Holding Pattern for Two

1412 Words
Semua persiapan sudah selesai. Checklist terakhir ditutup, dokumen rapi, dan cabin crew sudah melaporkan kabin siap untuk berangkat. Pesawat perlahan bergerak dari gate, lampu taxiway memantul di badan logam yang berkilau. Nick duduk tegak di kursi kapten, tangannya mantap di throttle. Tania di sisi kanan, fokus pada instrumen, matanya sesekali melirik layar EFB. “Tower, White Seven Eight Three ready for departure,” suara Nick terdengar rendah dan tegas lewat radio. “White Seven Eight Three, cleared for takeoff runway two five right,” balas tower. Throttle maju. Mesin bergemuruh. Pesawat meluncur di landasan, kecepatan meningkat, lalu rotate. Hidung pesawat terangkat, bumi perlahan menjauh. Tania menahan napas sejenak, lalu mengumumkan, “Positive climb.” Nick mengangguk. “Gear up.” Pesawat menembus langit malam, lampu kota Jakarta mengecil di bawah sana. Interaksi dengan tower berlanjut, clearance diberikan, heading ditetapkan. Beberapa menit kemudian, mereka melewati fase krusial, takeoff, initial climb, dan transisi ke ketinggian jelajah. Autopilot aktif, pesawat stabil di cruising altitude. Nick bersandar sedikit, nada suaranya kembali cool. “Now we’re safe above the drama. At least for the next twelve hours.” Tania meliriknya, setengah kesal, setengah lega. Di atas tiga puluh enam ribu kaki, dunia terasa jauh lebih sunyi, tapi ia tahu, badai konflik menunggu di darat. Pintu kokpit terbuka perlahan, suara gesekan ringan terdengar. Rani, sang pramugari senior masuk dengan senyum profesional, nampak terbiasa dengan ritme penerbangan malam. “Captain, First Officer, mau kopi atau teh?” suaranya lembut, tapi cukup jelas untuk menembus dengungan mesin Nick menoleh sekilas. “Black coffee, no sugar.” Tania mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. “Aku teh hangat aja, please.” Rani mencatat cepat di memorinya, lalu menutup pintu kokpit kembali dengan hati-hati. Aroma kopi belum tercium, tapi bayangan hangatnya sudah membuat suasana di flight deck terasa sedikit lebih manusiawi. Beberapa menit kemudian, Rani kembali masuk ke kokpit dengan senyum profesional. Di tangannya, ia membawa secangkir kopi hitam dan teh hangat, lengkap dengan dua potong sandwich yang tersusun rapi di atas tray kecil. “Silakan, Captain. First Officer,” ucapnya singkat sebelum meletakkan minuman dan cemilan itu di tray kokpit. Tanpa berlama-lama, Rani segera berlalu, menutup pintu kokpit dengan hati-hati, lalu kembali melanjutkan tugasnya di kabin penumpang. Aroma kopi perlahan memenuhi ruang sempit itu, memberi jeda kecil di tengah rutinitas malam yang panjang. Sunyi sesaat, sebelum Tania akhirnya nyeletuk. “Pertama, aku mau minta maaf sama kamu. Kedua, aku tahu status kita masih suami istri, tapi tolong kasih aku sedikit waktu buat benar-benar nerima kamu lagi.” Tania memberi jeda sebentar sebelum kembali melanjutkan “Jujur, apa yang Alisa lakukan di hari pemberkatan kita itu nggak bisa aku maafkan. Aku juga masih marah sama kamu, lebih tepatnya, aku belum bisa memaafkan kamu. Karena yang kalian lukai bukan cuma perasaan aku, tapi juga nama besar keluarga Halim.” “Okay,” jawab Nick singkat. “Aku bakal pindah ke apartemen kamu, tapi kita harus tetap beda kamar,” ucap Tania kemudian, nada suaranya tegas namun terkendali. Nick hanya mengangguk mantap, menerima semua syarat yang diajukan Tania tanpa sedikit pun keberatan. “Kamu… kamu iya-iya aja?” tanya Tania, sedikit kaget. “Yep! I agree with all your conditions, asalkan kita nggak cerai,” jawab Nick santai, lalu menyeruput kopi hitam dengan elegan. “Kamu suka sama aku?” Tania langsung menembak cepat. Uhuk! Nick sempat tersedak kecil, tapi segera menggeleng. “Nggak,” jawabnya singkat. Tania mendengus, nada suaranya naik. “Terus? Kamu nggak suka sama aku, kenapa masih mau bertahan di pernikahan ini, Nick kampret!” Umpatannya meluncur tanpa filter, membuat Nick menoleh dengan kening terangkat. “Karena aku tahu kamu suka sama aku,” balas Nick dengan percaya diri, nada cool yang bikin Tania makin panas. Andaikan saja saat ini mereka tidak berada di kokpit pesawat, Tania pasti sudah ngajak gelut Nick tanpa pikir panjang. Tiba-tiba, Udara di dalam kokpit terasa normal, tapi instrumen mulai memberikan tanda. Lampu peringatan panel menyala, dan beberapa indikator EGT naik perlahan. Tania menatap layar EFB, lalu ke jendela samping. Sekejap kemudian, kabin bergetar halus. “Partikel asing terdeteksi… volcanic ash?” gumam Tania, jantungnya berdegup lebih cepat Nick segera meraih interphone, suaranya rendah tapi penuh otoritas. “Jakarta Center, White Seven Eight Three. Kami mendeteksi indikasi abu vulkanik. Request immediate deviation.” Di luar sana, langit malam yang semula jernih mulai tampak kabur. Lapisan abu tipis menyelimuti atmosfer, membuat cahaya lampu kota di bawah terlihat buram. Mesin pesawat terdengar sedikit berbeda, nada gemuruhnya tidak sehalus biasanya. Nick menatap instrumen dengan fokus penuh, sementara Tania sibuk menandai alternatif rute di layar. “Stay sharp, FO,” ucap Nick singkat. “Copy, Captain,” jawab Tania, meski napasnya terasa berat. Pesawat berguncang sekali lagi, kali ini lebih keras. Di ketinggian tiga puluh enam ribu kaki, mereka harus mengambil keputusan cepat, menjauh dari awan abu sebelum situasi berubah jadi krisis. Nick menatap layar instrumen yang mulai menunjukkan anomali kecil. EGT naik, dan beberapa indikator berkedip. “Volcanic ash confirmed,” ucapnya tegas. Tania menelan ludah, tangannya sigap membuka QRH (Quick Reference Handbook). Prosedur abu vulkanik dijalankan Nick kembali menghubungi Center, “Jakarta Center, White Seven Eight Three. Request immediate descent and deviation due to volcanic ash cloud.” Jakarta Center merespons cepat, memberikan clearance untuk turun ke FL240 dan heading baru menjauhi Selat Sunda. Mesin tetap berderu, tapi Nick menjaga throttle stabil, menghindari perubahan mendadak yang bisa memperparah kerusakan. Tania memantau semua parameter, memastikan tidak ada flameout. “Keep monitoring. Kalau ada indikasi kehilangan thrust, kita lakukan restart sesuai checklist,” perintah Nick, nada suaranya tetap tenang meski situasi menegang. Pesawat perlahan menukik, keluar dari lapisan abu. Langit mulai kembali jernih, bintang terlihat lagi di atas horizon. Tania menghela napas panjang. “Gila, Anak Krakatau benar‑benar bikin kita hampir mati gaya.” Nick menoleh, senyum tipis muncul. “Welcome to real aviation, FO. Drama di darat kalah jauh sama drama di udara.” Nick menatap layar instrumen, memastikan semua parameter mesin kembali stabil. EGT perlahan turun ke angka normal, vibrasi mesin tidak lagi melonjak. “Catat semua anomali tadi di logbook. Kita harus laporkan detailnya,” ucap Nick, nada suaranya tetap tenang meski keringat tipis terlihat di pelipisnya. Tania mengangguk cepat, tangannya menulis di flight log: waktu kejadian, posisi koordinat, ketinggian, dan respon mesin. Tak lama kemudian, suara Center kembali terdengar di radio. “White Seven Eight Three, confirm aircraft status. Do you require diversion?” Nick menekan tombol transmisi. “Jakarta Control, engines stable for now. We’ll continue monitoring. Request updated volcanic ash advisory.” Jakarta Center memberikan informasi terbaru dari VAAC (Volcanic Ash Advisory Center) awan abu Anak Krakatau bergerak ke arah barat laut, dengan intensitas sedang. Mereka disarankan untuk tetap di heading baru dan melaporkan setiap perubahan kondisi mesin. Nick menoleh ke Tania. “Kita lanjut sesuai clearance, tapi tetap waspada. Kalau ada indikasi thrust drop, kita langsung minta divert.” Tania menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Copy, Captain. Semua parameter masih aman.” Pesawat kini kembali stabil di FL240, jauh dari lapisan abu. Langit mulai bersih, bintang kembali terlihat jelas. Namun suasana di kokpit masih tegang, mereka tahu, ancaman abu vulkanik bisa muncul lagi kapan saja. Nick meraih cangkir kopinya, menatap cairan hitam yang masih hangat. “Kopi ini rasanya beda setelah hampir ketemu Anak Krakatau.” Tania melirik, setengah kesal, setengah lega. “Drama kamu nggak ada habisnya, Captain.” Nick tak merespon ucapan Tania, pantas menekan tombol PA. Suaranya tenang, stabil, dan tidak tergesa-gesa. “Ladies and gentlemen, this is your captain Nick White speaking. Barusan kami melakukan pengalihan rute dan penurunan ketinggian karena adanya aktivitas vulkanik di area sekitar Selat Sunda. Tindakan ini adalah prosedur standar untuk menjauh dari area yang tidak aman.” Ia memberi jeda kecil, membiarkan kata-katanya terserap. “Saat ini pesawat berada di jalur yang aman, semua sistem berjalan normal, dan kami sudah mendapatkan instruksi terbaru dari Jakarta Control serta VAAC. Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.” Nick menatap parameter mesin sekali lagi sebelum melanjutkan. “Untuk sementara, kami minta semua penumpang tetap memakai sabuk pengaman selama lampu tanda sabuk masih menyala. Cabin crew akan melanjutkan pelayanan setelah kami melewati area ini sepenuhnya.” Nada suaranya diturunkan sedikit, memberi rasa hangat sekaligus otoritas. “Thank you for your cooperation. Sit back, relax, and we’ll keep you updated.” Tania melirik Nick, senyum tipis muncul. “Keren sih Captain,” ucapnya, dengan gaya percaya diri yang sama sekali nggak jaim. Nick mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Itu tugas kapten.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD