ANCAMAN

1014 Words
"Man! Nasehati anak sulungnya itu supaya belajar sopan santun. Anak sekolahan kok nggak punya unggah-ungguh. Kaya nggak pernah dididik orang tua saja!" sentak Budhe Umayah yang masih duduk di sofa. Tak selang lama dia mengambil tas jinjing bermerknya yang berharga puluhan juta itu. Bapak yang baru saja masuk rumah setelah membereskan halaman, mendadak terdiam lalu menatapku lekat saat mendengar bentakan Budhe Umayah. Meski hanya dengan menatapku dan tanpa bicara sepatah katapun, aku tahu jika bapak menanyakan kesalahanku kali ini. Aku membisu. Sebenarnya tak ingin melawan bapak. Hanya saja bapak sering memintaku agar lebih tenang dan tak mudah terlibat dalam perdebatan dengan siapapun, apalagi dengan orang yang lebih tua. Buat apa berdebat apalagi dengan Budhe Umayah karena baginya, salah ataupun benar, aku akan tetap dianggap salah. Hasil akhirnya pun sudah bisa ditebak. Bapak akan turun tangan untuk memintaku mengalah dan minta maaf. "Na ...." Emak menggoyang lenganku dengan mata berkaca. "Riana nggak salah, Mak. Ngapain minta maaf segala?" protesku untuk ke sekian kalinya. "Benar, Mak. Kenapa sih kita harus selalu mengaku salah meskipun bukan kita yang salah?" Liana, adikku yang baru menginjak kelas tiga sekolah menengah atas itu pun ikut protes. Seperti biasa, aku dan dia memang sejalan dalam banyak hal. "Mengalah dan minta maaf belum tentu salah kok, Nak. Itu hanya secuil bentuk hormat pada orang yang lebih tua," lirih Emak sembari mengusap lenganku dan Liana yang duduk di sampingku. Kami lesehan di atas karpet, sementara Budhe Umayah dan Sesil duduk di sofa sembari menyilangkan kedua kakinya. Benar-benar seperti ratu dan upik abu,bukan selayaknya saudara. "Harusnya anak budhe itu yang diajari unggah-ungguh, bukan aku dan Liana." Tak menuruti perintah Emak, aku justru semakin membuat Budhe meradang. "Lihat tuh, Man! Kedua anak perempuanmu itu memang nggak punya aturan. Masih ingusan saja sudah belagu, apalagi kalau sudah besar. Masih miskin saja sudah sombong, apalagi kalau punya sedikit harta pasti makin jumawa!" sentak Budhe Umayah lagi. "Maaf ya, Budhe. Kata-kata itu jauh lebih cocok untuk keluarga budhe sendiri." Aku kembali menyahut. Kutarik perlahan tangan Emak, tapi wanita bermata teduh itu justru terisak. Dia tak beranjak dari tempat duduknya dan tetap memintaku untuk minta maaf tanpa kutahu di mana letak salahku. Melihatnya seperti itu, jelas aku tak tega. Mau tak mau, aku pun mengikuti perintahnya untuk minta maaf pada wanita modis itu meski sebenarnya enggan. "Aku minta maaf kalau banyak salah, Budhe." Lirihku mencoba meredam kekesalan dalam d**a. "Kenapa? Takut nggak bisa bayar kontrakan dan nggak bisa makan?" sindir wanita itu lagi. "Nggak usah dibantu kalau masih belagu, Ma." Sesil ikut menimpali. Dia melirikku sinis lalu membuang muka. "Ohya, Na. Jangan pernah menggoda Mas Hasbi ya! Ingat, kamu itu siapa dan dia itu siapa. Dia bakal nikahin aku dua tahun lagi setelah dia lulus kuliah. Jangan jadi perempuan penggoda, sebab aku tak akan melepaskanmu begitu saja kalau sampai Mas Hasbi berpaling dariku apalagi cuma gara-gara kamu!" ancam Sesil entah berapa kalinya. Sejak dulu dia memang terlalu berambisi dengan Mas Hasbi. Kakak tingkatku itu memang memiliki pesona yang di atas rata-rata. Selain tampan, kaya dan ramah, dia juga pintar soal akademik. Pesonanya membuat banyak teman seangkatan bahkan adik ataupun kakak kelas jatuh hati. Mungkin aku pun sama, hanya saja benar kata Sesil, aku cukup tahu diri. Apalagi kedua orang tuanya terang-terangan tak menyukaiku. Karena itu pula aku tak ingin berjuang karena kupikir hanya sia-sia belaka. Bagiku, restu orang tua adalah segalanya. "Ambil nih! Ingat, ajari anakmu sopan santun dan jangan belagu kalau kamu masih butuh duitku!" Budhe menatap tajam pada Emak yang melangkah perlahan sembari sedikit membungkukkan badan saat mengambil amplop putih itu dari atas meja. "Iya, Mbak. Nanti akan kuajari kedua anakku untuk lebih menghormati orang lain, apalagi orang yang lebih tua dari mereka," ujar Emak dengan senyum tipis. Senyum yang terasa begitu dipaksakan. "Sekalian ajari mata anak perempuan bibi itu supaya nggak jelalatan lihat calon suami orang!" tukas Sesil sinis. Tak menjawab, Emak hanya menatapku sesaat. Aku pun menggelengkan kepala sebab tak pernah merasa curi-curi pandang pada laki-laki itu. Justru aku yang sering melihatnya melirik ke arahku meski aku pura-pura tak tahu. "Bi!" sentak Sesil saat melihat Emak diam saja tak membalas perintahnya. "Jangan bentak Emakku!" Liana tak mau kalah. "Apa sih bocah ingusan!" "Ingusan, tapi-- Tak ingin ribut, emak menarik lenganku dan Liana bersamaan setelah pamit pada Budhe dan Pakde yang baru datang setelah mengantar Paklek ke halaman sebelum mereka pulang. Sesil masih saja ngoceh saat aku dan Liana menjauh dari tempat duduknya. Sementara Budhe Umayah terus menenangkan anak emasnya itu agar tak perlu mengkhawatirkan Hasbi. "Hasbi nggak buta, Sayang. Dia tahu mana berlian dan mana kerikil kali. Tenang sajalah, lagipula orang tua Hasbi mana mau punya menantu melarat. Mereka nggak akan setuju." "Aku tahu, Ma. Tapi namanya lelaki, kadang khilaf juga kalau lihat perempuannya terus menggoda." Isak Sesil tanpa kulihat ekspresinya. "Sudah, jangan didengerin." Ibu berujar lirih. "Kamu tenang saja deh. Riana nggak bisa macam-macam. Kalau sampai dia merebut Hasbi dari kamu, mama nggak akan bantu keluarganya lagi. Tahu sendiri kan, selama ini mereka bergantung pada kita? Hasil dari jualan kopi sama cuci setrika berapa sih? Mana cukup buat hidup mereka berempat." Aku masih jelas mendengarnya. Sepertinya Budhe Umayah juga sengaja memperkeras suara agar kami semua mendengar obrolannya. Bapak yang baru mengambil motornya dari halaman belakang hanya menatap kami bergantian. "Ada apalagi?" tanyanya singkat. "Biasalah, Pak. Mak Lampir sama nenek sihir!" sahut Liana yang mendapatkan cubitan Emak. Takut jika dua perempuan itu kembali mendengar ucapan Liana. "Mbak, aku doakan Mbak lekas dapat kerja supaya mereka tak terlalu merendahkan kita," ucap Liana dengan mata berkaca. Aku mengangguk pelan lalu buru-buru mengambil handphone jadulku saat terdengar ada sebuah pesan masuk di sana. [Mbak Riana ya? Maaf ini Yuni. Saya diminta bapak untuk memberi tahu Mbak Riana kalau besok pagi sebelum jam tujuh harus sudah sampai di rumah ya? Ada beberapa hal yang akan bapak jelaskan mengenai Mas Rama] Aku tersenyum tipis saat membaca pesan itu. Waktunya untuk membuktikan pada keluarga besar Emak yang sombong itu jika aku juga bisa sukses tanpa harus terus tunduk, mengalah dan merendahkan harga diri di depan mereka. Lihat saja nanti. Akan kubuat mereka menyesal sudah meremehkan Emak dan Bapakku selama ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD