bc

DINIKAHI ANAK JURAGAN

book_age16+
347
FOLLOW
2.0K
READ
HE
love after marriage
boss
stepfather
drama
bxg
assistant
like
intro-logo
Blurb

Demi membungkam hinaan keluarga besarnya, Riana rela menikah dengan anak majikannya. Lelaki yang konon mantan pemabuk, penjudi dan sempat terjerumus pergaulan bebas. Bagaimana kisah Riana selanjutnya?

chap-preview
Free preview
HINAAN
DINIKAHI ANAK JURAGAN BAB 1 "Sisa makanannya kasih ke Lastri saja, Nur. Kasihan dia dan dua anaknya. Mungkin bisa buat makan malam. Aku yakin mereka sering kelaparan tengah malam karena nggak ada makanan di kontrakan. Kalau kita 'kan sudah biasa makan kenyang. Jadi, bungkus saja semuanya." Budhe Umayah memberi perintah pada Bi Nurul. Yang diperintah pun manut saja, buru-buru membungkus semua makanan sisa khitanan itu dengan plastik bening lalu memberikannya pada Emak yang masih sibuk cuci piring di dapur. Bi Umayah ada istri Pakde Rudy, kakak satu-satunya Emak yang memiliki usaha bengkel motor dan mobil. Sementara Bi Nurul adalah adik ipar Emak. Dia istri Paklek Gino, juragan lele di kampungku. "Yang ini tinggal kuah-kuahnya aja, Mbak. Masa iya dimasukin sekalian? Apa nggak dibuang saja?" Bi Nurul masih menimbang-nimbang sayur sop di hadapannya. "Masukin aja semuanya. Lumayan itu masih ada sari-sari dagingnya, Nur. Mereka terbiasa makan sama tempe kok, jadi makan begini sudah cukup mewah. Nanti juga bakal habis. Kalau nggak habis, bisa diangetin buat besok. Jadi, jatah masaknya bisa ditabung buat beli rumah. Kasihan 'kan, mereka belum punya rumah sendiri bahkan sampai anak lulus SMA masih betah ngontrak." Budhe Umayah kembali melirik Emak lalu menatapku sekilas. Aku yang kini masih membantu Emak membersihkan dapur. Rasanya begitu sesak, tiap kali melihat Emak dan Bapak begitu diremehkan keluarga besar hanya karena kemiskinan kami. Khususnya karena sampai usiaku delapan belas tahun, Emak dan Bapak masih mengontrak. Budhe Umayah sering bilang jika keluargaku hanya membuat malu saja karena belum bisa mandiri seperti yang lainnya. Sibuk meremehkan, tapi tak mau mengulurkan tangan. Emak dan Bapak memang masih ngontrak hingga saat ini. Sejak dulu mereka memiliki jatah warisan rumah sederhana kakek, tapi sayangnya rumah yang kami tinggali dulu hangus dilalap si jago merah hingga tak bersisa. Akhirnya, tanah bekas rumah pun dijual dan dibagi rata untuk tiga saudara, Pakde Rudy, Emak dan Paklek Gino sekalipun sebenarnya sudah jatah Emak. Namun, lagi-lagi Emak tak ingin ribut dengan dua saudara lelakinya. Lebih baik mengalah daripada ada pertempuran darah, begitu katanya. Hasil penjualan tanah itulah yang digunakan Pakde dan Paklek untuk usaha. Sementara uang yang didapat Emak memang jauh lebih kecil di antara mereka, semua habis untuk biaya hidup dan operasi usus buntu almarhum nenek. "Las, kalau sudah beres ganti halaman belakang ya! Tadi ada beberapa tamu yang makan-makan di sana. Jangan lama-lama soalnya masih ada pekerjaan lain yang menunggu." Emak tak menjawab sepatah katapun, hanya mengangguk lalu buru-buru ke halaman belakang sesuai perintah kakak iparnya. Kedua mataku berkaca melihat Emak yang tak pernah dianggap keluarga. Emak hanya dianggap saudara saat dibutuhkan tenaganya saja. Sering kali kudengar anak-anak budhe dan bibi yang bilang jika keluargaku tak pantas bersanding dengan mereka. Kami yang nelangsa, sementara mereka memiliki segalanya. "Jangan pulang dulu, Las! Kalian pulang terakhir saja sampai semua beres! Nanti aku kasih upah, tenang saja. Lumayan buat bayar kontrakan." Emak mengangguk pelan lalu mengedipkan matanya ke arahku. "Kamu juga, ngapain bengong di situ! Bukannya buru-buru malah melamun. Eh, kamu lihatin Hasbi?" tuduh Budhe tiba-tiba membuat banyak pasang mata menatapku risih. "Sadar diri kamu, Na. Lihatin dia sampai lepas bola matamu pun tak akan membuat dia melirikmu. Kalian berbeda, bagai langit dan bumi. Jadi, jangan mimpi terlalu tinggi!" Aku nyaris membalas tuduhan Budhe, hanya saja lagi-lagi Emak menyikut lenganku. Emak memang selalu mengalah dan tak suka keributan, karena itulah memintaku untuk tetap diam dan fokus dengan pekerjaan yang kupegang. "Sudah, fokus saja sama kerjaanmu. Nggak usah lirik sana sini segala. Ganjen banget jadi perempuan. Buruan beresin dapur. Itu sampah di ruang tamu sama ruang tengah juga masih banyak. Harus buru-buru dibersihkan, takutnya banyak lalat dan jadi sarang penyakit," perintah Budhe Umayah lagi seolah tak memberiku kesempatan untuk istirahat sejenak. "Na! Kamu nggak bude* kan? Diajak ngomong orang tua kok diam saja. Begitu tuh didikan orang yang nggak sekolah!" Budhe Umayah kembali menghina Emak yang memang sekolah dasar saja tak tamat. Menjadi anak satu-satunya perempuan kakek dan nenek, nyatanya tak membuat emak beruntung seperti orang-orang. Emak justru dikekang dan tak dibiarkan bebas menuntut ilmu, bahkan tak diperbolehkan bekerja jauh untuk mencari pengalaman. Kakek dan almarhum nenek justru meminta Emak untuk di rumah dengan segala pekerjaan rumahannya di saat mereka sibuk bekerja. Oleh karena itulah, emak cukup rendah diri di depan kedua iparnya sebab mereka berasal dari kota yang memiliki banyak pengalaman. Sementara Emak hanya tahu soal perdapuran. "Cukup, Budhe. Kalau tak menghinaku dan keluargaku sehari saja, apa akan membuat budhe muntah-muntah? Nggak kan? Kenapa sih terus menghina Emakku. Asal budhe tahu, Emak memang nggak sekolah karena dia mengalah. Dia rela di rumah saja agar kedua saudara lelakinya bisa mengenyam pendidikan meski hanya sampai bangku SMP. Harusnya budhe berterima kasih pada Emak yang rela mengurus semua keperluan rumah di saat kakek dan nenek sibuk ke kerja untuk biaya hidup dan sekolah pakde dan paklek. Ken-- Belum selesai bicara, tangan mulus itu sudah menampar pipiku di depan orang banyak. Sebagian tamu undangan memang belum pulang. Mereka masih menikmati camilan yang disediakan budhe di ruang tengah setelah makan siang usai. Puluhan pasang mata menatapku beberapa saat. Tak ada satu pun yang berniat menolong sebab mereka memang tak ingin berurusan dengan budhe yang cukup disegani di kampung ini. "Tutup mulutmu! Nggak sadar apa kamu, bisa sekolah sampai lulus SMA juga karena aku, budhemu! Kalau nggak aku yang biayain kamu sekolah, nasibmu akan sama seperti Emakmu itu. Bodo*, minim pengalaman dan miskin. Tahu kamu!" sentak Budhe begitu kesal. Emak menarik pergelangan tanganku lalu minta maaf pada Budhe atas kelancanganku, katanya. Dia yang salah, tapi lagi-lagi Emak yang minta maaf dan mengalah. Selalu begitu, entah sampai kapan. Ingin rasanya kukatakan pada semua orang, jika aku sekolahku memang Budhe yang biayai, tapi aku tak ongkang-ongkang kaki. Aku selalu menuruti perintah anak emasnya itu untuk mengerjakan semua tugas-tugasnya. Dia terima beres karena memang malas berpusing ria. Aku juga membantunya mengurus toko ketika pulang sekolah. Bukankah itu lebih dari cukup untuk membiayai sekolahku? "Buruan kerja! Ngelamun terus. Gimana mau punya duit banyak kalau kerjamu cuma melamun!" Budhe Umayah kembali menyentakku. Aku ingin lihat bagaimana reaksi Budhe Umayah, jika mereka tahu aku akan bekerja sebagai asisten pribadi Mas Rama. Dia adalah anak sulung Pak Ginanjar, pengusaha properti sukses di kampung sebelah yang tak sengaja kutolong saat kecelakaan kemarin malam. Pak Ginanjar menjanjikan gaji cukup besar untukku, asal sabar menghadapi anak sulungnya itu. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
94.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook