18

1475 Words
Aula makan malam itu dipenuhi cahaya keemasan. Kaca-kaca tinggi menghadap pelabuhan Toronto, memantulkan kilau air dan lampu kapal yang bergerak pelan. Meja-meja panjang tertata rapi, aroma anggur dan hidangan kelas atas bercampur dengan percakapan bisnis beraksen formal. Dialta masuk dengan langkah tenang. Lengannya tetap melingkar di pinggang ramping Sena—tidak longgar, tidak menekan. Posisi yang jelas. Klaim yang tak perlu diumumkan. Sena bisa merasakannya. Meski dia sudah berusaha melepaskan pelukan itu tapi tetap saja, si empu yang memiliki lengan enggan melepaskannya. Kadang Sena berfikir, dan merasa aneh melihat pria yang sedari tadi ada di sisi-nya ini. Bahkan ketika ia berhenti berjalan, Dialta ikut berhenti. Saat ia melangkah, Dialta menyesuaikan langkahnya. Dan entah sejak kapan, ibu jari Dialta bergerak pelan, meremas singkat lalu mengelus—sekadar sentuhan kecil di pinggang dan punggung terbuka Sena. Tanpa sadar. Atau mungkin… tanpa mau mengaku. Gerakan itu justru mampu mengundang. Mengundang perasaan aneh seorang Arsena yang terlampau peka dengan sentuhan. Merinding ini Sena sebadan-badan. Tatapan-tatapan mulai datang. Pria-pria berjas mahal, senyum profesional yang terlalu lama bertahan. Beberapa pasang mata jelas melewati batas sopan. Sena menyadarinya—ia terbiasa. Namun malam ini berbeda. Karena setiap kali itu terjadi, Dialta merapatkan lengannya. Tidak agresif. Hanya cukup untuk berkata, dia bersama saya. “Relax,” bisik Sena pelan tanpa menoleh. Salah satu gebrakan seorang Dialta saat bersamanya. Sena yakin jika Dialta tak mencintainya. Tapi dengan sikap seperti ini, tak menutup kemungkinan bukan jika suatu saat... Dialta tak menjawab. Hanya sentuhan di pinggangnya yang sedikit menguat. Mereka disambut oleh sepasang suami-istri yang baru berdiri dari meja utama. Pria itu berambut perak, rautnya ramah namun tajam. Istrinya elegan dalam balutan gaun krem, senyum hangat terukir alami. “Mr. Aryasatya,” pria itu menjabat tangan Dialta. “Welcome to Toronto. I’m Richard Coleman, from North Atlantic Shipping.” (Selamat datang di Toronto. Saya Richard Coleman, dari North Atlantic Shipping.) “An honor,” jawab Dialta tenang. “This is my wife.” Ia menggeser sedikit posisi Sena ke sampingnya—bukan mendorong, tapi menarik halus, memastikan semua orang melihat dengan jelas. “Arsena Elvarendra Aryasatya.” Sena tersenyum sopan. “Nice to meet you.” Istri Richard tampak terkejut—samar tapi begitu kentara untuk Sena. Maklum karena memang Dialta yang menikah mendadak, bukan dirinya. “Oh—wife?” ia menoleh ke Dialta, tertawa kecil. “We didn’t know you were married.” (Kami tidak tahu Anda sudah menikah.) Dialta mengangguk singkat. “One week.” Seketika, keterkejutan itu berubah menjadi keheningan singkat. “One week?” Richard mengulang, lalu tersenyum lebih lebar. “Well, congratulations. That explains a lot.” (Satu minggu? Selamat. Itu menjelaskan banyak hal.) “A lot?” Sena bertanya ringan. Richard tertawa. “You look like a man who suddenly has something precious to protect.” (Anda terlihat seperti pria yang tiba-tiba memiliki sesuatu yang berharga untuk dilindungi.) Sena melirik Dialta. Pria itu tidak