Kegalauan Dua Insan Manusia

1417 Words
Bram masih belum memejamkan kedua matanya. Bayangan adegan tadi dengan Dara, terus menari-nari dalam pikirannya.  "Bagaimana bisa aku kelepasan dengan mencium bibir gadis itu? Dan itu adalah ciuman keduaku dengannya sejak pagi tadi. Bahkan sebelumnya aku tidak pernah bisa menikmati ciuman dengan Jeny dulu. Lantas, bagaimana dengan gadis ini aku malah tak ingin melepaskannya." Bram terus membatin. Banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai interaksi yang ia lakukan dengan Dara sejak awal mula mereka bertemu.  Anehnya, mengapa kali ini ia belum juga bercerita pada Lian, lelaki yang sudah ia percaya untuk bersamanya selama ini? Bram sendiri tak mengerti. Entah apa yang menahan mulutnya dengan tidak menceritakan hal demikian pada sang asisten tersebut.  "Kamu sudah menyihir hatiku, Nona. Bagaimana bisa? Kamu tidak lebih cantik dan istimewa dari Jeny atau wanita manapun. Lantas, mengapa aku bisa hilang kontrol bila sudah dekat denganmu?" Lagi-lagi Bram mengusap wajahnya frustrasi.  Lelaki itu pun turun dari ranjangnya yang berukuran besar. Sebuah ranjang yang menurut Dara bisa dipakai oleh sepuluh orang di atasnya, waktu ia pertama kali masuk ke kamar tuannya tersebut.  Bram menuju balkon kamarnya. Memilih menikmati udara malam yang terasa menyegarkan di sisa suasana hujan tadi sore.  Hawa dingin langsung menelusup dan menembus kulit tubuhnya begitu pintu balkon itu dibuka. Sedangkan Bram hanya mengenakan piyama saja tanpa ditutup lagi dengan sweater atau baju hangat.  Lelaki itu tiba-tiba teringat sang bunda yang saat ini terbaring lemah karena sakit. Bram tahu apa yang membuat wanita tua itu tiba-tiba jatuh sakit. Selain penyakit jantung yang sudah lama dideritanya, juga ada sebab lain yang membuat Bram seolah menjadi anak durhaka kepada bundanya tersebut.  "Maafkan aku, Bunda. Aku tahu dirimu terlalu tua untuk memikirkan kondisi putramu ini, yang sudah tua tetapi tak kunjung membuatmu bahagia." Ada butiran air mata yang tiba-tiba terjatuh di sudut matanya.  Bram menangis. Lelaki yang selalu terlihat menyeramkan di mata para anak buahnya itu menangis? Ya, saat ini Bram merasakan perih dan pilu atas sakit yang sang bunda alami. Bram tahu dari Lian jika Nyonya Ana —ibundanya, memang kepikiran atas status dirinya yang masih sendiri di usianya yang sudah sepantasnya memberikan seorang cucu padanya. Namun, wanita itu juga tahu kondisi sang putra yang sulit untuk berdekatan dengan perempuan. Sebagai seorang ibu, tentu ia bersedih. Tapi, ia tidak tahu harus bagaimana membantu putranya itu. Dulu ia dan sang suami sengaja menjodohkan Bram dengan Jeny, sebagai usaha demi kesehatan putranya itu. Tapi sayang rencananya tak berhasil. Hingga Bram menceraikan Jeny karena wanita itu berselingkuh dengan pengawal pribadinya. Sebagai sesama wanita ia memang tak menyalahkan menantunya, tetapi seharusnya wanita itu berkata jujur jika sudah tak sanggup bersama dengan Bram karena tak mendapat sentuhan layaknya seorang istri dari suaminya.  Kini setelah usianya yang semakin tua dengan kondisi kesehatan yang semakin menurun, Nyonya Ana masih belum juga melihat kebahagiaan yang menaungi putranya. Ingin ia kembali mencarikan wanita-wanita lain seperti yang Lian lakukan, tetapi Bram sudah tak pernah menyetujui. Lelaki itu selalu menolak. Menurutnya apa yang sang bunda dan asisten pribadinya lakukan, hanya sebuah usaha sia-sia yang tak ada hasilnya.  "Bunda, apakah aku harus membawa gadis ini ke hadapanmu?" Seorang gadis yang sudah berstatus janda meskipun Bram tidak yakin jika gadis itu sudah tersentuh oleh tangan suaminya. Melihat dari gelagatnya yang tampak malu-malu seolah baru pertama kali melihat tubuh lelaki dalam hidupnya.  "Hanya dia satu-satunya perempuan yang tidak membuat penyakitku muncul," gumam Bram yang kini sudah menghapus sisa air mata di sudut matanya itu.  Dara Nagisa, nama gadis yang membuat hari Bram sedikit berbeda. Baru sehari ia bertemu dengan gadis itu, tetapi kejadian tak terduga membuatnya merasakan kebahagiaan secara tiba-tiba.  "Nona, apakah aku harus mencari tahu mengenai dirimu lebih jauh? Jujur saja aku penasaran, bagaimana kehidupanmu sebelum menikah dengan Anton, lelaki tua bangka yang sudah dengan tega menyerahkan dirimu padaku!" Akhirnya Bram beranjak kembali masuk ke dalam kamar. Diambilnya ponsel yang ada di atas nakas, kemudian menekan tombol untuk menghubungi seseorang.  "Lian, apakah kamu sudah tidur? Maaf, aku mengganggumu. Aku minta padamu cari informasi mengenai Dara sejak gadis itu belum menikah dengan Anton, atau kalau perlu sejak ia baru lahir sampe besar." [...] "Ya, aku tunggu secepatnya. Terima kasih, Lian. Selamat istirahat." Bram menaruh ponselnya kembali ke atas nakas. Lelaki itu kemudian memilih untuk merebahkan tubuhnya, dan berusaha memejamkan kedua matanya.  Sedangkan di tempat berbeda, di dalam sebuah kamar sederhana di sudut dapur, tampak Dara masih belum bisa memejamkan matanya. Dari tadi ia sudah berusaha untuk tidur, tetapi bayangan kejadian di dalam kamar tuannya, membuat gadis itu terus teringat, dan malah hanya mengguling-gulingkan tubuhnya ke kanan dan kiri.  "Dara! Apa yang otakmu itu pikirkan? Bagaimana bisa kamu menerima dan menikmati ciuman yang Bram lakukan?" Dara menepuk-nepukkan tangan di kedua pipinya.  Wajah itu masih saja terasa hangat. Adegan ciuman keduanya yang berlangsung sedikit panas dan liar, membuat Dara merasa malu.  Itu memang bukan ciuman pertamanya, tetapi entah mengapa Dara merasa jika ciuman tadi lain dari ciuman pertamanya dulu, yang direbut paksa oleh teman satu kerjaannya. Ciuman yanh Bram lakukan, membuatnya terbuai dan malah ikut menikmati. Bahkan ia tak segan membalas ketika daging tak bertulang milik Bram menerobos masuk ke dalam mulutnya dan mengabsen apapun yang disentuh.  "Kyaaa! Cukup! Cukup!" Dara bangkit dari posisi sebelumnya yang terbaring.  "Apakah aku sudah gila? Bagaimana bisa aku menikmati aksi tadi?" gumam Dara.  "Tuhan, tapi bibir lelaki itu terasa begitu manis. Aku masih bisa merasakan manis dan seksi bibirnya di bibirku!" lanjut gadis itu sembari memegang bibirnya sendiri.  Gadis itu kini seperti orang bodoh saja. Bram sudah memainkan hati dan pikirannya. "Ini tak boleh terjadi. Aku tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut. Aku di sini hanya empat bulan saja, tidak semestinya aku terlena dengan sikapnya yang, ya ... meskipun ia baik padaku, tetapi ia sangat menyebalkan. Semua perintahnya yang harus aku lakukan, sungguh tidak masuk akal. Belum lagi tampangnya yang dingin dan tidak pernah tersenyum sama sekali itu, sungguh ingin aku lempar dengan sendal jepit milikku ini. Apa ia pikir dengan bersikap seperti itu maka akan menambah ketampanannya? Tapi, ia memang tampan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau bisa menciptakan manusia setampan dirinya di muka bumi ini. Usianya yang sudah tidak lagi muda, tidak terlihat sebab wajah dan penampilannya yang masih tampak muda." Dara akhirnya memutuskan untuk keluar kamar, entah ia mau ke mana. Lama-lama di dalam, tetapi kunjung tak bisa memejamkan mata, hanya akan membuat kepalanya pecah karena masih memikirkan peristiwa yang membuat d*danya tak berhenti berdebar itu.  Di dalam rumah megah itu terlihat gelap, sebab seluruh penerangan telah dimatikan oleh para asisten rumah tangga sebelum mereka pergi beristirahat. Waktu sudah menunjukkan tengah malam ketika Dara memutuskan untuk berjalan menuju area kolam renang bagian dalam. Gadis itu kemudian memilih untuk duduk di salah satu bangku kayu panjang yang ada di tepi kolam.  Mendadak ia teringat akan keluarganya. Sudah lebih dari tiga bulan ia tidak pernah lagi bertemu dengan mereka, terutama sekali kedua orang tuanya. Tepatnya sejak ia diserahkan pada Anton untuk dinikahi sebagai istri siri lelaki tersebut.  Berbeda dengan Dani dan Doni —dua adik kembarnya, yang pernah sekali menemuinya di cafe tempatnya bekerja setelah ia tak lagi tinggal bersama mereka. Dengan tak tahu malu, dua lelaki remaja yang baru lulus SMA itu, meminta uang pada Dara untuk berfoya-foya. Pikir mereka, sang kakak sudah dinikahi oleh seorang lelaki tua kaya, yang pastinya mencukupi kebutuhannya sehari-hari, termasuk memberi uang saku atau uang jajan pada Dara.  Para remaja itu tak mau tahu apapun alasan Dara yang mengatakan jika dirinya tak pernah diberi uang oleh Anton. Uang yang Dara miliki, ia dapatkan dari hasilnya bekerja.  Dua adik kembarnya itu akhirnya pergi sembari marah-marah sebab tak mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan sejak saat itu Dara tak pernah lagi bertemu dengan mereka.  Apakah Dara rindu pada keluarganya? Sebagai seorang anak, ia memang rindu. Tapi, egonya terlampau tinggi demi mengakui hal itu. Sikap tega kedua orang tuanya dengan menjadikannya sebagai alat penebus hutang, tentu saja membuat ia sakit hati. Air matanya seolah tak berarti ketika ia memohon pada ibu dan ayahnya agar tidak diserahkan kepada Anton, terlebih untuk dijadikan istri siri.  "Kalian sudah jahat padaku. Dan sekarang aku kembali harus merasakan dejavu akibat ketamakan seorang manusia demi kesenangan dunia." Tanpa sadar air mata mengaliri kedua pipinya. Lambat laun tangisan itu berubah menjadi sebuah isakan yang cukup kencang. Dara baru kali ini kembali menangis. Setelah sekian lama air mata itu kering sebab tak ada lagi hal yang lebih menyakitkan dari aksi kedua orang tuanya dulu.  Pemandangan di tepi kolam renang itu ternyata turut disaksikan oleh seseorang yang melihatnya dari jarak yang cukup dekat, tetapi tak terlihat sebab bersembunyi di balik dinding pembatas ruang keluarga dan area kolam renang dalam rumah tersebut.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD