Prolog
Harapanku sejak dulu cuma satu. Dapat menemukanmu suatu hari nanti.
~
Sebuah pesawat kertas terbang mengikuti arah angin yang telah dituliskan harapan.
Sepuluh tahun berlalu sangat lambat, dan sampai detik ini ia belum juga menemukannya kembali. Menemukan gadis itu, seseorang yang sangat berharga untuknya. Yang sepuluh tahun lalu ia pikir, seseorang itu akan tetap bersama dengannya selamanya. Yang sepuluh tahun lalu ia pikir, takdir tidak akan memisahkannya dengan seseorang itu, dan seseorang itu tidak pula akan meninggalkannya.
Tapi ternyata dirinya salah. Tepat sepuluh tahun yang lalu, ia ditinggalkan.
"Donal bebek, mundur tiga langkah. Satu, dua, tiga." Bocah laki-laki dan perempuan itu mundur di detik yang sama, dengan jumlah langkah yang sama.
Kemudian di detik yang sama pula, mereka melempar tangan masing-masing ke udara sambil berseru, "Gunting batu kertas!"
"Yeay, Nara menang!" senang gadis cilik itu, yang setelahnya langsung mengambil satu langkah terlebar yang mampu dijangkaunya, maju ke depan.
Satu dari sekian banyak permainan yang biasa dimainkan oleh anak-anak, hanya Donal Bebek yang paling mereka berdua sukai. Cara mainnya gampang. Tinggal mundur tiga langkah, setelah itu suit gunting-batu-kertas. Bagi yang boleh mengambil langkah maju, sedangkan yang kalah tidak boleh bergerak dari pijakannya. Terus seperti itu sampai jarak di antara pemain semakin dekat, dan akhirnya akan dinobatkan sebagai pemenang bila mana berhasil maju sampai menginjak kaki lawan.
Namun sebuah pengecualian, pemain boleh mengambil langkah mundur untuk menghindar dari injakan lawan, meskipun cuma dapat dilakukan jika pemain tersebut menang dalam suit.
"Gunting-batu-kertas!" Dua anak itu melempar lagi salah satu tangan mereka.
Namun kali ini gadis lucu bernama lengkap Renara Anthella, terlihat cemberut. Sedangkan si anak laki-laki di seberangnya justru tampak sebaliknya. Yang kemudian ia pun mengambil langkah maju dengan sedikit loncatan, dua kali lebih lebar dari langkah Nara sebelumnya.
"Nara udahan, ah. Nimo curang!" ambek Nara yang tiba-tiba pergi, dan malah duduk.
Langkah kecil Nimo mengejar. "Kenapa udahan? Nara takut kalah, ya, sama Nimo?" tudingnya sambil tersenyum pada Nara, seraya ikut duduk di samping Nara, berdempetan.
"Kalau takut kalah, mah, mending nggak usah ngajak main," goda Nimo sekali lagi.
Nara semakin kesal. "Yaudah, Nara main sendiri aja!"
Baru saja Nara hendak menuju kamar mengambil boneka barbienya, seketika tujuan Nara berbelok saat Tata, Ibu Panti yang merupakan bundanya Nimo memanggil dengan lambaian tangan.
"Nara, sini."
Nara menghampiri Ibu Panti yang tengah duduk di ruang tamu bersama sepasang orang dewasa yang sama sekali tidak pernah ia kenali wajahnya.
"Ada apa, Bu?" tanya Nara.
"Nara kenalin, ini Bu Kayla dan Pak Emir. Mereka yang bakal menjadi orangtua angkat kamu nantinya," tutur Ibu Panti, yang disambut dengan senyuman hangat oleh sepasang orang dewasa itu.
Saat itu semua tersenyum, kecuali Nara. Dan seorang anak yang diam-diam mengintip di balik vas besar yang berada di dekat pintu, mendengarkan setiap percakapan. Cakra Geronimo, Nimo.