tersenyum. Tidak menyangkal. Lengannya justru semakin mantap di pinggang istrinya. “Kami senang akhirnya bertemu langsung,” ujar istri Richard ramah pada Sena. “Dialta selalu sangat… tertutup.” Sena tersenyum kecil. “I’m learning that.” Dialta meliriknya sekilas. Saat seorang kolega lain mendekat—pria muda, rapi, dengan senyum terlalu percaya diri—tatapannya jelas berhenti sedikit lebih lama pada punggung terbuka Sena. “Excuse me,” ucapnya. “You must be—” Dialta memotong dengan tenang, nyaris tanpa ekspresi. “My wife.” Dua kata yang cukup memberikan pengumuman penting untuk semua orang siapa wanita cantik yang ada di sisinya. Salah satu sikap Dialta yang beraryi melindungi miliknya. Ya.. Arsena adalah miliknya. Pria itu terdiam sepersekian detik, lalu tertawa canggung. “Of course. Pleasure.” Dialta hanya mengangguk. Dan ibu jarinya—lagi—mengusap pelan pinggang Sena. Sena mencondongkan wajahnya sedikit. “Kalau kamu terus begitu,” bisiknya, “orang-orang akan mengira kamu posesif.” “Biarkan,” jawab Dialta rendah. “Cemburu?” Sena menantang. Dialta menatap lurus ke depan. “Profesional.” Namun rahangnya mengeras. Sena menahan senyum. Malam itu—Dialta mungkin tidak mengakui kecemburuannya. Tapi semua orang di ruangan itu tahu satu hal, Arsena Elvarendra Aryasatya bukan sekadar pendamping. Ia adalah pusat gravitasi yang membuat Dialta—pria dingin itu—bergerak tanpa sadar. Diakui atau tidak, itu sudah sangat menggambarkan. --- Jamuan makan malam itu semula berjalan sempurna. Musik dengan tarian dan dansa para tamu. Pembicaraan yang tak jauh dari bisnis. Sena pun sudah tau dan terbiasa dengan acara seperti ini. Klan Bramasta yang tak pernah sepi. Gelak tawa ringan, denting gelas kristal, dan percakapan bisnis yang terukur. Dialta tetap di posisinya—sedikit di belakang Sena, lengannya kadang menyentuh punggung istrinya sekadar memastikan ia ada di sana. Tidak dominan. Tidak mengekang. Menjaga di jarak aman dan kepemilikan yang terbalut lembut. Hingga suara kain tersobek memecah suasana. Srkkk. Beberapa kepala spontan menoleh. Istri Richard Coleman membeku di tempat, wajahnya memucat saat ia menyadari bagian atas gaunnya robek—cukup untuk membuat garis lehernya hampir terlihat. Refleks, ia menutup d**a dengan kedua tangan. “Oh my—” suaranya bergetar. “I’m so sorry, Mrs. Coleman!” pelayan itu panik, berulang kali meminta maaf. Karena kesalahannya membuat tamu pentingnya itu mengalami hal yang tak diinginkan. Ketakutan dan ingin menangis terlihat dari raut wajah pelayan itu. Sungguh, dia bisa mati saat ini juga jika seorang Coleman marah. Salah satu pengusaha terbesar dengan trah bawah tanannya yang jelas bangak orang tau. Ruangan mendadak canggung. Richard melangkah cepat, hendak melepaskan jasnya—namun sebelum siapa pun sempat bereaksi lebih jauh, Sena sudah bergerak. Tanpa suara. Tanpa ragu. Cekatan melalui instingnya Ia meraih kain sutra berwarna champagne yang terhampar sebagai dekorasi meja samping—teksturnya jatuh sempurna, kualitasnya jelas premium. Dalam satu tarikan halus, Sena berdiri di depan Mrs. Coleman, posisinya menutup pandangan orang-orang. “It’s okay,” ucap Sena lembut namun tegas. “Please, let me.” Mrs. Coleman