11

2134 Words
Koper-koper besar milik Sena sudah terangkat masuk ke dalam bagasi SUV hitam itu. Para maid dan pelayan mansion sibuk menata posisi, memastikan semuanya aman dan tak ada yang tertinggal. Dari tempatnya berdiri di sisi mobil, Dialta hanya melirik sekilas. Tatapan dingin dan datar. Seolah tak peduli padahal setiap detil ia simpan dalam kepala. “Terima kasih. Sudah, cukup.” suaranya tenang, rendah, sopan… namun tak memberi ruang untuk basa-basi. Ia menutup bagasi secara otomatis—gerakan sederhana namun rapi, menunjukkan bahwa sisi perfeksionisnya tak pernah mati. Lalu ia menunggu. Dua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya, punggungnya tegak dan bahunya kokoh. Mata hitamnya melirik ke arah pintu rumah. Dia pasti masih berpamitan ke mami-daddynya… Tak sampai sepuluh detik, pintu itu terbuka. Dan keluarlah Arsena. Dialta sempat mengerjap pelan. Hanya sekali. Tapi itu lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa istrinya berhasil membuatnya hilang fokus sepersekian detik. Selalu seperti ini. Sena berjalan turun dua anak tangga, membawa tas kecil dan clutch tipis. Ia memakai bodysuit renda putih, transparan di bagian lengan dan perut, menonjolkan bentuk tubuh rampingnya, dipadu dengan jeans ketat high-waist yang membingkai kaki jenjangnya. Rambut pirang pendeknya jatuh sedikit di pipi—berantakan cantik, sengaja atau tidak sengaja, Dialta tidak tahu. Yang jelas… mencolok. Terlalu mencolok. Dialta berdecak pendek, nyaris tak terdengar. Wanita ini benar-benar selalu membuatku hilang fokus. Apa dia tidak sadar dengan pakaiannya? Dia sudah memiliki suami. Saat Sena semakin dekat, dengan langkah ringan yang justru membuat pinggangnya bergoyang halus, Dialta langsung membuka pintu mobil. Perhatian dan hal kecil yang selalu keluar dari dirinya tanpa dipikirkan. Reflek begitu saja. Ketika Sena hendak masuk, Dialta otomatis mengangkat tangannya melindungi bagian atas pintu agar kepala istrinya tidak terbentur. Sentuhan kecil pada puncak rambut pirang itu tidak terhindarkan. Dan saat Sena menunduk, bahunya sedikit miring… bodysuit itu naik. Dialta mendekat sedikit—sekadar cukup dekat untuk membisikkan sesuatu. “Tidak adakah lagi pakaianmu yang lebih terbuka, Arsena?” Tentu saja... Sena tidak mendengarnya. Earphone-nya sudah terpasang di satu telinga, tersambung dengan iPad yang ia pegang. Dia hanya lewat begitu saja, masuk ke dalam mobil tanpa mengalihkan pandang. Dialta baru sadar dirinya masih menahan napas. Bagus. Dia sama sekali tak mendengarnya. Percuma Dialta mengomel pagi ini. Sebelum masuk, Dialta mengangguk sopan kepada Mami Kalia dan Daddy Denta yang berdiri di teras. Mengapiri mereka sekali lagi dan mencium punggung tangan kedua mertuanya. “Mami, Daddy. Kami berangkat dulu.” Keduanya membalas dengan senyum lembut. Denta, memeluk dan menepuk pundak menantunya. Dialta masuk, pintu tertutup, dan mobil langsung bergerak. Reksa, asisten pribadinya, duduk di kursi depan, sibuk dengan tablet dan jadwal perjalanan. Suasana di dalam mobil sunyi… kecuali suara Sena. “Aku butuh update stok renda seri E.V-7, tolong kirimkan ke emailku sekarang. Iya… ELVARÉ Atelier harus perbaiki timeline,” ujar Sena melalui earphone, suaranya profesional, nada kerja. Tablet di pangkuannya terbuka dengan beberapa sketsa dan catatan produksi. Dialta melirik. Sena menyandarkan punggungnya pada kursi, kaki disilangkan. Renda putih itu menempel cantik di kulitnya, membuat setiap helaan napasnya terlihat… menggoda dan membuat Dialta diam tercekat. Dialta meraih jas hitamnya, lalu menyodorkannya. Sungguh jika dibiarkan dirinya akan benar-benar hilang