13

1361 Words
Suara lembut dari speaker kabin menggema. “Ladies and gentlemen, we have just landed at Toronto Pearson International Airport. Please remain seated until the seatbelt sign is turned off.” “Hadirin sekalian, kita baru saja mendarat di Bandara Internasional Toronto Pearson. Mohon tetap duduk hingga tanda sabuk pengaman dimatikan.” Lampu kabin menyala. Satu per satu penumpang bangkit untuk mengambil barang bawaan mereka yang tersimpan di kabin atas. Dialta menutup laptopnya perlahan. Gerakannya tenang, tak terburu-buru—khas seorang pria yang terbiasa memegang kendali dengan pikiran dinginnya. Ia menoleh ke samping. Sena masih terlelap. Rambut pirangnya berantakan lucu, pipinya memerah, bibirnya sedikit membuka karena tidur terlalu nyenyak. Dialta mendesis pelan. Mengingat istrinya berjam-jam membuat lengannya menjadi bantal. Dan tau bukan apa yang dirasa sekarang. Kebas. Reksa mendekat sambil membawa tablet data imigrasi. “Tuan, kita harus bergerak kalau mau menghindari antrian panjang.” Dialta hanya menatap Sena dalam diam. “Siapkan semuanya. Saya turun nanti.” Reksa mengangguk cepat. “Baik, Tuan.” Tak lama kemudian, pramugari dengan elegan mendekat dengan senyum profesional. “Sir, do you need assistance waking her up?” (Tuan, apakah Anda membutuhkan bantuan untuk membangunkan istri Anda) Dialta menggeleng datar. “Just give me a minute.” (Beri saya waktu satu menit saja.) Pramugari itu tersenyum mengerti dan mundur dengan sopan. Bahkan ia pun bisa membaca — entah hubungan macam apa mereka berdua, laki-laki ini tak akan membiarkan orang lain menyentuh perempuan itu. Dialta menatap lagi wajah Sena. Geram… tapi gemas. Kesal… tapi menenagkan. Ia akhirnya berfikir untuk membangunkan sang istri dengan menyentuh perlahan pipi itu. “Bangun, Arsena.” Tidak ada respon. Sena hanya menggeliat kecil dan memeluk selimut pesawat lebih erat. Dialta mengembuskan napas panjang. “Tertidur seperti anak kecil saja,” gumamnya lirih. Ia menyentuh pundaknya lagi—sedikit lebih tegas. “Sena. Bangun.” Masih tidak bangun. Dialta akhirnya memutuskan menunggu. Hanya itu. Diam, tapi tetap duduk di sampingnya. Dengan sabar. Tanpa suara. Sampai seluruh pesawat benar-benar kosong. --- Dialta berdiri di depan pintu pesawat, menunggu Sena menyusul dirinya. Begitu Sena agak kesulitan menuruni tangga kecil kabin, Dialta otomatis meraih pinggangnya. Gerakannya refleks. Dingin… tapi protektif. Sena tertegun. “Bisa sendiri.” “Tidak terlihat seperti itu.” Dialta melepasnya setelah memastikan istrinya bisa berdiri dengan tegak. “Aku bisa jalan.” “Bagus.” Dialta melangkah lagi. Sena mendengus keras-keras. “Dingin banget sih kamu!” “Tasmu berat. Kasih saya.” Dialta mengambil tasnya tanpa menunggu izin. “H—hey! Bilang dulu!” Dialta menatapnya datar. “Saya sudah bilang kan tadi?" Sena terdiam. Ya, benar sih. “Lagipula…” Dialta menambahkan sambil berjalan, “Kamu istri saya, Arsena. Jadi wajar bukan saya bersikp sebagai suami?” Kalimat itu sukses membuat langkah Sena terhenti sepersekian detik. Bukan karena romantis atau perkataan manis. Tapi enrah kenapa ada sesuatu yang mampu membuat d**a tersentak. Langkah mereka sudah membawa mereka ke bagian lain dari bandara. Terlihat, Reksa sudah menunggu dengan paspor dan bagasi prioritas. “Semua sudah siap, Pak. Kita bisa langsung menuju pemeriksaan imigrasi.” Sena menguap panjang sambil merapikan rambutnya yang kusut. “Lain kali bangunin aku beneran. Jangan cuma duduk nontonin aku tidur.” Dialta menatapnya sekilas. Masih saja di bahas. Apa setiap wanita seperti ini? “Saya tidak menontonmu tidur." Sena memicing curiga. “Terus apa?” Dialta menatap lurus ke depan, tidak menjawab. Memilih mengabaikan ocehan istrinya ini. Jujur saja, ucapan Sena mengganggunya sedikit. Hanya sedikit. Dan ada kebenaran yang terselip di sana. Sena mendekat, mengejek, "Kalau kamu diam-diam memperhatikan saya. Bilang aja. Nggak usah bohong gitu." Dialta berhenti. Menatapnya datar. “Jangan mulai, Arsena.” Sena tersenyum puas. Ada kesenangan sendiri saat melihat Dialta emosi seperti ini. Dan sedangkan Dialta ada perasaan lega melihat Sena yang bisa tersenyum, terlepas dari masalah yang dia hadapi beberapa hari ini. Begitu keluar dari bandara, angin Toronto yang bersuhu empat derajat langsung menyergap kulit. Sena merapatkan jas milik dialta yang masih memeluk tubuhnya. Kenapa suaminya tak mengatakan apa-apa tentang cuaca yang ada di Kanada saat ini. Mobil hitam sudah menunggu di drop-off VIP. Reksa membuka pintu belakang untuk mereka. “Tuan, mobil sewaannya sudah siap untuk digunakan selama seminggu,” lapornya. Dialta masuk lebih dulu, lalu menatap Sena yang terpaku di luar, masih menggigil. “…masuk.” “Tau,” gumam Sena ketus sambil masuk. Begitu pintu tertutup, kehangatan heater langsung menyelimuti mereka. Mobil meluncur keluar dari area bandara. "Kok nggak bilang sih kalau musim dingin sekarang?" Getutu Sena pada suaminya. "Kamu nggak tanya." "Terus saya harus tanya dulu gitu? Nggak oeka banget jadi cowok." Dialta hanya diam tanpa menjawab lagi. Dirinya saat ini mulai terbiasa dengan celotehan dan nada protes istrinya. Lucu dan menarik. Ia memilih membuka iPad, sementara Reksa duduk di depan menjelaskan agenda. “Jadwal pertama dimulai pukul tiga sore, Pak. Meeting dengan klien dari sektor perkapalan.” Sena memutar bola mata. “Kita baru nyampe, lho. Baru nyampe. Napas aja belum sempet.” Dialta tidak menoleh. “Kita tidak liburan.” “Iya emang nggak. Tapi ya mbok bernapas dulu. Nggak ngebul itu otak?!” Sena memicing jengah pada pria di smpingnya. “Tidak.” “Astaga.” Sena menenggelamkan diri ke jok. “terus ngapain repot-repot ajak saya segala. Saya di Indonesia juga ada kerjaan Mas... " Semoat terdiam karena sebutan 'Mas' untuk dirinya. Meski tau jika Sena tak akan sadar dengan apa yang diucapkan. “Untuk berada di dekat saya,” jawabnya datar tanpa rasa bersalah, Sena mau marah. Mau banting iPad-nya. Mau lempar bantal leher. “Enak banget ngomongnya. Dipikir saya ini nggak ada kerjaan apa.” Dialta menutup iPadnya sebentar. Menoleh. Menatap Sena pelan-pelan. “Kamu istri saya. Saya tidak akan tinggalkan kamu di Indonesia.” Sena tercekat. Dialta kembali menatap ke depan. Dia selalu begitu. Ucapan dingin tapi efeknya setajam silet. Taukah dia jika ucapannya terkadang mengandung kalimat ambigu? Reksa melanjutkan, “Setelah meeting pertama, ada dinner business. Lokasinya dekat hotel.” Sena langsung memelototi Dialta. “Habis kerja, ntar malem keluar lagi?" “Ya.” “Sendiri?” “Tidak.” “Oh iya sih ada Mas Rek—” Dialta menimpali, “Kamu ikut.” Sena terbelalak. “HAH?! Saya? Kenapa saya ikut?!” Dialta menatapnya tanpa ekspresi. “Supaya saya tidak lupa bahwa saya punya istri.” Reksa di depan terbatuk menahan tawa. Tak menyangka jika atasannya dihadapkan dengan masalah seperti ini. --- Tak lama, mobil mereka sampai di Hotel yang akan mereka tempati. Hotel dengan tinggi menjulang megah. Gaya khas dari negara ini yang tercetak jelas. Lobby-nya luas, dengan chandelier kristal berada di tengah-tengah ruangan yang memantulkan cahaya emas. Petugas hotel menyambut begitu mereka masuk. “Welcome to The Grand Yorke Hotel, Mr. Aryasatya. We hope you had a pleasant flight.” (Selamat datang di Grand Yorke Hotel, Tuan Aryasatya. Kami harap penerbangan Anda menyenangkan.) Dialta mengangguk kecil. “Thank you.” Reksa maju ke front desk, memberikan paspor dan voucher reservasi. “Your room is ready. Here are your keycards.” (Kamar Anda sudah siap. Ini kartu aksesnya.) Reksa menyerahkan dua kartu kepada Dialta. “Tuan, kamar 2903. Tower A, city view, king bed.” Sena langsung tersedak ludah. “King bed??? Kok cuma satu kasur?!” Reksa menatap Sena seperti pertanyaan itu lucu. “Karena… suami istri, Nyonya?” Sena mau protes. Mau bilang kita nggak tidur satu kasur! Tapi Dialta sudah melangkah—mendorong koper, memanggil Sena dengan gerakan dagu. “Sena. Ayo.” Senapun tanpa menjawab mengikuti dan menyusul langkah panjang suaminya. Koprrnya pun sudah berada di tangan Dialta. Note, koper kecil ya... Bukan koper besar. Kalau koper besar sudah dibawakan oleh pegawai hotel tersebut. Mereka pun naik ke dalam lift dengan diam tanpa ada yang bersuara. Suasana sunyi menyelimuti mereka. Sena masih memeluk jas dari suaminya. “Kamu sengaja pilih satu kasur ya?” tuduhnya tiba-tiba. Dialta tidak menatapnya. “Tidak.” “Terus kenapa nggak minta yang twin bed?!” “Untuk apa?” “Ya kan—” “Tenang saja, masih ada sofa bukan?” Sena mengangguk kecil. Rasa lega masuk ke dalam dadanya. Mereka memang bukan pasangan selayaknya. Untu saat ini. Mereka masih memiliki ruang satu sama lain. Tak ingin terjebak dengan apa yang tak pasti. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD