Kini Dicka dan dokter Anggi hanya bisa terdiam, karena masih merasa terkejut dan tak menyangka dengan apa yang diinginkan oleh nenek Lusi. Dicka dan dokter Anggi sangat bingung dan masih bepikir. Mereka belum bisa memutuskan atau memberi jawaban.
“Kalian semua sudah mengetahui isi dari surat yang ditulis oleh nenek. Dan kalian juga paham kan apa keinginan terakhir nenek. Sekarang semua keputusan ada di tangan Dicka dan dokter Anggi. Terserah kalian ingin mengabulkan keinginan terakhir nenek atau tidak. Kami semua disini akan menerima semua keputusan kalian.” Ucap papih Devan.
“Oh ya sebelumnya saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter Anggi, dan juga saya ingin meminta maaf jika keinginan mama saya membebani dokter.” Lanjut Devan.
“Eeemmm… bagaimana ya? Saya sendiri juga nggak tahu harus bilang apa. Saya juga nggak berani membuat keputusan apa-apa. Saya harus membicarakannya dulu dengan anak saya.”
“Baiklah dok saya mengerti. Lalu bagaiman denganmu kamu Dicka?”
“Pih, boleh kasih Dicka waktu untuk bepikir dulu?”
“Tentu saja boleh. Butuh berapa lama kamu untuk berpikir?”
“Dicka juga belum tahu pih. Dicka nggak mau memutuskan dengan tergesa-gesa. Karena ini menyangkut masa depan Dicka dan anaknya dokter Anggi. Lagi pula Dicka juga belum mengenal bahkan bertemu dengan anaknya dokter Anggi.” Jawab Dicka.
“Kalau papih sih yakin kalau anaknya dokter Anggi itu cantik dan pintar seperti mamanya.” Ucap Devan.
“Kalau begitu bagaimana kita atur untuk pertemuan saja dulu? Pertemuan keluarga sini dan keluarga dokter Anggi?” Usul mamih Siska.
“Nah iya benar. Istriku memang cedas. Biarkan Dicka dan anaknya dokter Anggi bertemu dan berkenalan dulu. Sesuai kata pepatah, kalau tak kenal maka tak sayang, kalau sudah kenal kita sayang-sayangan.” Papih Devan mulai gesreknya nih.
“Apaan sih pih. Nggak lucu deh.” Sahut Dicka.
“Kan papih emang nggak ngelucu. Lagian papih kan seorang CEO bukan seorang pelawak. Ya maklum aja kalau nggak lucu.”
“Sudah. Sudah. Jangan mulai deh. Kebiasaan deh kalian itu, kalau ketemu nggak pernah akur. Ada aja yang didebatkan. Malu sama dokter Anggi.” Mamih Siska dengan segera menghentikan pedebatan mereka yang mungkin akan berlangsung panjang jika dihentikan.
“Maaf ya dokter Anggi.” Lanjut mamih Siska yang merasa malu dengan tingkah suami dan juga anaknya.
“Iya nggak papa. Santai saja.”
Setelah selesai berdiskusi dan berbincang-bincang, dokter Anggi pun berpamitan untuk pulang, karena hari pun juga sudah mulai gelap. Dan kedua keluarga tersebut akan bertemu pada malam minggu nanti.
*****
Dokter Anggi telah tiba di rumahnya satu jam yang lalu. Dokter Anggi juga telah bebicara kepada suaminya tentang permintaan terakhir nenek Lusi yaitu perjodohan anaknya dan Dicka. Suami dokter Anggi pun juga kaget saat mendengarnya. Ia juga tak bisa memberi jawaban, karena semua keputusan ada di tangan anaknya.
Ceklek…
Seorang perempuan membuka pintu dan memasuki rumah.
“Hai ma, pa?” Sapanya.
“Fiona, kamu baru pulang?”
Yah, anaknya dokter Anggi yang dimaksud oleh nenek Lusi yang akan dijodohkan dengan Dicka adalah Fiona. Sebenarnya nama Anggi adalah nama dari neneknya Fiona yang juga berprofesi sebagai dokter yang terkenal dan berjasa pada masa itu. Karena mamanya Fiona yaitu mama Rani meneruskan perjuangan neneknya Fiona menjadi seorang dokter, sehingga dikalangan rumah sakit atau kedokteran lebih suka memanggil mama Rani dengan panggilan dokter Anggi. Dan mama Rani juga tak keberatan akan hal itu. Jadi hingga kini mama Rani menggunakan nama Anggi untuk gelar dokternya.
“Iya ma.”
“Fiona, duduk sini sebentar sayang. Mama sama papa ingin bicara sama kamu.”
Fiona pun duduk bergabung bersama mama dan papanya.
“Ada apa ma? Kok kelihatannya serius amat?”
“Begini sayang…. Haduh gimana ya mama ngomongnya.”
“Ada apa sih ma? Jangan bikin penasaran.”
“Oh ya sebelumnya mama mau ngasih tahu kamu, kalau nenek Lusi meninggal tadi pagi.”
“Hah? Nenek Lusi meninggal? Kenapa mama baru memberitahu Fiona sekarang?”
“Karena mama tahu pagi tadi kamu ada kuliah. Trus siangnya mama sibuk sama pasien-pasien mama, jadi mama lupa mau ngabarin kamu. Tapi ada sedikit masalah sekarang.”
“Masalah? Masalah apa emangnya ma?”
“Nenek Lusi bilang kamu pernah berjanji untuk mengabulkan permintaan nenek Lusi kan? Kamu inget?”
“Iya ma, Fiona inget.”
“Dan permintaan itu ditulis nenek Lusi pada pesan terakhir nenek Lusi.”
“Emang apa pesan terakhirnya ma?”
“Nenek Lusi ingin menjodohkan kamu dengan cucunya.”
“Hah?” Sontak Fiona pun kaget mendengarnya.
“Dijodohkan?”
“Iya sayang.”
“Kok bisa?”
“Iya sayang. Nenek Lusi menulis pesannya lewat surat. Dan tadi mama pergi ke rumah keluarga nenek Lusi. Kami semua telah membaca isi surat itu, dan keinginan nenek Lusi yang terakhir adalah ingin menjodohkan kamu dengan cucunya.”
“Bentar, bentar. Fiona masih belum bisa memahami situasi ini. Bagaimana bisa nenek Lusi menjodohkan Fiona dengan cucunya. Sedangkan Fiona aja juga kenal nenek Lusi belum lama, Fiona juga nggak kenal sama sekali dengan cucunya nenek Lusi.”
“Maka dari itu, kami berencana….”
“Kami?”
“Iya, mama dan keluarga nenek Lusi berencana untuk makan malam bersama. Nenek Lusi melihat kamu adalah wanita yang baik, maka dari itu beliau ingin menjodohkannya dengan cucunya.”
“Tapi Fiona belum ingin menikah ma. Fiona juga nggak tahu seperti apa cucunya nenek Lusi.”
“Kalau menurut mama, dia anaknya juga baik kok. Maka dari itu kita akan makan malam bersama, agar kamu bisa mengenalnya sendiri.”
“Tapi nanti kalau Fiona nggak suka sama dia gimana ma?”
“Ya kalau emang kamu nggak suka, nanti mama akan coba ngomong baik-baik sama keluarga mereka. Yang penting kita ketemu dulu aja.”
“Begitukah ma?”
“Iya sayang.”
“Kalau menurut papa gimana?” Tanya Fiona.
“Apapun keputusan kamu, papa akan dukung.”
“Tapi sejujurnya mama juga setuju dengan perjodohan ini. Karena kamu tahu sendiri bagaimana nenek Lusi, beliau sangat baik. Dan keluarga mereka juga sudah jelas bibit, bebet, bobotnya. Mama juga berharap, mana tahu kamu akan berubah menjadi cewek beneran.”
“Ahh mama. Jadi selama ini maksud mama, Fiona cewek jadi-jadian?”
“Hehehe, nggak kok. Mama yakin kamu cewek tulen, cuman ya itu.”
“Itu kenapa? Udah ah, Fiona mau mandi dulu. Gerah habis balapan. Hehehe.”
“Tuh kan.”
“Bye ma, pa. Fiona ke kamar dulu.”
Fiona pun pergi menuju kamarnya. Sedangkan mamanya hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan anak perawannya, lain halnya dengan papa Fiona, ia hanya tesenyum melihat kelakuan anaknya.
“Ini semua gara-gara kamu mas. Fiona jadi begini.” Mama Rani menyalahkan papa Andra.
“Kok gara-gara aku sih?”
“Ya iya dong. Waktu Fiona kecil kenapa kamu beliin mainan motor-motoran bukannya beliin boneka seperti anak perempuan pada umumnya. Dan sekarang kamu dukung dan kamu fasilitasi hobinya yang suka balap motor itu.”
“Hahaha. Itu artinya anak kita itu special ma. Beda sama perempuan pada umumnya.”
“Tau ah. Nyebelin ngomong sama kamu tu. Aku berharap perjodohan ini akan tetap berlangsung. Siapa tahu setelah menjadi seorang istri, Fiona akan menjadi wanita yang sesungguhnya.”
“Sudahlah. Biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri. Jika saatnya dia berubah, biarkan dia berubah karena keinginannya sendiri, bukan dari paksaan siapapun.”
“Tapi pa….”
“Sudah ma. Lebih baik kita buat lagi aja gimana ma? Kali ini kita buat menjadi perempuan yang sesungguhnya. Hehehe.” Goda papa Andra.
“Nggak mau. Papa nyebelin.”
Mama Rani pun pergi meninggalkan papa Andra menuju kamar dengan muka cemberut, sedangkan papa Andra hanya tersenyum puas karena berhasil menggoda istrinya yang selalu mempermaslahkan Fiona yang menjadi wanita special.
TBC
*****
Jangan panik!!!
Tetap tenang, karena yang djodohkan sama Dicka adalah Fiona kok. Hehehe