refleks menggeleng, gugup. “Oh no, I don’t want to trouble—” Sena sudah mengangkat tangan, senyumnya menenangkan. “Trust me.” Tangannya bergerak cepat—terlalu cepat untuk ukuran orang awam, tapi presisi bagi seseorang yang hidup di dunia busana. Kain sutra itu ia lilitkan, disesuaikan dengan kontur tubuh sang wanita, membentuk drapery alami yang menutup robekan tanpa terlihat jelek. Sena terus bergerak dengan apa yang ada di otaknya. Dialta terpaku. Tatapan pria itu tak terbaca—namun fokusnya tak lepas satu detik pun dari Sena. Cara istrinya mengukur lipatan, menarik kain setengah inci, lalu mengendurkannya agar jatuh sempurna—itu bukan hanya spontan. Itu keahlian. “Could you hold this for a second?” Sena meminta pelan. (Bisakah Anda menahannya sebentar?) Tanpa sadar, Mrs. Coleman menurut. Sena kemudian melepas jepit rambutnya sendiri, rambut pendek pirang yang dia beri jepit itu bergerak membingkai wajah. Jepit itu ia gunakan untuk mengunci simpul kain di sisi bahu—rapi, tersembunyi, nyaris seperti detail desain. “Done,” kata Sena akhirnya. Mrs. Coleman menatap dirinya—lalu Sena—matanya melebar. “Oh my God…” Dia menghela napas lega. “It looks… intentional.” (Ini terlihat… memang dirancang begitu.) Sena tersenyum kecil. “Silk always forgives mistakes—if you treat it right.” Richard mendekat, jelas terkesan. “That was impressive.” (Itu luar biasa.) Beberapa tamu lain bertepuk tangan pelan—bukan meriah, tapi penuh apresiasi. Tatapan yang tadi biasa kini berubah, terkunci pada Sena. Mata kagum yang kebanyakan dari pria. Menatap wanita berkelas dengan keahlian tak main-main. Membawa aura mahal dari tubuh imut dan wajah cantik itu. Dialta tidak menyukainya. Dialta tak suka jika mata orang-orang menatap istrinya penuh minat. Entah itu tatapan untuk kecantikan sang istri atau keahlian dari sena-nya. Dialta di buat gerah, seakan ingin segera menarik istrinya keluar dari tempat ini. Kenapa istrinya harus melakukan ini? What the... Ia tak tahan lagi untuk menunggu, akhirnya ia langsung merengkuh tubuh Sena, menunjukkan kembali posisinya di sisi sang istri. Lengannya melingkar di pinggang Sena, menariknya lebih dekat. “Terlalu banyak mata,” bisiknya rendah di telinga Sena. "Saya tak suka." Sena mendengus kecil. “Masalah kamu. Santai aja dong.” Dialta menunduk sedikit—hembusan napasnya menyentuh daun telinga Sena, lalu kecupan singkat yang nyaris tak terlihat ia jatuhkan di sana, turun sedikit ke leher. Bukan mesra di depan umum—lebih seperti peringatan. Sena menegang akan tindakan sang suami yang menurutnya, apa perlu? Bikin malu saja. Sena Menoleh tajam. “Jangan seperti ini, b******k!” desisnya, lalu menginjak kaki Dialta tanpa ragu. Dialta menahan reaksi. Rahangnya mengeras—namun sudut bibirnya bergerak tipis. Hampir… senyum. “Enemy behavior,” gumamnya. “Exactly,” balas Sena dingin. Namun lengannya—Tetap di sana. Menjaga istrinya dalam diam yang nampak seperti musuh. Dan saat ini ada yang membuat dirinya menyadari satu hal yang tak ia rencanakan, Ia bukan hanya melindungi istrinya dari dunia. Ia juga—tanpa sadar—sedang jatuh kagum pada siapa Arsena sebenarnya. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD