01 - Dunia yang Hancur
Dira Anggraini duduk di ruang kerja ayahnya yang sekarang terasa begitu sunyi. Pandangannya terarah pada tumpukan dokumen di atas meja. Ia baru saja menemukan sesuatu yang sangat mencurigakan: surat pengalihan saham dengan tanda tangannya. Namun, ia tahu pasti bahwa itu bukan tandatangannya. Tangannya gemetar saat membaca lebih lanjut. Nama-nama yang tercantum di dalam dokumen itu membuatnya sesak napas.
Viro Wijaya. Kania Rahmayanti.
Dua orang yang seharusnya ia percayai. Kekasihnya dan kakak tirinya. Mereka telah memalsukan tanda tangannya dan mengambil sebagian besar saham perusahaan peninggalan ayahnya.
Dira menghempaskan dokumen itu ke meja, matanya memerah. Hatinya bergolak antara marah dan terluka. Dia harus menemui mereka. Dia harus mendengar pengakuan langsung dari mulut mereka.
***
Langkah Dira menggema di aula besar rumah mewah Viro. Setiap sudut rumah itu terasa asing baginya sekarang, padahal dulu tempat ini selalu penuh tawa dan janji manis. Dia menemui Viro di ruang tamu, bersama Kania yang duduk santai di sofa.
Brakkk
"Kalian... benar-benar melakukannya?" suara Dira bergetar, matanya menatap Viro dan Kania dengan tajam. Ia membanting dokumen pengalihan saham perusahaan yang ia temukan di ruang kerja ayahnya pagi tadi, ke meja yang ada di hadapan Viro dan Kania.
Viro hanya menyeringai, tatapannya dingin. "Tentu saja. Kamu pikir perusahaan itu akan aman di tanganmu? Kamu terlalu lemah, Dira."
"Dan aku? Aku hanya memastikan apa yang seharusnya menjadi milikku," tambah Kania, dengan senyum sinis yang membuat d**a Dira terasa sesak.
"Ayah tidak pernah ingin kamu mengambil alih perusahaan ini, Kania! Dia tahu kamu hanya peduli pada uang!" Dira membalas, nadanya penuh kemarahan.
"Tapi sayangnya, ayahmu tidak ada di sini untuk membantah. Karena dia sudah menyatu dengan tanah dan tidak akan bisa membelamu lagi," balas Kania dengan nada dingin.
Dira melangkah mundur, merasa seolah-olah dunianya runtuh. "Kalian... kalian benar-benar monster!"
"Sebutan apa pun tidak akan mengubah kenyataan, Dira," Viro berkata sambil mendekatinya. "Duniamu sudah berakhir. Mulai sekarang, kami yang akan memegang kendali."
Dira tidak mau lagi mendengar kata-kata mereka. Dengan air mata yang tertahan, ia berbalik dan pergi meninggalkan rumah itu.
Mungkin, ia bisa memaafkan dan melupakan penghianatan mereka - Viro yang merupakan kekasihnya, dan Kania yang tak lain adalah kakak tirinya.
Dira mengerti. Cinta adalah sesuatu yang tidak bisa kita atur sesuai kehendak kita. Jika memang mereka saling mencintai, tak apa, Dira akan pergi. Namun, Dira tidak akan tinggal diam jika mereka akan merampas peninggalan ayahnya yang sangat berharga dengan cara keji seperti ini.
Dalam perjalanan pulang, pikiran Dira dipenuhi bayangan penghianatan mereka. Hatinya terasa seperti dirobek-robek. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seorang anak kecil yang dikelilingi oleh sekelompok anak yang lebih besar. Anak kecil itu tampak ketakutan, tubuhnya menggigil.
"Heh, kembalikan uang itu!" seru Dira tanpa pikir panjang, mendekati mereka. Anak-anak itu akhirnya pergi, meninggalkan anak kecil itu sendirian.
Dira melihat sebelah tangan anak itu menggenggam beberapa lembar pecahan uang dua ribuan dan lima ribuan, seolah itu sangat berharga baginya.
"Terima kasih, Kak," kata anak itu dengan suara pelan, menyerahkan sebuah buku kecil ke tangan Dira. "Ini untuk Kakak. Aku rasa Kakak akan membutuhkan buku ini."
Dira tersenyum lemah dan menerima sebuah novel usang itu. "Wah ... ini punyamu?"
Anak itu mengangguk.
Dira mengeluarkan dua lembar uang pecahan lima puluh ribuan lalu menyerahkannya pada anak itu.
"Tidak usah, Kak! Kakak sudah bantu aku. Itu saja sudah lebih dari cukup. Sedangkan ini ... hanya buku usang yang aku ambil dari tumpukan barang bekas. Sama sekali tidak berharga."
"Jangan bicara seperti itu! Buku ini sangat bagus. Dan anggap aku membelinya darimu!"
"Tapi, Kak-"
"Ambilah! Kamu bisa belanjakan uang ini untuk makan beberapa hari ke depan," potong Dira.
Anak itu tersenyum cerah. "Terima kasih banyak, Kak. Semoga keberuntungan selalu menyertai hidup Kakak."
Dira tersenyum tipis. Namun, setelah anak itu pergi, ia menghela napas panjang. "Harapan yang sangat indah. Terima kasih, tapi sayangnya ..."
Dira bahkan tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Hatinya terlalu perih. Alih-alih keberuntungan, ia rasa yang ia dapati kini justru sebaliknya.
Dira memperhatikan buku usang yang ada di tangannya. Tulisan pada sinopsisnya masih dapat dibaca dengan jelas. Sebuah cerita tentang seorang gadis yang dikhianati oleh orang-orang terdekatnya.
Mirip sekali dengan hidupku, pikir Dira.
Namun, sebelum ia sempat membaca lebih lanjut, sebuah suara klakson nyaring terdengar. Semuanya terjadi begitu cepat—lampu depan mobil menyilaukan matanya, dan tubuhnya terasa melayang sebelum semuanya berubah menjadi gelap.
***
Ketika Dira membuka matanya, ia merasakan cahaya matahari menyilaukan wajahnya. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa berbeda. Ruangan tempat ia berada juga asing, dengan tirai putih dan ornamen kayu klasik di sekelilingnya.
“Varina, kamu sudah sadar?” suara seorang wanita terdengar, penuh kekhawatiran.
“Siapa... Varina?” gumam Dira lemah.
Wanita itu menghela napas lega, lalu tersenyum kecil. “Aku akan memanggilkan Ibu. Kamu perlu banyak istirahat.”
Dira hanya bisa terpaku. Ia memandang ke cermin besar di sudut ruangan, dan bayangan yang ia lihat bukanlah dirinya.