Hari masih belum senja saat Fatma menyempatkan diri mampir ke sebuah warung nasi goreng yang bahkan masih baru dibuka.
Sudah menjadi kebiasaannya untuk membelikan makanan jadi di sore hari sebagai makan malam yang dia percepat, karena jika waktu sudah benar-benar malam maka Fatma akan malas untuk makan apapun lagi. Biasanya dia hanya akan minum air putih atau membuat s**u hangat.
"Enggak masal lagi toh, Nduk?"
Fatma menoleh, kemudian tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan tangan.
"Enakan juga makan nasi gorengnya Ibu," balasnya dengan mengedipkan sebelah mata.
Si ibu penjual nasi goreng itu hanya bisa menggelengkan kepala dengan tawa geli, tangan keriputnya memisahkan kursi plastik yang tertumpuk dan kemudian menatanya mengelilingi meja.
"Kayak biasa ya ini? Tapi sabar ya, soalnya ini baru buka. Ibu tadi telat pulang dari rumah saudara jadinya jam segini baru mulai beres-beres."
Fatma mengangguk tanpa keberatan, dia duduk dengan membuka ponselnya dan melihat banyaknya pesan yang masuk ke dalam grup antara dirinya beserta Megi dan juga Kintan, isinya hanya gosip terhangat yang terjadi di kantor. Salah satunya adalah gosip terbaru tentang Ferdinan yang dikabarkan sedang mendekati salah satu karyawan keuangan, yang bernama Kristal. Yang menjadi gosip itu sangat populer sekarang ini adalah karena divisi keuangan adalah sarang milik Arafi yang merupakan suami dari Nares sehingga banyak orang yang menebak jika Ferdinan sengaja mendekati salah satu anak buah pria itu.
Dan karena hal itu juga Fatma langsung mengkonfirmasi tentang gosip yang beredar itu pada Ferdinan tadi saat dia ada di kantor.
"Saya cuma mau minta maaf kemarin, kayak yang udah saya bilang ke kamu. Dan lagi saya sama sekali enggak ingat kalau divisi keuangan itu tempatnya 'dia', jadi kamu enggak perlu pusing sama gosip yang kayak gitu," begitu kata Ferdinan.
Padahal yang seharusnya pusing karena digosipkan seperti itu kan Ferdinan, namun pria itu malah meminta Fatma yang tidak memikirkan gosip itu. Kalau sudah begitu, mau gimana lagi kan?
"Selama ini Ibu belum pernah lihat kamu datang pakai pakaian biasa, Nduk. Kamu selalu datang pakai baju kerja begitu, kamu kerja di perusahaan besar ya?"
Lamunan Fatma langsung buyar, dia kembali menoleh pada si ibu yang kini sudah mulai memasak nasi goreng pesenannya.
"Soalnya kalau pagi kan Ibu enggak mungkin udah jualan, dan saya kalau udah di rumah malas keluar, makanya jarang makan kalau malam. Saya sekalian beli nasi goreng disini karena habis pulang kerja, kalau sudah pulang sampai di rumah, ya saya udah enggak kemana-mana lagi, Bu," jawab Fatma.
Dia sama sekali tidak merasa keberatan walaupun Ibu penjual nasi goreng ini selalu mengajaknya bicara. Padahal mereka hanya sering bertemu karena Fatma membeli nasi gorengnya, namun mereka jadi terlihat akrab dan dekat karena Si Ibu selalu mengajak Fatma berbicara setiap kali dia datang, tidak perduli walaupun keadaan warung sedang ramai.
"Iya sih, Ibu juga kalau udah ngerasa cape ya malas keluar rumah."
Fatma terkekeh, dia kembali menunduk ke arah ponselnya. Ada satu grup lagi yang dia ikuti, itu adalah grup besar para sales yang juga didalamnya ada Manager Pemasaran. Meskipun begitu tidak ada yang tahu jika Fatma tergabung dalam grup itu, dengan kata lain Fatma menyusup ke dalamnya berkat kerja sama dengan salah satu sales senior.
"Loh, Fatma?"
Kepala Fatma kembali terangkat, kini matanya membulat terkejut saat melihat sosok yang tidak dia sangka akan dia temui disini.
"Mas Baim, kok bisa disini?"
Dia celingukan, mencari sosok lain yang mungkin saja datang bersama dengan Ibrahim. Karena konon katanya, Ibrahim selalu pergi kemana-mana dengan temannya yang juga Fatma kenal sebagai ketua klub bulu tangkis.
Ibrahim tertawa, "Saya mampir kesini karena tadi Ibu nitip nasi goreng sebelum saya pulang ke rumah. Dan sebagai informasi tambahan, saya datang sendiri kesini tanpa Ledra. Kayaknya kamu juga kemakan gosip anak-anak nih soal saya dan Ledra yang selalu bareng kemana-mana."
Fatma ikut tertawa, dia mengangguk sambil menggeser kursi yang dia duduki.
"Ya habis gimana dong? Semua orang di klub kan ngomongin soal itu," kilahnya tidak merasa bersalah.
Ibrahim hanya menggeleng pelan, dia bangkit sejenak untuk bersiap memesan.
"Kamu makan disini?" tanyanya sebelum beranjak.
Ketika Fatma mengangguk, Ibrahim juga ikut mengangguk dan beranjak mendekati si ibu penjual nasi goreng. Terlihat pria itu sempat mengobrol bersama si Ibu, tertawa sambil melirik ke arah Fatma sebelum setelahnya kembali berjalan ke arah Fatma.
"Tadi Ibu itu nanya, apa mungkin saya ini pacar kamu? Katanya, kita kelihatan cocok," kata Baim.
Fatma membulatkan matanya, "Terus Mas Baim bilang apa?"
Dengan senyum menggoda, pria itu menatap Fatma jahil. "Kamu maunya, saya jawab apa?"
Berdecak, Fatma mengibaskan tangannya kemudian.
"Enggak usah dijawab deh, malas saya jadinya."
Baim tertawa lagi, tangannya menyentuh pundak Fatma pelan.
"Saya jawab kalau kamu cuma adik kelas saya, belum jadi pacar."
"Haha!" Fatma tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan. "Ngaco aja," komentarnya geli.
Mana mungkin orang seperti Ibrahim berharap menjadi pacarnya di saat pria itu bisa mendapatkan wanita lain yang lebih baik dua kali lipat, apalagi dengan sifat Ibrahim yang baik dan juga latar belakang keluarganya yang merupakan Ningrat Solo. Wanita sepertinya pasti lah tidak terlihat menarik sama sekali.
Setidaknya, itu lah yang Fatma yakini.
*
"Pekerjaan kamu baik-baik aja?"
Ferdinan yang sedang setengah berbaring di sofa panjang ruang tengah rumah orang tuanya, langsung mengangkat wajah ke arah sang Mama yang datang sambil membawakan dua cangkir minuman yang masih mengepulkan asap. Ketika Ferdinan mengintipnya, isinya adalah teh jahe yang selalu dihidangkan setiap malam oleh Mamanya ketika dia berada di rumah.
"Lancar kok, penjualan juga stabil walaupun ada beberapa Sales yang mengalami penurunan. Tapi itu masih bisa ditutupi sama penjualan Sales senior yang udah punya banyak chanel."
Mamanya mengangguk dengan senyum tipis, ikut duduk bersama dengan Ferdinan yang memilih bangkit dan duduk dengan benar.
"Kalau soal lainnya...gimana?"
Gerakan tangan Ferdinan yang sedang memainkan game offline di ponselnya langsung terhenti, dia tersenyum sebelum kemudian menatap ke arah wajah cantik Mamanya.
"Maksudnya soal Nares?"
Walaupun Mamanya terlihat terkejut melihat dia yang terus terang, namun kemudian Mamanya itu mengangguk pelan.
"Ferdi udah enggak kenapa-kenapa kok, Ma. Walaupun awalnya memang berat, tapi mau gimana pun sekarang Nares udah punya kehidupan sendiri yang Ferdi enggak ada di dalamnya. Apalagi hukum di Negara kita ini cukup kejam kalau ada orang yang menggangu rumah tangga orang lain, walaupun bukan hukum pidana atau perdata tapi hukum sosialnya mengerikan. Jadi Ferdinan sama sekali enggak ada niat buat jadi musuh publik," katanya sambil terkekeh di akhir kalimat.
Mamanya ikut tertawa, tangannya terangkat mengusap kepala anak semata wayangnya yang baru saja patah hati.
"Mama tahu kalau kamu bisa bertahan dan survive dengan apa yang kamu alamin, apalagi kamu sekarang masih muda. Masih banyak waktu buat mengenal orang baru dan jatuh cinta, kalau perlu Mama juga bisa kok kenalin kamu sama anak teman Mama."
Ferdinan nyaris berdecak mendengar ucapan Mamanya, karena berkat itu dia jadi teringat soal apa yang dikatakan oleh Bakti ketika bertemu dengannya. Omong kosong yang siang tadi membuat Ferdinan langsung meninggalkan pria itu dengan mengacungkan jari tengah, saking kesalnya dijodoh-jodohkan.
"Kayak yang Mama bilang tadi, aku masih muda dan masih punya banyak waktu buat kenal orang lain. Jadi Mama enggak usah mikirin soal apapun itu, aku masih bisa cari pasanganku sendiri," tolaknya.
Ellene, Mamanya itu kembali tertawa. "Iya deh, Mama enggak akan ikut campur masalah itu kalau kamu memang enggak mau. Tapi nantinya kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa langsung bilang ke Mama ya?"
Ferdinan menggeleng, "Aku enggak akan berubah pikiran."
Mamanya menyerah, memilih mengangguk sambil menyesap teh jahe miliknya.
"Ya apapun itu, Mama dan Papa cuma mau yang terbaik buat kamu. Kalau Nares bisa bahagia, maka kamu juga harus bisa. Jangan sampai cuma kamu sendiri yang menderita dan mempertahankan perasaan sepihak. Apa sekarang, ada perempuan yang sedang kamu suka?"
Kening Ferdinan mengerut saat mendapatkan pertanyaan semacam itu dari Mamanya.
Dia bahkan hanya sibuk bekerja selama ini, dan sama sekali tidak memiliki ketertarikan dengan perempuan selain Nares. Belakangan dia memang digosipkan dengan Kristal yang merupakan karyawan dari divisi lain, Divisi yang dipimpin oleh suami Nares sendiri. Tapi itu semua hanya karena sebuah kejadian yang mengharuskannya meminta maaf, orang-orang saja yang seenaknya menebak dan membuat cerita sesuai keinginan mereka.
"Enggak ada, Ma. Ferdi masih belum mikirin masalah itu, masih fokus buat mempertahankan kinerja Ferdi di perusahaan."
"Tapi buat apa sih, Fer? Padahal kamu bisa pindah ke kantor Papa loh, dulu Mama masih paham kalau kamu berusaha deketin Nares makanya kamu kerja di perusaan Papanya, dan kamu juga mau ngambil hati Abrar buat bisa ditunjuk sebagai pendamping Nares, tapi semua usaha kamu itu enggak dipandang sama mereka. Jadi buat apa coba, kamu masih bertahan di perusahaan itu?"
Terdiam, Ferdinan kehilangan kata-kata untuk menjawab semua ketidakpahaman Mamanya. Apa yang Mamanya bilang memang benar, semua alasan dia bekerja di perusahaan milik keluarga Nares, di saat Papanya sendiri memiliki perusahaan adalah karena ingin mendekati gadis itu dan juga Papanya. Namun semua usaha yang dia lakukan sejak bertahun-tahun itu tidak ada yang membuahkan hasil, bahkan hanya mendapatkan patah hati paling besar dalam hidupnya.
"Kalau kamu memang udah enggak nyaman, udah enggak punya alasan buat bertahan disana ya enggak apa-apa kamu tinggal resign aja. Abrar juga pasti ngerti kok kalau keadaannya jadi sulit buat kamu bertahan disana, kalaupun dia menolak pengunduran diri kamu, itu gampang tinggal Papa yang nanti datang buat bilang langsung. Yang penting itu diri kamu sendiri, Fer."
Ferdinan menghela napas, mengangguk dengan senyum lembut saat menatap Mamanya.
"Makasih karena Mama dan Papa udah selalu mikirin Ferdi, tapi Ferdi mau jadi orang yang profesional dan bertanggung jawab. Ferdi enggak mau keluar dari perusahaan cuma karena masalah pribadi, seenggaknya kalaupun Ferdi resign, Ferdi mau karena itu adalah kemauan Ferdi sendiri. Bukan karena masalah pribadi Ferdi."
Mendengar bantahan lagi dari anak kesayangannya, tidak ada yang bisa dilakukan oleh Ellene selain mengangguk.
"Terserah kamu saja," katanya.
**