Pintu kamar suite terbuka dengan bunyi klik halus.
Begitu Sena melangkah masuk, matanya langsung terpaku.
Kamar itu… terlalu mewah.
Lantai marmer berkilau krem-gold memantulkan cahaya lampu hangat. Langit-langitnya dihiasi panel bertekstur kayu premium dengan lampu indirect yang lembut. Di sisi kanan, ranjang king size dengan linen putih tebal berdiri kokoh, ditata sempurna seolah baru dipersiapkan untuk pengantin baru. Ada bangku empuk di ujung ranjang, dan seperangkat handuk rapi di atas nampan kayu.
Namun yang paling mencuri perhatian adalah bagian kamar mandi—yang tanpa sekat penuh. Satu bathtub besar berdiri artistik di dekat area tidur, dengan partisi kaca dan potongan mozaik metalik yang transparan separuh. Interiornya mewah… tapi privasinya jelas meragukan.
Sena membelalakkan mata. “OH. MY. GOD.”
Dialta, yang sudah masuk terlebih dahulu, hanya meletakkan tas kerjanya di meja panjang dekat jendela, sama sekali tidak peduli dengan reaksi istrinya.
Sena menunjuk bathtub itu. “Itu… itu bathtub-nya NYATU sama kamar?!”
Dialta menoleh sekilas, lalu kembali memeriksa dokumen di iPad-nya. “Ya.”
Sena mendekat, wajahnya campuran syok dan panik. “Dialta… kok bisa? Saya harus mandi di situ? Tanpa pintu? Tanpa tembok? Terus maksudnya saya harus mandi di depan kamu gitu?"
Dialta menutup iPadnya pelan, menatap Sena dengan ekspresi paling datar sedunia. “Tidak.”
“Ha?”
“Saya tidak tertarik melihat kamu mandi.”
Sena langsung terdiam sepersekian detik. Bukan karena kesal—tapi karena merasa tertantang. Ya, sudah dua kali suaminya mengatakan jika dirinya tak tertarik dengn tubuhnya. Apa dia bercanda? Seorang Arsena Elvarendra Bramasta. Dengan body-nya yang tak main-main. Tumbuh dengan sempurna di bagian yang seharusnya. Meski memang hanya kurang di tinggi badan tapi, harus gitu bicara seperti ini?
“Nggak tertarik?” ulangnya, mengangkat alis.
“Tidak.”
“Dua kali lo kamu ngomong gitu,”
Dialta kembali membalik halaman dokumen di layar iPad. “Karena itu kenyataannya.”
Sena mendecak pelan. “Iya, iya. Kita lihat saja nanti.”
“Tidak ada yang perlu dilihat.”
“DIALTA, SUMPAH YA—”
Dialta berjalan melewatinya begitu saja, tanpa memberi ruang, membuat Sena harus miring setengah tubuh agar tidak tertabrak. Aroma parfum maskulin Dialta lewat begitu cepat, membuat Sena justru makin kesal karena laki-laki itu semerbak dingin dan mahal.
Melihat suaminya yang lempeng seperti papan triplek. Sena memilih menjatuhkan diri di ranjang empuk. Merasakan ranjang yang memantul lembut, membuatnya nyaris memejamkan mata karena capek perjalanan.
Dialta merapikan kerah kemejanya di depan cermin, memasang jam tangan hitam tipis. Gerakan halus yang mampu membuat Sena terdiam sesaat memperhatikan suaminya.
“Kamu ganti baju. Istirahat.” Suara baritonnya memecah keheningan.
Sena menegakkan tubuh. “Kamu sendiri, nggak istirahat? Masa langsung kerja?!”
“Meeting dua jam lagi.”
“You’re unbelievable,” gumam Sena.
Dialta menoleh sebentar. “Thank you.”
“Itu bukan pujian!”
“Untuk saya, iya.”
Sena menahan diri untuk tidak melempar bantal ke wajah suaminya yang siapnya tampan jika di perhatikan cukup lama.
Dialta mengambil coat hitam panjangnya. “Jika kamu bosan, kamu boleh keluar kamar.”
Sena langsung bangkit. “BOLEH?!”
“Ya.”
“Terserah mau ke mana?”
“Tidak.”
Sena mendengus. “Nah kan.”
“Jangan jauh-jauh,” lanjut Dialta tenang. “Karena kita ada dinner malam ini.”
“Dinner bisnis.” Sena menirukan suara datarnya. “Saya tahu.”
“Bagus.”
Sena berdecak, melipat tangan di depan d**a. “Saya bukan anak kecil yang harus di awasi. Saya tau arah kok."
Dialta mengambil kunci kamar dan dompetnya. “Saya hanya memastikan kamu aman.” Suara itu rendah. Tapi cukup untuk membuat Sena menelan saliva.
Dialta berjalan ke pintu, karena sang asisten yang sepertinya sudah menunggunya di luar. Sebelum ia benar-benar keluar, Dialta menoleh sekali lagi. “Sena.”
“Hah?”
“Jangan buka pintu untuk orang asing.”
Sena ingin menjawab sinis. Tapi bibirnya malah bergerak sendiri. “Iya.”
Dialta mengangguk kecil. Hanya itu. Lalu pintu menutup pelan.
Klik.
Kamar suite langsung terasa sunyi—dan hangat.
