"Untuk target bulan ini, sebagian dari tim marketing sudah ada yang mencapainya. Namun begitu, masih lebih bagus kalau lebih dari tujuh puluh persen tim marketing yang mencapai target, dengan begitu perusahaan akan terus menganggap bahwa Divisi Marketing adalah Divisi yang paling pantas untuk menempati peringkat pertama dibanding dengan divisi yang lainnya. Dan untuk beberapa tim yang masih memiliki kekurangan dalam target, kalian tidak usah merasa khawatir karena waktunya masih lama, juga tolong selalu diingatkan untuk terus menggunakan cara yang bersih saat penjualan. Karena sejak awal perusahaan kita tidak terlalu memaksakan terhadap target penjualan, walaupun jika tidak mencapai target kalian tidak akan menadapat kan bonus namun upah kerja yang kalian terima tetap sama setiap bulannya."
Fatma menunduk sekilas saat kemudian Ferdinan menatap padanya.
"Tolong tekankan ini sekali lagi kepada setiap ketua tim," bisiknya.
Fatma mengangguk. Dia kembali mendengarkan apa yang diarahkan oleh Ferdinan kepada Manager Pemasaran dan juga semua ketua tim penjualan. Agenda rapat seperti ini selalu dilakukan oleh Ferdinan setiap dua minggu sekali, sekaligus memonitor target penjualan dari setiap tim.
Awalnya, sama seperti kantor lainnya yang menjual berbagai produk, Magnum juga sangat mementingkan target penjualan kepada bagian pemasaran. Namun dulu sempat ada kejadian dimana salah satu Sales senior melakukan tindakan kotor dengan salah satu klien hanya agar penjualannya tetap berjalan stabil dan melampaui target. Abrar dan Istri yang dulu memegang penuh kekuasaan di Magnum akhirnya turun tangan dan meminta agar sales mereka berhenti melakukan hal semacam itu, setelahnya Magnum menghapuskan kebijakan tentang Target sebagai penentu upah bulanan karyawan Pemasaran dan hanya menjadikannya sebagai upaya untuk mendapatkan bonus di akhir bulan. Sedangkan upah bulanan disesuaikan dengan peraturan pemerintah dan juga Upah Minimum Regional.
Tangan Fatma mematikan layar tablet yang dipegangnya saat rapat yang diadakan hari ini ditutup oleh Ferdinan. Setelah atasannya itu beranjak keluar setelah menerima salam dari semua yang menghadiri rapat, Fatma menahan Manager dan kepala tim untuk mengingatkan kembali tentang apa yang tadi disinggung oleh Ferdinan.
Lantas baru lah setelah itu dia juga membersihkan ruang rapat, menata kembali kursi seperti semula lalu berjalan ke arah meja kerjanya sendiri.
Belum sempat dia mengambil duduk di sana, interkom yang ada di atas meja Fatma berdering.
"Iya, Pak?"
"Tolong buatkan saya es teh manis dalam gelas besar ya, Fatma."
Usai mengiyakan permintaan dari Ferdinan yang entah kenapa meminta es teh manis hari ini, Fatma langsung meletakan tablet yang tadi dibawanya dan bertolak ke arah pantri.
Pekerjaannya memang seperti ini, selain menyiapkan tugas resmi kantor, dia juga menyiapkan segala sesuatu yang diinginkan oleh atasannya. Walaupun begitu dia cukup bersyukur karena Ferdinan sama sekali bukan tipe bos yang semena-mena dan memanfaatkan kekuasaannya.
"Ini es teh manis yang Bapak minta," ujar Fatma saat meletakan gelas besar berembun yang berisi es teh manis sesuai permintaan Ferdinan.
Bosnya itu tersenyum kecil tanpa menatapnya, "Terimakasih, Fatma."
Fatma balas tersenyum, dia kembali keluar dari ruangan itu.
Ketika dia baru menutup pintu ruangan Ferdinan, dia berpapasan dengan Kintan yang tampaknya baru akan berjalan menuju pantri.
"Kebetulan banget ketemu kamu!" seru gadis itu.
Kintan mendekat dengan gelagat yang mencurigakan, wajahnya begitu dekat dengan Fatma hingga Fatma reflek memberi jarak padanya.
"Aku denger gosip lain soal Pak Ferdinan, katanya beliau lagi deket sama salah satu karyawan keuangan. Apa itu benar?"
Kening Fatma mengerut, dia reflek menatap ke arah ruangan Ferdinan yang pintunya tertutup.
"Karyawan keuangan? Siapa? Aku enggak denger ada yang begitu."
Lalu mata Fatma membulat, dia jadi teringat dengan sosok gadis yang ditemui oleh bosnya secara terang-terangan di lobi kantor Jumat kemarin. Sepertinya dugaannya benar bahwa banyak orang yang menjadikan hal itu sebagai gosip.
"Ah, mungkin itu cuma salah paham. Setahuku Pak Ferdinan masih sibuk buat move on," lanjut Fatma kemudian.
Kintan terlihat tersenyum penuh arti, "Kamu enggak pernah denger ya? Kalau upaya terbaik buat move on adalah dengan jatuh cinta lagi?
Mendengar kalimat menggelikan yang keluar dari mulut Kintan dengan santainya, Fatma hanya bisa mencibir pelan.
"Ya terserah kamu deh. Sana buruan, aku mau kerja lagi," usir Fatma kemudian.
Dia mengabaikan dengusan sebal yang diperlihatkan oleh Kintan. Sesaat sebelum dia kembali duduk di meja kerjanya, matanya kembali menatap pada ruangan Ferdinan. Mungkin memang lebih baik jika Ferdinan jatuh cinta lagi, agar tidak terlalu lama patah hati melihat Nares dengan suaminya.
*
"Fatma, saya akan makan siang diluar dan mungkin terlambat kembali ke kantor. Kalau ada hal mendadak yang tidak terlalu mendesak, kamu bisa hubungi saya. Tapi kalau hal nya tidak terlalu mendesak, kamu boleh menanganinya langsung."
Melihat dirinya yang keluar tiba-tiba membuat Fatma sedikit terkejut, namun hebatnya gadis itu dengan cepat mengendalikan diri dan kemudian bangun dari duduknya.
"Baik, Pak," balasnya.
Ferdinan tersenyum, lalu dia melambai kecil pada Fatma yang kemudian kembali duduk.
Sebenarnya dia sama sekali tidak ada niat untuk keluar dari kantor sebelumnya, namun seseorang tiba-tiba saja menghubunginya dan berkata bahwa dia sedang berada di kafe yang ada di dekat kantor Ferdinan, juga meminta agar Ferdinan meluangkan waktu untuknya.
Maka karena orang ini merupakan teman baik Ferdinan juga, dia sama sekali tidak bisa menolak permintaannya.
Ferdinan keluar dari area kantor dengan berjalan kaki, dia meninggalkan mobil miliknya karena memang jaraknya yang tidak terlalu jauh dari kantor. Dalam perjalanannya menuju ke kafe itu, alisnya terangkat naik saat dia malah berpapasan dengan Kristal yang sedang bersama salah satu temannya, membawa banyak cup kopi yang dia bagi bersama temannya itu.
"Habis beli kopi ya?" tanya Ferdinan dengan senyum kecil.
Dia sengaja menyapa Kristal karena merasa kenal dengan gadis itu. Rasanya tidak akan baik jika dia melewatinya begitu saja.
Namun Kristal tampak tidak nyaman, sehingga gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum seadanya.
"Iya, Pak. Kalau begitu, saya duluan kembali ke kantor."
Hanya begitu dan Kristal langsung melewatinya. Sempat Ferdinan lihat temannya berbisik pada Kristal yang dibalas dengan wajah kesal dari gadis itu. Ferdinan kebingungan, namun begitu dia memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.
Ia melanjutkan kembali langkahnya ke arah kafe, memburu waktu karena orang yang akan ditemuinya adalah orang penting dan sibuk karena tengah memperbesar usahanya.
"Lama banget, heran deh."
Ferdinan tertawa mendapatkan sambutan berupa tampang kesal dan protesan terang-terangan dari seorang pria yang merupakan suami dari sahabatnya, Siera. Dan juga sepupu dari wanita yang pernah didambakannya, Nares.
"Ya lo datangnya tiba-tiba, lo pikir gue di kantor cuma ongkang-ongkang kaki doang apa? Gue kan harus beresin kerjaan gue dulu."
Bakti berdecak, di depan pria itu sudah tersedia segelas kopi hitam pekat yang menguarkan aroma khas.
"Lo belum pesenin gue?" tanya Ferdinan ketika melihat di depan tempatnya duduk belum terhidang apapun.
"Gue takut lo lebih lama sampe, jadi kopinya nanti dingin. Kan enggak enak kalau minum kopi dingin."
Kini gantian Ferdinan yang berdecak mendengar alasan yang diberikan oleh Bakti. Dia mengangkat tangan, meminta pelayan agar mendekat padanya.
"Teh tarik panas satu ya, gulanya dua balok," pesannya.
Mendengar pesanan yang dia minta dari pelayan, Bakti mengulum senyum miring dengan tatapan mencibir.
"Masih belum move on ternyata," komentarnya.
Ferdinan mengibaskan tangannya, duduk sambil bersandar di kursi yang dia duduki.
"Gue pesen teh tarik karena gue memang pengen minum itu, sama sekali enggak ada hubungannya sama gue yang udah move on atau belum," sangkal Ferdinan.
Bakti kemudian tertawa mencemooh, kepalanya mengangguk secara berulang.
"Iya deh, percaya percaya," katanya yang malah membuat Ferdinan semakin kesal.
"Jadi kenapa lo minta ketemuan tiba-tiba?" tanya Ferdinan langsung ke intinya.
Bakti menggeleng, "Enggak ada apa-apa, gue ada urusan disini jadi gue mau sekalian ketemu sama lo. Tadinya sih gue juga pengen sekalian ketemuan sama sepupu gue, tapi kayaknya bakal jadi berabe kalau dia ngajak suaminya terus malah jadi perang disini."
"Halah!"
Tertawa lebih keras, Bakti kembali memeluk gelasnya dengan kedua tangan dan menyesap dengan gaya.
"Istri gue enggak berhenti khawatir sama lo. Dia takut kalau karena cemburu, nantinya lo malah ngelakuin hal-hal yang bodoh lagi. Gue sampai bosen terus-terusan dengerin dia ngeluhin soal lo."
Ferdinan terdiam dengan senyum tipis ketika mendengar informasi perihal Siera dari Bakti. Sebenarnya dia memang tahu jika Siera tidak akan mungkin percaya begitu saja bahwa dia akan benar-benar move on dan tidak akan lagi mengangguk Nares, karena memang seperti itu lah sifat Siera, terlalu memiliki simpati yang besar bagi masalah orang-orang terdekatnya.
"Padahal gue udah yakinin dia kalau gue enggak akan begitu. Kayaknya istri lo itu emang enggak percayaan orangnya."
"Kalau gue jadi dia juga, gue engga akan percaya gitu aja sama omongan lo. Secara lo udah suka sama Nares dari lama dan tiba-tiba aja denger kalau dia nikah sama cowok lain. Pasti susah banget kan buat lo nerima kenyataan itu?"
Tanpa sungkan Ferdinan mengangguk, membenarkan ucapan Bakti.
"Iya, itu susah banget. Makanya gue sempat berusaha buat ngerebut dia lagi jadi milik gue, tapi apapun yang gue lakuin itu enggak bisa bikin keputusan Nares berubah. Dan kalau pun Nares enggak nikah sama cowok itu, belum tentu dia mau sama gue. Makanya buat kali ini, gue benar-benar nyerah dan enggak akan ganggu dia lagi. Jadi tolong lo sampein ini ke istri lo."
Di depannya Bakti terdiam, tangannya memegangi dagu seakan pria itu sedang berpikir.
"Sebenarnya gue punya tujuan lain datang kesini, ini adalah upaya buat bantu lo move on sekaligus supaya istri gue tenang," katanya kemudian.
Entah kenapa Ferdinan merasa tidak tenang hanya dengan mendengar kalimat yang dikatakan oleh Bakti. Tapi walaupun begitu, dia tetap menanyakan tentang upaya apa yang terpikirkan oleh Bakti untuk membantunya.
"Jadi, Fer, di kantor gue itu kan kebanyakan rekrut fresh graduate. Itu artinya hampir semua karyawan adalah mahasiswa yang baru netas, dan cantik-cantik kalau perempuannya. Udah gitu mereka juga--"
Ferdinan mengangkat tangan, "Langsung ke intinya aja," potongnya.
Bakti terkekeh dengan anggukan kepala pelan.
"Makanya, gimana kalau lo ikut kencan buta? Kayak orang-orang Korea gitu. Nanti gue bakalan kenalin lo sama beberapa karyawan gue yang paling cantik dan berbakat. Dengan begitu, lo bisa move on dari Nares dan juga Siera akan tenang. Gimana? Ide gue bagus kan?"
Dengan wajah jengah, Ferdinan langsung bangun dari duduknya.
"Enggak!" tolaknya tegas.
**