19

1673 Words
Pintu mobil tertutup dengan bunyi thud berat. Sena langsung menjatuhkan tubuhnya ke jok mobil saat sudah berada di dalam. Hentakan itu membuat Dialta menoleh sedikit. Teringat jika mobil yang akan dia kenakan selama beradai di sini adalah mobil sewa. S E W A. Sena langsung menarik sabuk pengamannya dengan kasar. Wajahnya garang—rahang mengeras, mata abu-abunya menyala marah. Rambut pirang pendeknya sedikit berantakan. Salju tipis mulai turun di luar, memantul pada kaca jendela yang gelap. Udara dingin pun ikut menyelinap. “Gila,” desis Sena, memecah keheningan. “Benar-benar gila kamu itu, Dialta. Sinting tau nggak?” Dialta menyalakan mesin dengan gerakan tenang. Tidak terburu-buru. Tidak terpancing dengan sentakan dan sedikit umpatan yang dilancarkan istrinya. Mobil melaju perlahan meninggalkan area gedung, lampu-lampu kota Toronto memanjang seperti garis cahaya. Membias dan terus berganti dengan cahaya lain. “Kamu tahu nggak apa yang kamu lakukan barusan?” suara Sena meninggi. “Cium telinga dan leherku di depan umum? Kamu pikir ini lucu? Nggak sama sekali. Yang ada MEMALUKAN!” Dialta tidak menjawab. Tetap dengan diamnya. Mencoba mencerna semua ucapan dan nada keras dari istrinya. Dan Itu semakin membuat Sena murka. “Saya Arsena Elvarendra, bukan—” napasnya tersengal, “—bukan seseorang yang bisa kamu sentuh sesukamu! Apalagi di depan banyak orang dan acara oenting seperti itu,” Lalu kalimat itu keluar. Tajam. Kejam. Kalimat yang selalu Sena lontarkan jika sudah marah. “Dasar pembunuh. Kamu budek kah?” Dialta tetap menatap lurus ke depan. Tangannya mantap di setir, meski sesekali meremasnya untuk menyalurkan emosinya. Tidak ada perubahan raut. Tidak ada emosi yang terlihat. Semua tersamarkan. Ia sudah terbiasa dengan sebutan itu. Bahkan sebelum dirinya menikah dan menjadi pengantin pengganti. Dan dia menerimanya. Tapi.. Apa dirinya akan selalu sabar? Semoga saja. Karena dirinya tak yakin jika Sena terus menguji sabarnya. Ini penebusanku, batinnya dingin. Kalau harus dibenci untuk selamanya, saya sanggup. Dan akan berusaha sabar. “Kalau kamu mau marah,” suara Dialta akhirnya terdengar, rendah dan terkontrol, “pastikan kamu duduk dengan benar. Jalanan mulai licin karena salju.” Sena terkekeh sarkastis. “Lihat? Selalu begini. Dingin. Sok beradab. Padahal kamu—” “Apa pun saya,” potong Dialta tanpa menoleh, “kamu tetap istri saya. Suka atau tidak.” Kalimat itu membuat Sena terdiam sepersekian detik—bukan karena setuju, tapi karena muak. Meski dalam diamnya mencari cara bagaimana dirinya membalas pria Dialta. Mobil melaju di jalanan yang mulai memutih. Lampu lalu lintas memantul di serpihan salju, membuat kota terasa sunyi dan nampak jauh. Tanpa sengaja, saat berhenti di lampu merah, Dialta melirik ke samping. Gaun Sena. Belahan sampingnya tinggi—terlalu tinggi untuk kenyamanan seorang pria yang duduk di sampingnya. Lekuk pahanya terlihat jelas, putih kontras dengan kain hitam. Potongan samping gaun itu juga mengekspos garis tubuhnya—sisi dadanya nyaris terlihat setiap kali Sena bergerak kesal. Dialta segera mengalihkan pandangan. Namun ingatannya kembali memutar memori siang tadi. Dimana bayangan tubuh Sena yang pernah tertangkap tak sengaja di layar laptopnya—rekaman CCTV hotel, sudut yang seharusnya tak ia lihat. Kulit, garis, siluet yang terlalu nyata untuk dilupakan. Dialta mengeratkan genggaman tangannya, rahannya pun juga ikut mengeras. Mencoba kembali fokus. “Jangan melamun,” sengit Sena, sadar tatapannya. “Kenapa melirik saya seperti itu? Ada yang salah?" tanya Sena ketus. Dialta menghela napas pendek. “tidak ada, mungkin hanya saya yang salah.” “Memang salah. Baru sadar kamu" balas Sena tajam. Lampu berubah hijau. Mobil kembali melaju. “Saya benci denganmu, Dialta,” lanjut Sena, suaranya bergetar marah. “Kamu harus ingat itu. Jangan merasa berhak. Merasa punya kuasa. Seolah aku ini benar-benar milikmu.” Dialta menekan egonya lebih keras lagi. Menelan kata-kata yang ingin dia keluarkan. Lagi-lagi dirinya dia memilih mengalah. “Secara hukum dan agama,” ucapnya datar, “kamu istri saya.” Sena menoleh cepat. “Dan itu satu-satunya alasan kamu bisa menyentuh saya, ya? Menurutmu begitu?” Hening. Salju semakin tebal. Dunia di luar terasa membeku—seperti hubungan mereka. “Jangan lakukan itu lagi,” suara Sena lebih rendah kini, tapi lebih berbahaya. “Di depan umum. Atau di mana pun.” Dialta mengangguk kecil. “Kalau kamu tidak dalam bahaya. Saya akan biasa saja.” Sena tertawa pahit. “Bahaya menurut versi pembunuh?” Dialta tidak menjawab. Ia memilih diam. Lagi. Entah sudah berapa kali dalam sehari ini, Sena menyebutnya seperti itu. karena kalau ia bicara, ia tahu, kontrolnya bisa runtuh. Dan malam itu, di bawah langit Toronto yang mulai memutih, dua manusia terikat pernikahan duduk berdampingan dalam mobil yang sama— dengan jarak yang terasa lebih jauh dari ribuan kilometer. --- Pagi di Toronto datang dengan cahaya pucat. Cahaya pagi yang lembut bercampur dengan dinginnya udara. Salju semalam masih menyisakan putih tipis di jendela kaca hotel. Sungguh kota ini memiliki keindahan tersendiri. Di dalam kamar yang luas itu, Sena sudah duduk bersila di atas tempat tidur, laptop terbuka di depannya. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai seadanya, sebagian diselipkan ke belakang telinga. Wajah mungil itu serius—tegas, penuh kendali. Berbagai macam ekspresi sudah Sena berikan pagi ini. Meski di sana memiliki perbedaan waktu jam. Tak menyurutkan mereka untuk melakukan pekerjaan dengan semangat. Pemburu cuan, bagaimana lagi. Layar laptop di depannya menampilkan beberapa kotak dengan wajah masing-masing perwakilan. Swiss. Singapura. Jepang. Indonesia. “Good morning, everyone,” suara Sena tenang, profesional. “Let’s start with the combined report.” Seorang pria dari Zurich mengangguk. “Morning, Sena. For the Swiss branch, demand for winter couture has increased by thirty percent.” (Pagi, Sena. Untuk cabang Swiss, permintaan koleksi musim dingin meningkat tiga puluh persen.) Sena mencatat cepat. “Cashmere and wool blend?” tanyanya. “Yes. Especially the limited hand-stitched series.” jawabnya meyakinkan. (Ya. Terutama seri jahitan tangan terbatas) Sena mengangguk kecil. “Approve. I want the finishing done personally. No shortcuts.” (Setuju. Saya ingin penyelesaiannya dilakukan sendiri. Tidak ada cara lain.) Setelah dari perwakilan Swiss. Layar berpindah ke perwakilan Singapura. Seorang wanita berambut pendek tersenyum profesional. “ELVARÉ Singapore received follow-up orders from two new investors. Evening gowns are selling fast.” (ELVARÉ Singapura menerima pesanan lanjutan dari dua investor baru. Gaun malam sangat diminati.) “Send me the color preference breakdown,” balas Sena cepat. “And limit the cut. ELVARÉ doesn’t do vulgar.” (Kirimkan rincian preferensi warna kepada saya. Dan batasi pemotongannya. ELVARÉ tidak membuat model yang terlalu Vulgar.) Di layar Jepang, seorang manajer membungkuk sopan dan mulai mengatakan apa yang diinginkan saat ini di negara itu. "Sena-san, di Tokyo desain minimalis adalah yang paling diminati." Sena tersenyum tipis. Ada kelegaan sendiri saat di Jepang memiliki kepuasan tersendiri dari rancangannya. "Lanjutkan seperti itu. Jangan kompromi soal kualitas." Setelah Jepang, sekarng giliran negaranya sendiri. Indonesia yang berbicara. “Untuk Jakarta dan Surabaya,” suara perempuan terdengar, “pre-order naik drastis setelah runway terakhir. Butuh