Sena berdiri di tengah ruangan, berkacak pinggan, sekali lagi meneliti setiap sudut kamar yang akan dia tempati selama seminggu dengan suaminya. Meringis geli melihat bathtub yang berada di tengah-tengah ruangan dan tak tertutup. Membuatnya teringa. Suaminya tidak tertarik melihat? Benarkah?
Sena mendengus pelan… lalu tersenyum tipis. “Baiklah, Dialta. Kita lihat nanti siapa yang duluan jatuh.”
---
Dialta duduk di kursi belakang, jasnya sudah rapi, dasi gelap terikat sempurna. Jari-jarinya mengetuk pelan permukaan pahanya, sesuatu yang hanya ia lakukan ketika pikirannya tidak sepenuhnya tenang. Saat ini dia ada dalam perjalanan untuk menghadiri pertemuan.
Reksa, duduk sebagai pengemudi selain menjadi aisiten Dialta, sempat melirik lewat kaca spion.
“Tuan… apa ada masalah?” ujarnya hati-hati.
Dialta menghela napas. “Dia baru pertama di luar negeri dengan status… istri saya. Saya tidak mau ada hal bodoh terjadi.”
“Sudah ada tiga orang untuk menjaga Nyonya, Tuan,” jawab Reksa cepat. “Seperti yang Tuan perintahkan.”
Dialta mengangguk tipis, bukan lega—lebih seperti memastikan rencana cadangan yang menumpuk di kepalanya. “Baik.”
Hening sebentar. Hanya suara kota Toronto yang lewat dari luar jendela. “Untuk Sena, tanyakan lagi. Pastikan tidak ada hal yang terlewat. Gangguan sekecil apa pun, lapor langsung ke saya.”
“Baik, Tuan.”
Dialta menatap keluar jendela, tapi bukan gedung tinggi yang ia lihat—melainkan bayangan Sena selama beberapa hari ini bersama dengannya. Kehidupannya yang berubah sekaligus. Meski ternyata tak terlalu buruk, dan sedikit berwarna untuknya. Walaupun tanggung jawab dan tekanan semakin menghimpitnya.
“…Apa dia masih ngomel?” gumamnya sendiri.
Reksa mengernyit. Dirinya yang tak tau apa-apa. Tapi bisa ditebak apa saja yang terjdi dengan atasannya ini. Tetlebih sikap bar-bar dari istri Tuannya. “apa ada masalah dengan fasilitas hotel, Tuan?" mencoba menebak. Karena memang itu yang membuat istri atasannya ini protes.
Dialta hanya mengembuskan napas pelan. Mengingat apa yang mereka perdebatkan tadi. Setengah sebal dengan grutuan dan suara istrinya, namun ada kehangatan tersendiri yang tak ingin ia akui.
Mobil masih terus melaju membelah keramaian kota ini. Dengan Dialta yang masih menatap Ipad-nya. Sudah mulai fokus dengan pekerjaan namun dia teringat akan satu hal.
“Apa ada kabar tentan Andro?”
Reksa langsung menegang di tempatnya. “Belum ada jejak, Tuan.”
Dialta menoleh, tatapannya mendingin. “Belum ada… sama sekali?”
“Tim kita sudah cek rumahnya, apartemennya, kantor, semua jalur keluar kota dan keluarganya pun juga tak tahu pria itu kabur ke mana."
Dialta mengeraskan rahang. “Dia mencoba bermain dengan keluarga Bramasta hingga membuatku terseret."
“Saya kan terus mencarinya, Tuan,” jawab Reksa mantap.
Dialta menyandarkan punggung, mata menatap lurus ke depan. "Memang itu yang seharusnya kamu lakukan, bukan?”
Reksa menelan ludah. “Baik, Tuan.”
Dialta mendengus tajam, setengah muak setengah frustrasi. “Keberanian dari mana memilih kabur di hari pernikahannya. Lalu saya harus maju sebagai pengantin pria. Hal yang sangat ingin saya hindari. Tapi nyatanya saat ini saya harus berhubungan langsung."
Reksa hanya bisa terdiam di tempatnya. Tak berani berkomentar apa-apa. Karena ini sudah menyangkut ranah pribadi dari atasannya.
Dialta mengusap pelipis. “Beruntung, Sena tak berbuat bodoh setelah di tinggal seperti itu."
Reksa kembali melihat ke spion. “Tuan, apa anda menghkawatirkan Nyonya?"
Dialta menatapnya dengan tatapan datar khas dirinya. “Saya peduli pada semua aset yang menjadi tanggung jawab saya.”
“Termasuk istri?”
Dialta diam, mencerna pertanyaan yang terlondar dari bibir sang asisiten. Satu detik. Dua detik. Lalu ia menjawab tanpa ekspresi. “Dia bukan prioritas emosional saya, Reksa. Jangan salah tafsir.”
“Tapi Tuan perintahkan penjagaan tiga lapis.”
“Karena kalau sedikit saja ada lecet di tubuhnya,” Dialta berkata pelan, dingin, “kakak kembar Sena akan datang untuk membunuhku, dan saya tidak punya waktu menghadapi dua Bramasta sekaligus.”
“Jadi… demi efisiensi?” tanya Reksa menahan senyum.
Dialta menutup mata sebentar. “Diam, Rek.”
Reksa langsung lurus kembali, walau ia jelas menahan tawa. “Siap, Tuan.”
---