Kamar itu cukup luas, dominan warna putih dan hitam, dengan aroma lembut lilin aromaterapi yang entah siapa yang menyalakannya—bukan Dialta. Ia jarang menyentuh hal-hal seperti itu, dan karena kamar ini bukan kamar miliknya. Mereka masih ada di mansion utama keluarga Bramasta. Tak lain dan tak bukan Mansion milik kedua orang tua dari Arsena.
Dialta berdiri di depan pintu selama beberapa detik. Hening. Ia menatap punggung Arsena yang bersandar pada headboard ranjang—kakinya terlipat, remote di tangan, rambut sedikit berantakan. Di layar besar, drama Turki sedang menampilkan adegan menegangkan, tapi wajah Sena… kosong.
Bukan menikmati, hanya mengalihkan diri. Berusaha tegar dengan mengalihkan pikirannya. Meskipun tak sepenuhnya berhasil. Dialta tau itu.
Dialta tidak berkata apa-apa saat pertama kali masuk. Ia hanya menutup pintu perlahan, lalu menurunkan tubuhnya dengan letih. Tangan besar itu terangkat, menarik dasinya begitu saja sambil berjalan pelan ke arah ranjang. Gerakannya pelan, tapi tidak bisa menutupi aura maskulin dan dinginnya.
Tali dasi itu jatuh ke lantai. Lalu satu per satu kancing kemejanya terbuka…
Sena bisa melihat dari ujung ekor matanya—tanpa sadar menelan ludah. Tubuh suaminya… jelas. Garis otot yang tajam, tato yang memanjang dari d**a kiri turun ke pinggang. Kontras dengan ekspresi wajahnya yang tenang dan terkontrol.
Emang cowok harus begitu kah? gerutu Sena dalam hati. Nggak daddy… nggak kak Senio… Untung kak Sean bersih… Sena mengernyit.
Ngapain juga aku mikirin tubuh orang lain? Gila!
Dialta sudah melepaskan kemejanya sepenuhnya, menyisakan hanya celana kain hitam setelan baju kerjanya. Ia meletakkan kemeja itu di kursi, menegakkan tubuhnya, lalu berdiri di ujung ranjang menghadap istrinya.
Sena pura-pura tetap fokus pada apa yang ada di depannya, padahal ia bisa merasakan tubuh Dialta di sana. Mengawasi. Menatapnya intens.
Dengan suara bariton rendahnya, Dialta membuka percakapan. “Bisa kita bicara sebentar?”
Sena tidak menoleh. “Ya udah bicara aja sih.”
Dialta memijit batang hidungnya. “Bisa fokus ke saya?”
“Nggak bisa.” Sena melontarkan, cepat dan tajam. “Nggak sudi fokus ke pembunuh.”
Hening. Kata itu menusuk. Dialta terdiam, bahunya sedikit turun, bukan karena kalah… tapi menahan. Ia menunduk sejenak, menggigit bibir bawahnya untuk memastikan amarahnya tidak lepas kendali.
“Arsena…” suaranya lebih pelan. Tidak marah. Tidak tinggi. Hanya… lelah. Bagaimana pun sebutan itu memang masih melekat di dirinya.
Sena mendengus. “Apasih? Kalau mau ngomong ya ngomong aja. Ribet banget.”
Tangannya menekan tombol volume lebih keras, suara drama Turki memenuhi kamar. Sengaja memang. Entah apa yang membuatnya seperti ini. Apa dia marah? Tapi untuk apa? Bukan Dialta seharusnya yang dia salahkan. Tapi mantan pacar bangsatnya itu bukan?
Dialta mengangkat wajahnya. Itu batasnya. Ia mendekat selangkah. “Saya ingin berbicara serius.”
“Nah terus? Saya harus apa?” Sena balik menyahut. “Tepuk tangan? Bersyukur? Seneng banget gitu saya nikah sama—”
Sena tidak sempat menghabiskan kalimatnya. Dalam satu gerakan yang tenang tapi tegas, Dialta mengambil alih remote dari tangan Sena. Ia tidak kasar—hanya mendominasi dengan cara yang tidak memberi ruang penolakan.
Klik. Televisi berhenti. Hening menelan seluruh kamar. Setelah Dialta menekan tombol power untuk dia matikan.
Sena mendongak spontan, hendak memprotes.
Dan justru di detik itu—lingerie hitam tipis yang ia kenakan bergerak sedikit, terbuka sedikit karena gerak tubuhnya yang mendongak cepat.
Ada bayangan kulit yang terlihat dari sela renda. Dialta sempat menatap… sepersekian detik. Cukup untuk membuat rahangnya mengeras.
“s**t…” gumamnya nyaris tak terdengar, memalingkan wajah sepersekian detik untuk menjaga kontrol diri.
Sena langsung menarik kain itu sambil memelototinya. “APAAN?! Jangan lihat!”
“Saya nggak lihat,” Dialta membalas pendek.
“Kamu lihat!”
“Saya justru mencoba nggak lihat, kalau kamu tidak bergerak seperti tadi.”
“Kok nyalahin saya sekarang?!”
Dialta mengembuskan napas panjang. Ia duduk di tepi ranjang, tetap menjaga jarak agar tidak membuat Sena ketakutan, tapi cukup dekat agar Sena tahu—ia tidak akan bisa pergi kemana pun.
“Arsena,” panggilnya pelan, lebih lembut. "saya harus pergi ke Toronto lusa."
Sena terdiam sebentar, menatapnya dengan campuran amarah dan kaget. Dialta menatap mata istrinya. Tanpa agresi. Tanpa ancaman. Hanya… seseorang yang mencoba melakukan hal benar.
“Ya udah,” tukasnya cepat. “Pergi aja. Akhirnya saya nggak perlu ketemu kamu beberapa hari.”
Dialta menatapnya lama. L A M A. Dengan tatapan dingin, dingin yang lebih seperti pria yang sedang mengerti bahwa wanita di depannya sedang membangun tembok dari rasa sakit yang dia terima.
“Dan sayangnya,” ia semakin menatap instens istrinya, “kamu harus ikut bersama saya.”
Sena mengangkat dagu. “Nggak mau.”
“Itu bukan tawaran.”
“Dialta, jangan paksa saya. Sekali tidak, tetap tidak?!” Sena mengatur napasnya. "Kenapa harus dengan saya?"
“Karena kamu istri saya.” Dialta memalingkan wajahnya dari wajah istrinya, menatap lurus ke dinding seolah kontrol dirinya bergantung pada tidak menatap tubuh wanita itu. “Dan tugas saya memastikan kamu aman.”
“Aman dari kamu?” Sena menyengir sinis. “Lucu.”
Dialta akhirnya kembali menoleh, perlahan. Tatapan itu menusuk, tapi tidak menghakimi. Lebih seperti—kamu boleh marah, tapi kamu tetap milik saya untuk saya jaga.
“Kalau saya mau menyakitimu,” ucapnya dingin, “saya nggak akan duduk sejauh ini.”
Sena terdiam sepersekian detik, jantungnya memukul rusuk. Dia membenci cara pria ini berbicara—tenang, logis, tapi menyisakan ruang kecil untuk menolak.
“Saya nggak mau ikut,” ulang Sena, dengan nada naik satu oktaf. "Titik."
Dialta menghela napas. Ia bangun dari duduknya, berdiri tepat di samping ranjang—masih menjaga jarak, tapi auranya membuat ruangan seperti menyempit.
“Arsena,” katanya pelan namun tajam. “Kamu trauma. Kamu marah. Saya ngerti itu. Tapi tidak mungkin saya meninggalkanmu. Karena kamu sudah menjadi tanggung jawab saya.”
“Ini rumah aku!” seru Sena.
“Ini rumah keluarga kamu,” koreksinya dingin. “Dan kamu butuh suami di sampingmu, bukan tembok yang kamu paksa jadi tameng.”
Sena hambur bangkit. “Aku nggak butuh kamu!”
Dialta mencondongkan tubuh sedikit, “Tapi saya butuh memastikan kamu tetap bisa berdiri,” ucapnya lirih namun menusuk, “bahkan kalau kamu berharap saya mati.”
Sena terdiam. Kata-ka Dialta seakan menyadarkannya. Bahwa hidup tak selamanya harus terus terpuruk bukan?
Dialta melanjutkan, nada baritonnya semakin rendah, “Saya sudah bicara dengan Daddy Denta. Beliau setuju.” Ia memutar sedikit tubuhnya, meraih sesuatu di meja kecil—selimut tipis yang biasa digunakan Sena. Tanpa berkata apa pun, ia membentangkannya perlahan, menutupi bahu Sena agar tidak kedinginan. Dengan gerakan halus yang mampu membuat Sena tertegun, tanpa izin, tapi penuh perhitungan.
“Dan saya tidak akan membawa kamu ke luar negeri hanya sebagai formalitas,” lanjutnya. “Saya mau kamu aman. Itu saja.”
Sena menarik selimut itu, separuh kesal, tapi tak dipungkiri ia cukup tersentuh tapi tidak mau mengakui. “Kenapa kamu peduli? Kita bahkan… bukan pasangan beneran.”
Dialta menahan napas sejenak. Tatapannya meredup—tapi masih ada beban disana. “Kita memang bukan pasangan yang kamu inginkan,” ucapnya jujur, “tapi saya suami kamu sekarang. Dan saya tidak akan gagal lagi menjaga seseorang… yang dititipkan ke saya.”
Ada sesuatu di nada suara itu. Luka lama. Sena merasakan detak jantungnya kacau tapi ia buru-buru menepisnya.
Arsena akhirnya pasrah. Bukan rela—hanya tidak punya pilihan lain ketika mami dan daddynya sendiri memberi izin kepada Dialta.
“Dia suamimu, Sena. Daddy percaya sama dia.” Kalimat itu terngiang-ngiang, membuat d**a Sena makin sesak.
Harusnya… sekarang ia sedang menikmati bulan madu dengan Andro. Harusnya… ia sedang memposting foto romantis ke dunia. Harusnya… hidupnya tidak seberantakan ini.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Ia menikah dengan laki-laki yang ia sebut “pembunuh.” Ia sedang membereskan koper untuk ikut suami yang bahkan tidak ia sentuh dalam pernikahan itu. Dan ironisnya… pria yang memporak-porandakan hidupnya sejak hari dia menjadi pengantin pengganti.
Sena menatap lemari besar berwarna putih gading di kamarnya. Koper hitam besarnya ada di paling atas. Ia mendesis kecil, lalu menyeret kursi untuk menjadi pijakannya. Ia naik perlahan, tangan terulur—nyaris, hampir menyentuh gagang koper.
Masalahnya… Dengan tinggi hanya 160 cm, ia tetap harus menjinjit keras. Dan lingerie hitam pendek yang ia pakai menaik beberapa senti saat ia mendongak ke atas. Di belakangnya, terdengar suara napas berat tertahan. Bukan napasnya.
Dialta. Pria itu duduk di sofa panjang dekat meja kerja, laptop di pangkuannya. Tapi matanya—jelas bukan lagi fokus pada layar.
Ia mengeraskan rahang, menghela napas panjang. “Astag—” Dialta mengusap wajahnya. Tahan. Tahan. Tahan.
Seolah itu mantra untuk tidak membiarkan otaknya ke arah yang salah. Agar tak berkelana liar.
Sena tetap sibuk, jelas tak sadar jika dirinya bisa saja di terkam seseorang yang mencoba menahan hastratnya. Atau… pura-pura tidak sadar?
Dialta sendiri tidak tahu. Dan itu membuatnya semakin sulit untuk fokus pada pekerjaannya. Akhirnya, dengan gerakan pelan tapi tegas, ia menutup laptop. Lalu berdiri.
“Sena,” panggilnya.
“Ngg—ngghh—sebentar!” Sena menjinjit lebih tinggi. “Aku hampir dapet!”
“Biar saya saja,.” Dialta mendekat. Langkahnya tenang. Bahunya tegap. Tatapannya dingin tapi… ada percikan sesuatu yang ia kontrol mati-matian.
Ia berhenti tepat di belakang Sena. “Turun.”
“Enggak. Aku mau bisa ngambil sendiri—”
“Arsena.” Nada bariton itu menghantam kesadarannya. “Turun.”
Terpaksa, Sena menurunkan tumitnya. Ia berbalik—dan nyaris jatuh ketika tepi kakinya tergelincir dari kursi. Refleks, tangan Dialta langsung menangkap pinggangnya. Membuat jarak di antara mereka hanya sedikit.
Sena tersentak keras. “Jangan sentuh aku, pembunuh!”
Dialta tidak melepaskannya. Masih menatap Sena yang berusaha melepaskan diri. “Sayangnya,” ucapnya dingin, “pembunuh ini suamimu yang menolongmu agar pantatmu tak mencium dinginnya lantai.” Dialta akhirnya melepas pinggangnya.
Sena memelototinya. “Kamu itu—”
“Diam sebentar.” Dialta tidak menunggu izin. Ia dengan hanya mengulurkan tangannya dengan satu gerakan ringan, meraih koper besar itu dengan satu tangan. Lalu meletakkan koper di lantai.
Tingginya—cara berdirinya—cara ia memegang koper seakan tidak ada bobotnya sama sekali… membuat Sena merasa semakin kecil. Ia berbalik, hendak mengambil koper itu, tapi Dialta memindahkannya ke tangan satunya. Menghindar.
“Aku bisa bawa sendiri,” gerutu Sena.
“Tidak perlu,” jawab Dialta singkat.
“Aku bisa!”
“Saya tidak tanya bisa atau tidak.” Dialta menunduk sedikit, menatapnya dari jarak yang membuat napas Sena tertahan. “Saya suamimu. Itu cukup menjadi alasan.”
Sena menggigit bibir bawahnya, frustrasi. “Kenapa sih kamu kayak gitu?! Seenaknya saja."
“Ini memang tugas seorang suami bukan?,” potong Dialta pelan. “jangan sok kuat, Arsena.”
Sena tercengang. “Ha?”
Dialta menoleh sebentar, lalu kembali menatapnya serius. “Saya terbiasa memastikan orang di sekitar saya tidak celaka atau kesusahan,” katanya lirih namun tegas. “Meskipun orang itu membenci saya.”
Sena membalas tatapannya—tatapan yang penuh getir dan kesal bercampur syok.
Dialta kemudian menarik napas panjang sebelum menambahkan,
“Besok pagi jam enam kita berangkat. Aku yang atur semuanya.” Nada dominasinya kembali, dingin tapi tidak kasar. “Kamu tinggal siapin diri.”
“Aku masih harus kontrol Elvaré,” bela Sena.
“Saya sudah email jadwal meeting kamu ke asisten pribadi kamu.” Dialta menyentuh smartphone-nya sebentar. “Kamu tetap bisa mengontrol perusahaan dari Toronto. Saya nggak bakal ganggu.”
Sena terpaku. Sejak kapan… dia ngurus jadwal aku?
“Kenapa kamu… atur sampai sedetail itu?”
Dialta mendongakkan kepala sedikit, tatapannya lurus menembus Sena. “Karena kamu istri saya, Arsena.” Suaranya rendah. “Suka atau tidak, hidup kamu ada di bawah tanggung jawab saya. Berapa kali harus saya ingatkan itu?”
Sena membuka mulut, ingin membalas—tapi tidak ada kata yang keluar. Dialta menunduk lagi, memegang koper sambil berkata, “Sekarang pakai baju yang lebih hangat. Saya nggak mau kamu jatuh sakit.” Nada itu dingin, tapi hangatnya merayap diam-diam. “Dan… aku nggak mau ada laki-laki lain lihat kamu pakai begitu.”
Sena membeku. “Dialta—”
“Sudah.” Dialta berjalan melewatinya, membuka pintu kamar. “Ganti. Lalu turun untuk makan malam. Temani saya.”
Pintu tertutup.