tambahan bahan sutra.” Sena menghela napas pelan—puas. “Proceed. Aku kirim approval hari ini.” Ia menutup rapat dengan satu kalimat dingin tapi berwibawa. “Remember—ELVARÉ sells presence, not just dresses.” Layar satu per satu mati. Di sisi lain kamar, Dialta berdiri di depan cermin besar, mengenakan celana bahan gelap dan kemeja putih. Tangannya merapikan manset dengan gerakan yang mamou membuat pesonanya semakin tampan berkali-kali lipat. Rahangnya tegas. Bahunya tegap. Dunia bisnisnya berbeda—keras, penuh tekanan, dan tak memberi ruang untuk membuat kesalahan. Namun matanya—tanpa ia sadari—terus menangkap pantulan bayangan Sena di cermin. Istrinya. Duduk santai tapi menguasai seluruh ruangan dengan auranya. Wajah cantik dengan ekspresi serius. Rambut pirang yang, entah kenapa, terlalu cocok di wajah Arsena Elvarendra. Pantas saja. Bahkan menambah kecentilan, kebar-baran dan kesexyan istrinya. Sexy? Apa yang kamu pikirkan Dialta? Dialta menggelengkan kepalanya menghilangkan pikiran liar yang terus menerus berputar. Apalagi semenjak dirinya yang tau bagaimana tubuh cantik itu tanpa sehelai kain, berlenggok ke sana kemari. Lekukan tubuh yang indah dengan semestinya. Ow s**t. Kamu gila Dialta. Kamu sinting. Ia melanjutkan kegiatannya, mengancingkan kemeja satu per satu. Tenang. Terkontrol. Sena tiba-tiba turun dari tempat tidur, berjalan ke arah meja kecil. “Buku catatanku mana?” gumamnya sambil mengacak beberapa berkas. Entah kemana buku itu. Buku pentingnya seperti diary yang berubah menjadi buku sketsanya. Dialta melihatnya. Tanpa bicara, ia mengambil buku catatan hitam tipis dari meja samping—yang sejak tadi berada dalam jangkauannya—lalu mengulurkannya begitu saja. Sena berhenti. Lalu Menoleh. “…oh.” Tangannya mengambil buku itu. Jari mereka nyaris bersentuhan—nyaris. Namun segera Sena menghindar. Menarik buku itu dari tangan besar Dialta. Tanpa berucap apapun. "Hanya itu saja?" Ucap Dialta yang kembali menatap cermin. "Makasih." balas Sena ketus. Bukannya Sena tak tahu diri. Hanya saja, Sena masih marah jika ingat sikap suaminya kemarin. Lalu tiba-tiba— Sena terbatuk kecil. Tenggorokannya terasa Kering. Setelah cukup lama berbicara dengan para karyawannya. Ternyata bicara cukup menguras tenaga, mendadak kering kerontang saja. Dialta bergerak lebih cepat dari pikirannya sendiri. Ia meraih gelas air putih dari meja, melangkah mendekat, dan menyodorkannya tepat ke depan Sena. “Minum.” Nada itu bukan permintaan. Sena menatap gelas itu sepersekian detik, lalu mengambilnya. Minum pelan. “Terima kasih,” ucapnya singkat, nyaris datar. Dialta mengangguk kecil. Tidak menjawab. Ia kembali ke cermin, menyematkan jam tangan di pergelangan. Hanya seperti itu saja, aura yang dimiliki pria itu mampu membekukan ruangan. Dapat Sena rasakan hanya dengan meliriknya saja. Sena memperhatikannya diam-diam sedari tadi. Pria itu tidak banyak bicara. Hanya dingin dan kaku yang mendominasi seorang Dialta. Tapi terkadang, dirinya pun seakan tak tertebak. Tiba-tiba manis. Tiba-tiba ketus. Ada saja gebrakannya. Dialta sudah siap dengan setelan kerjanya, mengambil jasnya, dan memakainya. Menambah aura mematikan yang diam-diam membuat Sena menelan ludahnya susah payah. “Saya ada rapat dengan Richard Coleman siang ini.” Sena mengangguk sambil membuka catatan. “Hem.." Hanya itu respon yang Sena berikan. Dialta berhenti melangkah. Menatap Sena daru tempatnya berdiri. Begitu juga Sena yang menatapnya saat ini. Tatapan mereka terkunci beberapa detik. “Jangan keluar hotel sendirian,” tambah Dialta, dengan suara rendahnya. Sena mendengus kecil. “Saya bukan anak kecil.” “Saya tahu,” jawabnya cepat. “Itu sebabnya saya mengingatkan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD