Tadi adik kamu pulang dari rumah temennya, dan waktu di jalan dia di hadang oleh tiga cowok yang sedang mabuk. Untung saja tadi ada seseorang yang menyelamatkan adikmu.” Jelas mamih Siska. “Hah? Kok bisa? Emang kamu pulang sendiri? Kenapa nggak suruh jemput kakak? Tapi kamu nggak papa kan? Nggak ada yang terluka kan?” Panik Dicka mendengar adik kesayangannya habis terkena musibah. “Nggak kak. Shahia nggak papa. Nggak ada yang teluka sedikit pun. semua berkat kakak yang nolongin Shahia tadi. Kalau tidak, Shahia tidak tahu akan seperti apa.” “Kenapa kamu nggak hubungin kakak?” “Shahia nggak ingin mengganggu kakak. Shahia tahu kakak sedang sibuk.” “Lain kali walau bagaimana pun atau sesibuk apapun kakak, kamu tetap harus hubungin kakak. Meskipun kakak nggak bisa, tapi kakak bisa menyuruh orang lain untuk menjemputmu. Seperti Randhi misalnya.” Kalian masih ingatkan, Randhi adalah anaknya Riko dan Sinta. Yah sampai sekarang keluarga Devan dan keluarga Riko masih menjalin hubungan yang sangat baik. “Iya kak. Tapi tahu nggak kak? Tadi kakak yang nolongin Shahia tadi menghajar semua pria itu sendirian. Wuih… sumpah keren banget kak. Seperti di film-film. Keren banget sumpah. Dan satu lagi kak, dia pakek motor pembalap gitu. Keren banget nggak sih. Udah cantik, jago beladiri, huh pokoknya Shahia sangat ngefans dengan kakak itu. Shahia harap bisa bertemu lagi dengan dia.” “Haish, tapi kamu jangan ikut-ikutan seperti dia. Mendengar dari ceritamu, kakak sudah bisa menebak kalau cewek itu pasti juga urakan, sama seperti cewek yang hampir menabrak kakak tadi. Hehm, apa emang sekarang lagi jamannya cewek seperti itu ya. Pokoknya kamu nggak boleh ikut-ikut. Kakak sangat benci sama cewek yang suka urakan.” “Iya kak. Tapi dia udah menyelamatkan nyawa Shahia loh? Adik satu-satunya kesayangan kakak.” “Iya, kalau untuk itu kakak tetap bersyukur. Jika bertemu dengannya kakak akan mengucapkan banyak terima kasih dan akan memenuhi satu permintaan apapun yang dia mau untuk membalas kebaikannya karena telah menolongmu.” “Yang bener kak?” “Iya adikku tersayang.” Dicka berdiri dan mengusap-usap rambut adiknya. “Ya udah Dicka ke kamar dulu ya. Mau mandi trus istirahat.” “Iya sayang.” Dicka pun beranjak menuju kamarnya. ***** Di lain sisi, Fiona juga telah sampai di rumahnya. Ia memasuki rumah dengan perasaan yang kesal. Seorang perempuan paruh baya yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu siapa lagi kalau bukan mamanya Fiona, ia menyadari kekesalan raut wajah Fiona. “Eh anak perawan mama sudah pulang.” “Apaan sih ma.” “Itu muka kenapa? Kenapa memar begitu? Kamu habis berantem ya?” “Emmm… Nggak papa kok ma. Tadi Cuma ada insiden kecil aja.” “Kenapa dik? Apa kamu dicurangi dan kalah balapan?” Tanya kak Barra yang berjalan dari dapur. “Ih nggak ada rumusnya Fiona kalah balapan.” “Terus kenapa itu muka keliatan kesel begitu?” “Tadi ada cowok yang hampir nabrak Fiona. Eh tapi malah dia yang marah-marah dan ngomel-ngomel kayak ibu kos. Mana pakek nyumpah-nyumpahin lagi. Kan ngeselin.” “Hahahaha.” “Kok malah ketawa sih. Kak Barra juga nyebelin.” “Tapi kamu nggak papa kan sayang?” Tanya mamanya Fiona. “Nggak papa ma. Cuma kesel aja ini hati.” “Pasti kamu juga yang salah, kamu bawa motornya pasti juga ngebut-ngebut. Makanya dia marah-marah.” “Ih mama kok malah belain dia sih. Ya udah ah, Fiona mau ke kamar dulu. Mau mandi.” Fiona pun pergi menuju kamarnya. “Hehm. Kelakuan udah kayak cowok, tapi masih sensitifan kayak anak cewek yang lagi PMS.” Gumam kak Barra. “Hush, nanti kalau adik kamu denger tambah ngambek dia.” Fiona adalah anak terakhir dari keluarga Andra Suherman Dan Rani Puspita Sari. Fiona mempunyai seorang kakak laki-laki yang sangat menyayanginya, yaitu Barra Suherman yang lebih tua 4 tahun dari Fiona. Barra sangat menyayangi Fioana dan juga mendukung tentang hobby Fiona yang suka balapan sama seperti papanya Fiona. Berbeda dengan mamanya Fiona, sebenarnya ia ingin Fiona menjadi seperti layaknya wanita pada umumnya, namun mama Rani juga tak ingin memaksakan kehendaknya kepada Fiona. Dan itu juga tak melunturkan rasa cinta dan sayangnya kepada Fiona. Papa Andra adalah seorang pengacara terkenal yang memiliki firma hukum sendiri. Sedangkan mama Rani adalah seorang dokter.   TBC *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD