Bab 1 : Drunk
Musik berdentum memekakan telinga namun orang-orang yang berada di sini sama sekali tak ada yang merasa terganggu, malah mereka saling mengangkat satu tangan mereka ke udara kemudian mereka hentakkan seirama dengan hentakkan musik. Glek, lagi, entah sudah gelas keberapa yang mereka sodorkan padaku. Namun yang kutahu, kepalaku sudah mulai berputar dan berdenyut sakit.
"Lagi, lagi, lagi!" mereka berteriak seraya menyodorkan gelas berikutnya.
God, andai aku tinggal bersama kedua orang tuaku, mungkin saat pulang nanti aku akan diceramahi habis-habisan. Atau bisa jadi kepalaku akan putus dari tempat seharusnya berada. "Enough, perutku- hoeeek ..."
"Helleeen!!"
________________________________
Kepalaku terasa begitu berat, denyutan efek minum semalam pun masih terasa sakitnya. Mengerjap sesaat dan retinaku lekas diserbu oleh sinar matahari yang berhasil lolos dari celah gorden jendela kamar apartemenku yang bobrok. Sial, seharusnya kemarin malam aku tak mengiyakan ajakan mereka berdua dan berakhir naas seperti ini.
Selamat pagi kamarku yang sekarang sudah berubah menjadi kapal pecah entah bagaimana caranya, yang pasti sore nanti tenagaku akan dikuras habis untuk memperbaikinya menjadi rapi seperti semula.
Oh tunggu ...
Bahkan aku lupa bagaimana caranya aku bisa sampai di sini setelah tak sadarkan diri semalam.
Apa mereka yang membawaku?
Sepertinya sedikit mustahil jika menilik betapa hebohnya pesta ulang tahun rekan kerja kami. Bukannya apa-apa, tapi kurasa mereka tidak akan rela meninggalkan pesta lebih awal hanya untuk mengantarku pulang.
Ah ... masa bodo bagaimana proses pulangnya diriku semalam, yang perlu kulakukan saat ini adalah mandi dan segera berangkat ke kantor atau aku akan melewatkan rapat pagi ini.
______________________________
"Helleeen, di sini!" Anggi baru saja berteriak seraya melambaikan tangan dari meja yang ia duduki. Aku bergegas ke sana seraya membawa nampan berisi makanan yang tadi kupesan. "Bagaimana rapatmu tadi?"
"Oh, itu ... lumayan membuat kepala sedikit pusing dan perut keroncongan." aku mulai memasukkan pancake ke dalam mulutku saat Inggrid tiba-tiba saja menanyakan hal yang tidak kumengerti.
"Hey, kau sudah meminta maaf padanya?" ia bertanya dengan tatapan jahilnya.
Kedua alisku sontak mengerut, "Tunggu, apa maksunya tentang minta maaf? Apa aku ada salah pada seseorang?"
Mereka berdua tertawa seraya memegangi perut mereka, "Kau tidak ingat?" dan kepalaku lekas menggeleng.
"It's sounds bad." tebakku tak yakin.
"Benar sekali, kau peminum yang payah. Padahal baru 4 gelas tapi kau sudah teler parah. Dan lebih sialnya lagi kau muntah di punggung seseorang sebelum tak sadarkan diri!" Anggi terlihat begitu bersemangat bercerita tentang diriku yang begitu memalukan.
Itu menjijikan, aku yakin. Tapi kepalaku benar-benar melupakan bagian itu. "Ermm ... apa separah itu? lalu bagaimana aku bisa berada di kamarku?"
"Diantar olehnya, tentu saja!"
"APA?" aku lekas menatap Inggrid horor. "Is that joke?"
Mereka berdua dengan innocent-nya menggelengkan kepala, "Oh darling, kau berpikir kami akan mengantarmu pulang dan mengorbankan pesta menakjubkan semalam?"
Sangat mustahil!
"Oke aku mengerti. Lalu bagaimana dengan orang itu?" tanyaku kembali.
"Seperti yang kami katakan, dia mengantarmu pulang setelah kami berikan alamat apartemenmu." jawab Anggi tanpa rasa bersalah sedikitpun, "bagaimana? Apa kalian melakukan hal yang iya-iya semalam?"
Hal yang iya-iya?
Ugh ... semoga saja apa yang mereka pikirkan benar-benar tak pernah aku lakukan dengan orang asing itu. Aku masih sangat sayang pada masa depanku. Oke, masalah minum semalam itu juga hal yang pertama kali aku lakukan, pun karena desakan mereka.
"Errr ... omong-omong, apa kalian mengenal orang yang dengan baik hati masih mau mengantarku pulang setelah punggungnya kumuntahi itu?"
Aku telah melakukan hal paling bodoh, bisa kubayangkan bagaimana syoknya pria tak beruntung itu saat melihat kotoran yang menempel di punggungnya.
"Percayalah Hellen, kalau aku mengenalnya mungkin dia sudah menjadi teman kencanku sejak lama." Anggi berbicara seolah sedang membicarakan seorang pangeran.
Kedua mataku berputar bersamaan dengan sebuah dengusah dari hidung, "Kalau begitu, laki-laki itu beruntung karena tidak mengenalmu begitu pula dengan kau yang tidak mengenalnya."
"Kenapa bisa begitu?" Anggi menatapku devensif.
"Karena dia tidak dikencani oleh gadis matre sepertimu!" jawab Inggrid.
Oh, aku sangat setuju dengan wanita tomboy di depanku tersebut. Kami tertawa saat menyaksikan mulut Anggi yang mulai memanjang karena marah. Itu bagian yang paling kusuka.
Wajah merajuk Anggi, tawa puas Inggrid, aku merekam semua ekspresi mereka. Benakku berkata ini salah, seharusnya aku tidak duduk satu meja dan berbagi obrolan seperti ini dengan mereka. Namun saat melihat ekspresi unik serta bertukar cerita seperti ini terasa benar. Mungkin sepertiga hatiku menerima keberadaan mereka namun seluruh hatiku tak menaruh kepercayaan.
"Oh My GOD, Hellen!" aku tersentak dari lamunan saat suara Inggrid memenuhi tekingaku. "Lihat, lihat pria yang baru masuk ke dalam kafe ini, kalau tidak salah dialah yang semalam kau muntahi dan mengantarmu pulang. Benar kan, Nggi?"
Anggi memebelalakkan matanya, ia mengerjap beberapa kali lalu berseru sangat kencang, "Benar! Itu dia, pangeranku ...." kemudian mata puppy eyes itu beralih ke arahku, "tidakkah kau mau memanggil atau menghampirinya untuk mengucapkan maaf, terimakasih atau semacamnya, Hellen?"
Kepalaku menggeleng kuat, "Tidak,"
"Kenapa tidak?" mereka berkata serempak seraya menatapku tak percaya.
"Kenapa tidak? Tentu saja karena aku tidak ingin melakukannya!"
"Alasan yang lebih masuk akal?"
Aku menghela napas, kesal pada mulut cerewet kedua wanita di depanku saat ini. "Dengar, keadaan kalian semalam tidak jauh beda denganku, sama-sama sedang mabuk. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau pandangan kalian mengabur saat menatap sekitar, termasuk orang yang kumuntahi dan menolongku itu."
Anggi bertahan dengan sifat keras kepalanya. "Tidak, tidak, mataku sangat jeli dengan barang bagus serta lelaki tampan kalau kau ingin tahu. Jadi ... apa yang aku lihat semalam dan saat ini sudah pasti benar."
Aku memutar bola mataku jengah, "Tidak, mungkin saja mata jelimu kali ini sedang tidak berfungsi, Anggi."
Dia melotot tidak terima, "Jangan remehkan fungsi spesial mataku, Hellen!"
"Oke, baiklah, aku minta maaf. Tidak seharusnya kita berdebat sengit seperti ini hanya untuk orang asing."
"Tapi dia penolongmu-" Inggrid memulai omong kosong ini lagi.
"Tidak ada bukti kalau dialah orangnya!" aku mulai emosi, sungguh.
"Tapi-"
"Cukup, aku sudah memutuskan kalau aku tidak akan meminta maaf, setidaknya sampai aku benar-benar yakin siapa penolongku sebenarnya. Aku akan terlihat konyol jika tiba-tiba datang pada orang itu dan meminta maaf, lebih kelihatan bodoh lagi kalau ternyata dia bukanlah orang yang kita maksud."
Dan topik bodoh ini entah kapan akan selesai. Mereka berdua masih mempertahankan ego mereka, dan aku dengan egoku, terus seperti itu sampai ketika kepalaku terangkat ke atas dan melihat sosok lelaki berdiri di belakang Anggi dan Inggrid, tatapannya begitu gelap dan dalam. Dia, orang yang menjadi topik bodoh kami selama sesi makan siang ini. Suaraku hilang dan lidahku seperti diikat oleh sesuatu hingga tak dapat mengatakan apapun. Sial, siapa dia hingga membuatku terlihat bodoh begini, membuka dan menutup mulut seperti ikan kembung.
"Demi tuhan Hellen, dia orang yang semalam. Aku masih ingat tubuh tingginya, dan yang paling kuingat karena dia tampan-" Siapa pun, tolong pukul kepala Anggi atau ikat saja bibirnya agar dia berhenti mengatakan omong kosong ini. Sungguh, ini sangat memalukan. "-bloody hell, Hellen. Apa yang baru saja kau lakukan?!" Mereka melotot marah padaku.
"Menyumpal mulut bodoh kalian agar berhenti bicara."
Oh, sial, mereka terlihat konyol dengan selada di mulut mereka masing-masing.
"Ekhem-"
Brengsek!
Gara-gara mereka berdua aku jadi melupakan seseorang. Sekarang tidak hanya aku, Anggi dan Inggrid pun sedang memusatkan atensi mereka pada sosok lelaki itu. Well, dia memang lumayan tampan.
"Kau, kalau aku benar, kau lelaki yang semalam terkena muntahan temanku ini kan? Dan kau juga yang sudah membawanya pulang?"
Aku benci mulut Anggi, sungguh.
"Bagaimana keadaan kepalamu?"
"Kau bertanya padaku?"
Dia menyipitkan matanya, "Menurutmu?"
Dasar mulut bodoh, tentu saja dia bertanya padaku! Memangnya pada siapa lagi?
"Errr ... seperti yang kau lihat, kepalaku masih pada tempatnya."
Kulihat Inggrid dan Anggi menepuk kening mereka bersamaan. Apa? Memangnya ada yang salah?
"Astaga, Hellen! Dia bertanya apa kepalamu baik-baik saja, masih pusing atau semacamnya!"
Baiklah, otakku mungkin sudah tertukar dengan otak kucing. "Errr ... ya. kepalaku sudah agak baik, tak sepusing semalam. Maaf sudah mengotori bajumu dan terimakasih sudah mengantarku pulang." Lelaki itu menganggukkan kepalanya, tapi aku tidak tahu arti anggukannya itu. "Bajumu!"
"Ada apa dengan bajuku?" entah dia memang polos atau bodoh, sekarang dia sibuk mengecek baju yang melekat ditubuhnya.
"Bodoh! Bukan baju yang kau pakai sekarang, maksudku baju yang semalam kumuntahi-" dasar mulut tak punya sopan santun, "-maksudku, sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau aku yang mencucinya?"
"Sayang sekali, bajunya sudah kukirim ke laundry."
Laundry sialan!
"Kalau begitu biar aku yang membayar bonnya-"
"Jadi permintaan maafmu hanya seharga 10 ribu?"
"Tidak, maksudku- oh sial, bukan seperti itu, aku hanya tidak ingin merasa berhutang budi dan berhutang penyesalan pada orang lain."
Lagi-lagi lelaki itu mengangguk, aku benci kepalanya-
"Kau bekerja di mana?"
"Apa? Untuk apa kau menanyakan-"
"Kami bekerja di Orange Publishing!"
-aku juga benci mulut Anggi dan Inggrid!
"Jam 7, aku akan menjemputmu, makan malam denganku."
"Baiklah,"
Dia menarik sudut bibirnya kemudian berbalik dan melangkah menjauh. Tunggu, ada yang salah di sini. 'Jam 7, aku akan menjemputmu. Makan malam denganku!'
"Apa??? Oh tidak ... kenapa mulut bodohku menjawab baiklah!"