fokus. “Pakai jas saya.” Sena tak menoleh. Tak peduli sama sekali. “Tidak. Begini saja, Ini nyaman.” Jawabannya singkat dan datar, menggeleng kecil. Dialta menahan rahangnya agar tidak mengencang. Kalau nyaman bikin kepala suamimu penuh dosa begini, itu namanya bahaya, Sena. Reksa melirik ke kaca spion, membaca gelagat tuannya—lalu menunduk lagi dengan cepat. Tidak mau ikut campur. Sena kembali menatap layar iPad, jemarinya cepat sekali mengetik. Dan di setiap pantulan cahaya layar itu di wajahnya, Dialta baru sadar sesuatu, Istrinya ini… mau tidak mau… selalu tampak memikat. Rambut pendek pirang? Bahaya. Leher jenjang yang tak tertutup? Lebih bahaya. Sikap masa bodonya yang justru membuatnya makin menonjol? Itu… mematikan. Dialta memejam satu detik, menengadahkan kepala ke sandaran kursi sambil mengatur napas. Dan Dialta rasa, perjalanan ini akan jauh lebih panjang dari yang ia bayangka. Bersama wanita yang berstatus sebagai istrinya. Mobil terus melaju, meninggalkan rumah besar keluarga Bramasta. Namun hanya ada dua hal yang memenuhi kepala Dialta, untuk saat ini. Perjalanan hanya memakan waktu 45 menit sebelum SUV hitam mereka memasuki area Bandara Internasional Juanda, Surabaya. Terminal keberangkatan internasional masih pagi—tidak terlalu ramai, tapi cukup banyak eksekutif dan wisatawan premium yang lalu-lalang. Dialta keluar lebih dulu, membuka pintu untuk Sena tanpa diminta. Reksa cepat turun membantu petugas bandara membereskan koper premium milik Sena ke atas troli. Dengan boarding pass khusus bisnis class, mereka diarahkan menuju jalur prioritas. Lebih sepi. Lebih eksklusif. Namun, belum sampai tiga langkah, semua mata sudah tertuju pada Sena. Tidak terang-terangan. Tapi cukup jelas untuk membuat Dialta menegang beberapa detik. Apa yang dia khawatirkan dan apa yang dia pikirkan menjadi nyata sekarang. Hey.. Pemandangan itu hanya milik Dialta seorang. Tidak untuk konsumsi publik. Bodysuit renda putih itu—walaupun elegan—memang… mematikan. Transparannya mencuri perhatian siapa pun yang lewat. Apalagi ketika dipadukan dengan rambut pirang pendek yang berayun setiap kali ia berjalan. Baju haram… Begitu batin Dialta. Siapa pun yang lihat pasti menambah dosa saja. Tanpa aba-aba, Dialta berhenti. Ia menarik napas kecil, lalu melepaskan jas hitamnya dan langsung menyampirkannya ke bahu istrinya dari belakang. Gerakan cepat. Tegas. Posesif yang terbungkus rapi. Sena tersentak pelan dan ikut berhenti. Rambut pirang pendeknya jatuh mengenai pipi ketika ia menoleh ke sisi, menatap suaminya dari balik kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya. “Ngapain?” Nada Sena datar, tapi ada geli samar. Dialta sedikit membungkuk agar wajah mereka sejajar. “Baju harammu membuat semua orang menambah dosa, istriku.” Ucapnya pelan, rendah… dan menyentuh ubun-ubun Sena dengan jemari besarnya. Sentuhannya ringan—hanya mengacak pelan rambut pirang itu. Sena otomatis menunduk, melihat bodysuitnya. Dari sudut pandangnya, tidak ada yang salah. “Biasa saja…” gumamnya lirih, agak menggerutu. Dialta hanya mengangkat sebelah alis, lalu lanjut melangkah. Sena mendengus kecil dan menyusul—meski kini ia membiarkan jas hitam suaminya menggantung di tubuhnya. Dan kini… gantian Dialta yang menjadi pusat perhatian. Kemeja hitamnya digulung sampai siku, menampakkan tato hitam pekat yang mengalir dari lengan kiri sampai ke bawah. Garis rahangnya tegas, bahunya lebar, dan auranya menekan. Orang-orang hanya berani mengintip sekilas. Yah… pasangan ini memang masalah visual hidup, pikir Reksa sambil menggeleng kecil. X-Ray & Lounge. Jalur prioritas membuat proses cepat. Sena sibuk mengutak-atik iPad, meninjau desain ELVARÉ Atelier. Sesekali dia berbicara dengan asistennya melalui earphone. Dialta sesekali melirik. Tidak mengeluh. Tapi memperhatikan. Hingga akhirnya mereka masuk airport lounge premium—ruangan dengan sofa kulit, lampu warm, dan jendela besar menghadap landasan pacu. Sena duduk. Dialta otomatis mengambilkan minuman hangat dan menyodorkannya begitu saja. “Minum dulu,” katanya singkat. Sena hanya mengerling. “Saya nggak pesan.” “Saya yang pesan. Minum.” Reksa menunduk, menahan tawa kecil. Apa ini sisi lain dari taunnya. Tak pernah terlihat dekat dengan wanita. Pernah, tapi Dialta tak seantusias ini. Apa mungkin karena ini istrinya? Mungkin. Ketika panggilan boarding kelas bisnis diumumkan, mereka berdiri. Dan saat masuk pesawat—kabinnya tenang, mewah, hanya beberapa orang—mata-mata itu kembali menuju Sena. Bodysuit itu… walau tertutup jas Dialta… tetap terlihat memikat. Dialta hampir kehilangan kesabaran. Ia menarik tangan Sena sedikit, mendekatkannya, lalu membisik, “At least… kancingkan jasnya.” “Kenapa? Panas.” Sena tetap cuek. “Kalau panas, bilang ke Saya. Bukan ke orang lain yang matamu dengan tidak tau diri.” Nada Dialta rendah. Menekan dan terlalu jujur jika dia tak suka. Sena memutar bola mata pelan. “Dialta… we’re on a plane.” “Exactly.” Dialta menatapnya. Lama. Sena akhirnya mendengkus kecil dan mengancingkan jasnya satu kancing—lebih karena malas berdebat daripada menuruti. Dialta baru bisa bernapas normal. Di dalam pesawat, Mereka duduk bersebelahan. Seat bisnisnya luas—bisa rebah, bisa dibuat seperti mini suite. Sena masih sibuk dengan iPad. Kadang rambut pirangnya jatuh ke wajah, dan Dialta… tanpa sadar… menyingkirkannya perlahan. “Fokus.” Kata Sena tanpa menoleh. “Saya fokus.” Dia menahan bibirnya. “Justru ini masalahnya.” “Masalah ap—” “Kamu.” Rahang Sena menegang kecil. Ia tak tahu harus balas apa, jadi ia memilih menunduk, pura-pura kembali pada pekerjaannya. Perjalanan Toronto ini akan terasa sangat panjang. Disamping mereka harus melakukan transit. Mereka juga harus bersinggungan satu sama lain. Dua orang keras kepala yang memiliki aura berbeda. Pesawat kemudian bergerak menuju landasan. Lampu kabin meredup pelan. Dialta memutar wajah, menatap istrinya yang kini menunduk dengan rambut pirang pendek menutupi sebagian pipi. Dan hanya satu kalimat yang muncul di kepalanya. Bagaimana ia bisa tenang… kalau benda secantik ini duduk di sebelahnya selama berjam-jam? --- Sudah lebih dari lima jam pesawat melayang di udara. Langit di luar gelap, menyisakan kabut tipis yang tampak dari jendela kecil. Suara mesin pesawat menjadi latar monoton. Membuat dengungan di telinga Sena sedikit mengganggu. Beruntung dirinya yang berada di bisnis class dan juga Earphone yang terus tertancap di telinganya. Dan selain itu, Sena… Benar-benar jenuh. Ia menghela napas panjang, bersandar sebentar, lalu mengubah posisi. Lalu mengubah lagi. Begitu seterusnya. Ke kiri dan ke kanan. Tapi tetap saja, jenuh. "Ini lebih lama dari perjalananku ke Swiss…" Ia melirik ke kiri. Dialta duduk begitu tenang, laptop terbuka di atas meja kecil. Kacamata hitamnya sudah diganti dengan kacamata kerja—frame hitam tipis yang membuat wajahnya tampak jauh lebih… intelektual. Fokus. Dingin. Mengintimidasi. Dengan jarinya yang sesekali mengelus lembut bibir bawahnya. Kening yang berkerut tiba-tiba, mungkin ada laporan yang rancu atau tak jelas. Sena mencebik. Laki-laki ini nggak capek apa? Dari tadi kerja terus. Sena berusaha mencari sesuatu untuk menghilangkan rasa jenuhnya. Hingga mungkin lebih baik memanfaatkan fasilitas yang ada di pesawat ini. Ia mengangkat tangan memanggil pramugari yang melintas. “Excuse me, boleh minta kue?” Suaranya lembutnya pelan tapi jelas. Pramugari tersenyum ramah. “Tentu, Miss. Mau cheesecake atau chocolate tart?” “Cheesecake aja.” Sena memberikan senyuman manisnya. Dialta mendengar setiap ucapan wanita yang ada di sampingnya. Selalu membuatnya tertarik. Ia melirik sedikit ke arah Sena… tapi tidak bicara apa-apa. Hanya kembali mengetik. Sena semakin jengah. Bosan ini, sangat-sangat bosan. Harus apa pun, Sena bingung. Beberapa menit kemudian cheesecake datang, disajikan dengan piring kecil dan garpu mungil. Sena makan perlahan… bergarap kue ini tak habis dengan cepat. Tapi nyatanya, dan itu membuatnya kembali pada kejenuhannya. Dengan sadar, ujung jari halusnya menarik lengan kemeja Dialta. Mencari teman untuk sekedar menemaninya. Menekan egonya untuk mengajak bicara pada pria di sisinya. Dialta berhenti mengetik. Menoleh sesaat. Netra tajamnya turun ke jari Sena yang masih menyapit kain kemeja hitamnya. Dan netra itu kembali ke mata abu milik Sena. “Masih lama kah?” bisik Sena yang sudah lebih dulu mengalihkan pandang. Dialta menaikkan satu alis. “Kenapa?” “Lama banget.” Nada Sena benar-benar seperti anak kecil yang sedang dilanda kebosan. Dialta merapatkan bibir, menahan senyum. “Tidak pernah terbang?” “Saya ke Swiss. Tapi kalau ke Toronto… baru pertama kali.” Dialta mengangguk tipis. “Ngapain ke Swiss?” “Butikku ada beberapa di sana. Eh— ngapain tanya?” Sena memelotot. Baru sadar mereka tak sedekat itu untuk saling mengobrol hal pribadi. Dialta membalas dengan santai, “Ngapain kamu jelasin ke saya.” “Kamu kan nanya,” sungut Sena dengan bibir maju beberapa milimeter. Dialta hampir—hampir—tersenyum. Tapi ia menahannya sekali lagi dengan melipat bibir ke dalam, lebih dalam. “Lanjut tidur.” katanya dingin. “Susah,” sahut Sena cepat. “Usahakan.” nada datarnya penuh perintah. Sena mendengus keras dan kembali mengenakan earphone. Musik mengalun, membuatnya sedikit rileks. Hanya beberapa menit kemudian, kepala Sena mulai terangguk-angguk. Posisi duduknya tidak nyaman. Bahunya miring. Lehernya akan sakit kalau dibiarkan. Dialta menghela napas pelan. Dengan satu gerakan lembut—bertolak belakang dengan wajah dinginnya—dia menggeser tubuhnya lebih dekat dan meraih kepala Sena pelan. “Sini.” Tanpa membangunkan, Dialta menarik kepala istrinya dan meletakkannya di lengannya, tepat di lipatan siku—seperti bantal hangat alami. Sena bergumam kecil, tidak sadar, tapi tubuhnya mengikuti arah Dialta membawanya. Kepalanya menempel nyaman. Bahkan ia sudah lebih dalam menduselkan kepalanya. Bibirnya terkatup rapi. d**a kecilnya naik turun perlahan. Dialta menatap wajah itu beberapa detik. Lalu… ia mengusap pelipis Sena dengan ibu jarinya. Gerakan itu lembut. Halus. Tidak terlihat oleh siapa pun. Yang tau hanya dirinya dan sang pencipta. Kemudian ia kembali ke laptopnya. Satu tangan mengetik. Satu tangan lagi… terkadang memberi sentuhan pada kepala Sena. Sesekali, ia mengelus rambut pirang pendek itu atau menepuk lembut pipinya—gerakan kecil yang hampir seperti refleks. Dan setiap kali Sena meringkuk sedikit, Dialta menyesuaikan posisi lengannya agar lebih nyaman. Dingin? Ya, wajahnya tetap seperti itu. Tapi intensitas perhatiannya… Nyaris memabukkan. Pesawat melaju stabil, suara mesin tetap berdengung. Sena masih tertidur nyenyak. Dan Dialta… Untuk pertama kalinya sejak lima jam lalu… memilih menutup laptopnya dengan pelan. Pandangannya jatuh pada istrinya. Lama, mencoba mencerna. Bagaimana jika suatu saat nanti saya jatuh dalam pesonamu Arsena?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD