12

1742 Words
Mansion utama Bramasta sore itu sunyi. Hanya suara burung dari taman belakang dan langkah para pelayan yang sesekali lewat. Pintu utama terbuka keras. Menampilkan putra sulung dari keluarga Denta Attala. Sean melangkah cepat, wajahnya tegang, matanya gelap menahan emosi. Jas navy-nya belum sempat dilepas. Nafasnya masih tersengal—pertanda ia baru saja mengendarai mobil dalam keadaan emosi. “Daddy!” Denta dan Kalia yang sedang duduk di ruang keluarga terkejut melihat putra sulung mereka datang tanpa kabar. “Sean…” Kalia berdiri, mendekati putranya dengan tatapan khawatir. “Ada apa nak? Kamu kelihatan—” “Di mana Daddy?” potong Sean dingin, memotong kata-kata ibunya. Denta bangkit dari sofa. “Daddy di sini. Ada apa?” Sean menatapnya tajam. “Di mana Sena?” Denta menghela napas panjang. Ia tahu pertanyaan ini akan muncul cepat atau lambat. “Sena sudah berangkat dengan suaminya.” “SUAMINYA?!” Suara Sean menggema keras di seluruh ruangan. Kalia refleks memegang lengan putranya. “Sean... tenang dulu, Nak—” Sean menepis lembut, tapi tetap terlihat marah. “Daddy membiarkan Sena pergi dengan dia? Dengan laki-laki itu? Dengan orang yang hampir membunuhku. Apa Daddy lupa?” Wajah Denta menegang—bukan karena marah, tapi karena luka lama yang ia pikir sudah mereda kembali robek. Yang ia pikir putra sulungnya akan mulai menerima tapi nyatanya tidak semudah itu. "Bagaimana bisa Daddy mempercayakan adik kecilku dengan seorang pembunuh?" Lanjut Sean. “Dialta bukan pembunuh,” ucap Denta tegas namun tenang. “Dia secara sah sudah berstatus suami adikmu.” Sean tertawa. Bukan tawa bahagia. Namun tawa getir yang Sean perlihatkan. Tawa seseorang yang baru saja merasa dikhianati. “Bagus…” gumamnya, bibirnya melengkung sinis. “Sekarang Daddy bahkan membela dia? Orang yang membuatku koma malam itu? Dan sekarang Daddy membiarkan adikku pergi dengannya?” Calla—yang berdiri tak jauh dari pintu—melangkah masuk. Ia baru selesai rapat via telepon di mobil milik suaminya. Lalu menyusulnya masuk dan mendengar suara tinggi Sean. “Sean… sayang…” Ia mendekat, mencoba menyentuh lengan suaminya. Sean melirik ke arahnya. Dengan tatapan yang mendadak dingin. Membuatnya mengernyit bingung. Ada apa sengan suaminya ini? Sepertinya tadi Sean tak sedingin ini meskipun marah. “Jangan ikut campur dulu, Calla.” Calla terdiam. Ucapan itu seperti tamparan. Jujur saja, suaminya tak pernah menaikkan nada seperti ini. Kalia langsung menoleh pada Sean. “Nak! Jangan bicara seperti itu pada istrimu!” Sean mengeraskan rahang. “Ma… aku nggak bermaksud begitu. Tapi aku—” Ia memejam mata, jelas emosinya memuncak. “Aku cuma nggak habis pikir. Daddy… kenapa?” Denta mendekati putranya. Tak ada tatapan kemarahan atas sikap putranya disana. Yang ada tatapan lembut dan tatapan yang mencoba memberi pengertian. Denta mengerti betul apa yang ditakutkan oleh putra sulungnya ini. “Sean… Daddy minta kamu dengarkan. Apa yang terjadi dulu sudah berlalu Nak, semua sudah digariskan oleh Tuhan.” Suara Denta berat, namun penuh keyakinan. “Dan Dialta… dia menyerahkan dirinya waktu itu. Dia tidak lari. Dia sudah membayarnya.” “Dan itu cukup untuk Daddy memaafkan dia?!” Sean menahan suaranya agar tidak pecah. “Dia saat ini suami Sena, suami dari adikmu.” Denta berkata tegas. Perkataan yang entah sudah berapa kali beliau ucapkan. “Sesuatu yang tidak bisa kamu ubah lagi, Nak.” “Jadi sekarang Daddy lebih pilih dia daripada aku?” Suara Sean pecah—bukan karena marah… tapi terluka. Sangat. Entahlah, Sean sendiri seakan bingung. Dirinya yang merasakan sendiri bagaimana dirinya yang terbaring tak berdaya. Dan itu disebabkan orang lain yang saat ini menjadi suami dari adiknya. Kalia langsung memeluk putranya dari samping. “Tidak begitu, Nak… Kamu tetap anak pertama Mommy dan Daddy. Tidak ada yang menggantikanmu.” Sean menggeleng, menahan mata yang mulai berkaca. “Kalau begitu… kenapa Daddy percayakan Sena pda dia? Kenapa Daddy izinkan Sena ikut? Dialta itu… berbahaya. Daddy tahu itu.” Calla, yang sejak tadi diam, akhirnya maju lagi. Suara lembutnya pecah sedikit. “Mas… udah ya, aku yakin Dialta nggak akan macem-macem sama Sena. Mereka udah dalam ikatan suci." Ia berhenti sebentar—wajah Sean langsung berubah menegang. “Semua orang pasti punya kesalahan di masa lalu. Begitu juga dengan Dialta. Aku yakin dia sekarang sudah berubah, Mas." “Calla.” Sean menatapnya tajam. “Berarti kamu… membela dia juga?” Calla tercekat. “Aku bukan membela… aku hanya mengatakan jika Dialta nggak akan menyakiti Sena. Dia bukan—” “Kamu tahu apa tentang dia?” Sean memotong, tatapannya penuh luka. “Laki-laki itu bikin aku koma. Kamu tau itu Callana. Ahh... Aku lupa jika kau dan dia pernah dekat bukan?" Suasana ruangan menegang. Hening setelah terlontarnya perkataan yang menyakiti hati Callana. Hey, apa-apaan ini. Callana tidak seperti itu. Dialta hanya teman kampus. Bukan seperti apa yang diucapkan oleh suaminya ini. Suara tamparan itu menggema keras di dalam ruang utama mansion Bramasta. Plak! Semua orang terperanjat. Waktu seolah berhenti sesaat. Callana Bayanaka Kumala—yang selama ini dikenal lembut, penurut, dan selalu menjaga nada bicara—berdiri di depan suaminya dengan d**a naik turun menahan emosi. Matanya memerah, bukan karena marah saja, tapi karena patah. “Calla…” Kalia menutup mulutnya, tak percaya. Denta mengerjap, antara marah dan sedih melihat putra sulungnya melampaui batas. Sean tercekat. Tatapannya yang tadi tajam kini goyah. Pipi kirinya memerah bekas tamparan, namun rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan hantaman moral yang baru ia berikan pada istrinya. Sean tersadar. Dia melampaui batas. Bodoh Sean. Kau bodoh. Calla menegakkan tubuhnya. Suaranya dingin—dingin yang menusuk. “Kalau kamu berpikir aku akan diam setelah kamu bicara sembarangan seperti ini… kamu salah besar, Mas.” Sean membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar. “Kamu tuduh aku membela Dialta? Kamu tuduh aku punya masa lalu yang mengotori pernikahan ini?” Calla melanjutkan, suaranya berat menahan isak, “Kalau iya, katakan saja, Mas. Katakan kalau kamu pikir aku ini perempuan yang tidak bisa dipercaya.” “Bukan begitu—” Calla mengangkat tangan. “Jangan. Jangan tambah lukai aku dengan alasanmu.” Hening lagi. Sepi yang penuh ketegangan. Denta memandang Sean tajam, nada kecewa jelas terpampang di mata seorang ayah. “Sean, apa pun sakit yang kamu rasakan, kamu tidak punya hak merendahkan istrimu begitu.” Kalia mengangguk, suara lirih tapi tegas, “Calla anak baik. Dia tidak pantas menerima ucapan seperti itu. Apa kau tau pengorbanan istrimu saat kau terbaring Koma Arsean. Mami tidak pernah mengajarkanmu untuk merendahkan seseorang” ucapnya dengan penekanan di ujung kalimat. Sean menggeram pelan—lebih ke arah dirinya sendiri. “Aku… aku hanya khawatir. Sena adik aku, Mi. Daddy. Kalian tahu sendiri dia masih belum stabil setelah—" “Setelah Dialta menjadi suami untuk menggantikan sahabat bajinganmu itu?” Calla memotong, kali ini suaranya lebih getir. “Iya. Kami tahu. Semua orang tahu. Tapi jangan kamu merendahkan semua orang hanya karena rasa sakitmu dulu, Mas." “Calla—" “Apa?” Calla tersenyum miris. “Apa kamu lupa, bahwa kamu pun pernah berbuat slah padaku." Sean menegang. Tatapannya membeku. “Maksud kamu apa?” suaranya serak. Calla melangkah lebih dekat. “Pada hari pernikahan kita, kamu bahkan mengabaikanku. Hingga kecelakaan itu terjadi. Lalu sekarang apa Arsean Elvarendra?” Wajah Sean memucat. Kalia memejamkan mata. Denta mengusap pelipisnya. Calla menatap suaminya, tak berkedip.“Kalau mau ngomong soal kesalahan masa lalu… kamu bukan pengecualian, Mas.” Sean tak sanggup membantah. “Dan satu lagi,” Calla mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah namun menusuk, “Semua orang bisa berubah. Dialta pun sama. Kamu pikir cuma kamu yang boleh berubah jadi lebih baik? Kamu pikir cuma kamu yang punya kesempatan itu di hadapan Tuhan?” Sean terpaku, tak tahu harus marah, sedih, atau menyesal. Calla menarik napas panjang, menahan air mata. “Tapi yang paling bikin aku sakit… adalah kenyataan bahwa suamiku sendiri tidak percaya sama kata-kataku. Sama integritasku.” Itu kalimat yang menghantam Sean paling keras. Ia menunduk. “Calla… Maafkan Mas, sayang.” Calla menggeleng halus. “Aku butuh udara, Mas. Aku butuh waras sebelum kamu lempar tuduhan lain.” Ia kemudian menoleh pada Kalia dan Denta. “Daddy, Mommy… ayo. Kita pergi dari sini.” Kalia otomatis meraih tangan menantunya, memandang wajah putra sulungnya dengan marah. "Pikirkan apa yang telah kamu lakukan, Nak." Denta berdiri, mendekat ke Sean. “Nanti kita bicara. Bukan sekarang. Kamu terlalu terbawa emosi.” Tanpa berkata apa pun lagi, Denta merangkul bahu istrinya dan menuntun Kalia serta Calla keluar ruangan. Sean hanya bisa berdiri di tempat. Tercengang. Napasnya naik turun. Matanya kosong. Ia baru sadar... Kata-katanya barusan bukan hanya melukai Calla. Ia hampir menghancurkan kepercayaan istrinya. Ketika pintu ditutup, barulah lutut Sean melemas, dan ia jatuh duduk di sofa. Tangannya menutupi wajah. Suara lirihnya pecah dalam ruangan yang sudah sepi, “…Calla… maaf… sayang” Namun yang ia lakukan terlalu menyakitkan, bahkan untuk seorang wanita selembut Calla. Dan Sean tahu—ia sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dendam terhadap orang yang saat ini berusaha menjadi lebih baik untuk keluarga barunya. --- Kelopak mata Sena bergerak, lalu terbuka perlahan. Cahaya kabin membuatnya menyipit. Entah berapa lama dia tertidur. Kebosanan yang membuatnya terlelap. “…huh?” Ia menoleh ke kanan, dan mendapati suaminya duduk tegap dengan iPad di tangan. Masih saja bekerja. Apa nggak berasap itu kepala? Sedangkan di dalam Pesawat… sepi. Benar-benar sepi. Tak ada satu penumpang pun. Bahkan Reksa, asisten dari sang suami pun sudah tak ada di sana. Di tempatnya duduk. Sena langsung duduk tegak. “Kita… kita udah landing?? Kenapa nggak bangunin saya sih?!” Dialta hanya menggoyangkan kepala sedikit. Datar. “Tertidur terlalu pulas.” “Itu bukan alasan! Semua orang udah pergi! Kamu sengaja ya?!” “Apa untungnya buat saya?” Dialta berdiri sambil meraih tas laptopnya. “Ayo turun.” Sena berdiri sambil cemberut. Wajah bantalnya jelas, tapi cantiknya tetap tak hilang. “Ya bangunin aja. Masa dibiarin tidur sampai sepi gini. Sekalian aja diar dibawa balik ke indoneaia gitu.” "Kenapa nggak bilang dari tadi?” Dialta berjalan duluan ke pintu pesawat, lalu menoleh. "Biar saya tinggalin kamu.” Sena bengong sepersekian detik. “…Cih.” Ingin sekali rasanya Sena menggeplak kepala suaminya. Tapi masih ingat dosa Sena ini. Greget aja liat pria dingin, lempeng di depannya ini. Sena pun mengikutinya sambil menggerutu, “Tapi harusnya kamu cubit kek, goyangin kek. Bukan cuma duduk aja kayak patung.” Dialta menoleh sebentar. “Kalau saya cubit, kamu marah. Kalau saya goyangin, kamu teriak. Jadi saya pilih aman.” Sena memutar bola mata. “Terserah!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD