Aku Tau

1083 Words
Pagi buta Intan benar-benar sudah berada di bandara bersama Arka, jadwal keberangkatan mereka di ajukan satu jam entah karena apa. Ingin sekali Intan memaki maskapai yang akan ia tumpangi, tapi kantuk masih menguasai dirinya. Bahkan pundak Arka sudah keram karena menompang kepala Intan sejak mereka berangkat menuju bandara. Intan menolak inisiatif Arka membeli makanan, ia tak begitu lapar karena masih terlalu pagi untuk makan. Itulah mengapa mereka hanya duduk di kursi tunggu menunggu jadwal pesawat mereka. Sebenarnya Arka suka saja jika harus berangkat pagi seperti ini, pekerjaannya tak akan terlalu mepet jika dia berangkat lebih pagi. Masalahnya istri kecilnya pasti akan terganggu jam tidurnya. "Kita langsung masuk aja kali ya, Sayang?" tanya Arka entah sudah ke berapa kalinya. "Kan masih dibersihin pesawatnya," jawab Intan tetap memejamkan matanya. "Ya kamu kayaknya masih ngantuk berat gini." Tangan Bima menyematkan poni Intan ke salah satu telinga perempuan itu, liat istri masih ngantuk berat. "Gak apa-apa, kita tunggu aja." Arka mengangguk, kita menarik tubuh Intan untuk ia pangku kepalanya di atas paha Arka. Posisi ini lebih nyaman ketimbang hanya menyenderkan kepalanya di pundak Arka, sekaligus agar pundak Arka kembali pulih dan tak keram lagi. "Kamu nanti langsung pulang aja ya, Sayang. Aku ke kantor dulu, sebentar doang! Nanti kalo udah selesai kerjaannya aku langsung pulang." Arka berucap sambil mengelus-elus kepala Intan. "Heem." Sebenarnya sudah setengah jam mereka menunggu, tapi belum juga ada panggilan untuk penerbangan mereka. Percuma saja berangkat lebih awal jika akhirnya keberangkatan tetap di jam awal. Rasanya ingin marah tentu saja, tapi lagi-lagi Arka akan melarang Intan untuk hal seperti itu. Katanya kurang pantas saja jika Intan melakukan hal itu, kurang anggun katanya. "Kamu cantik banget, Sayang! Padahal baru bangun." "Gombal!" "Ihh seriusan, cantik banget!" "Udah ah! Aku mau tidur." Malu sebenarnya, tapi rasa kantuk lebih dominan. "Hahahaha..." Untuk pesawat Garuda Indonesia, menuju Jakarta dengan jam keberangkatan tujuh pagi waktu Indonesia tengah, dipersilahkan untuk memasuki kabin pesawat. "Nah udah disuruh masuk, Sayang!" Arka sedikit mengguncang tubuh Intan agar perempuan itu kembali tersadar dari tidurnya. "Udah?" "Udah, yuk!" Arka menarik tangan Intan untuk bangun dari kursi, membawa langkah mereka menuju kabin pesawat. Lagi-lagi harus meninggalkan Bali menuju realita hidup sehari-hari. √∆√∆√ Sesampainya di Jakarta, sesuai perkataan Arka tadi, Intan pulang ke rumah dan dia sendiri menuju kantor. Ada beberapa dokumen yang memang harus lelaki itu tanda tangani. Lagi pula ia juga kasian pada Intan jika harus menungguinya dulu di kantor. Arka begitu mencintai Intan, tentu saja. Separuh hidup Arka berisi kenangan bersama perempuan itu. Tak ada satu celah pun yang menggores kesempurnaan Intan di mata Arka, bahkan jika boleh mengakui Intan terlalu sempurna untuk Arka sendiri. Jadi sebuah anugerah besar jika Intan menjadi istrinya, tak akan Arka lepas sampai kapanpun. Tanpa sadar Arka tersenyum sendiri di atas meja kerjanya, matanya menatap ke arah foto pernikahan antar dirinya dan Intan beberapa tahun lalu. Arka rasa tak ada yang berubah dari Intan sejak pernikahan mereka, bahkan sejak Ark pertama kali bertemu Intan. Mungkin bertambah cantik dan menawan. Ditengah lamunannya itu Arka mendengar satu ketukan pintu, ia langsung membenarkan duduknya dam. menyambut siapa gerangan yang berkunjung di saat jam kerja kantornya. "Arka." "Mama? Mama, ngapain ke sini?" ucap Arka tersadar dari lamunannya. Benar, Mamanya datang mengunjungi dirinya di kantor. Benar-benar kejutan karena Arka tak dikabari terlebih dahulu. Mungkin Mamanya memang sengaja ingin memberikan kejutan untuk dirinya yang baru saja pulang dari Bali, mereka tak bertemu seminggu lebih omongan-omong. "Mama mau lihat kamu lah, masa gak boleh? Kamu kan anak Mama," kata Mamanya sambil meletakkan tas yang ia bawa ke atas meja. Ia mengambil duduk di sofa paling dekat dengan Arka. "Gimana liburannya? Lancar?" "Lancar, Ma!" jawab Arka antusias, liburannya dengan Intan memang selalu mengasyikan. "Udah berhasil?" Raut wajah Arka seketika berubah, tau betul apa yang sedang perempuan paruh baya itu pertanyakan. Mama memang selalu menuntut hal ini pada mereka. Bukan karena apa, tapi Arka sendiri sebenarnya risih karena Mama selalu mengungkit hal ini di depan dirinya maupun di depan Intan. Terkesan memuakkan, tapi demi rasa hormatnya pada sang Ibu kandung, Arka akan selalu menangapi dengan tenang. "Apa sih, Ma?" "Udah hamil belom Intan? Masa liburan ke Bali bolak-balik masih belum hamil." Mama mengucapkan itu sambil bersedekap angkuh. "Ngomong apa sih, Ma? Dateng-dateng pertanyaannya cuma itu." Arka tampak tersulut emosi. "Lho bener kan? Kali udah berapa kali liburan ke Bali? Ada hasil gak, malah habisin duit doang!" "Mama, kalo kesini cuma mau berantem sama Arka, mending, Mama, pulang aja. Males Arka, Mah!" Bukannya tersinggung, Mamanya malah tersenyum sinis. Bersandar pada sofa dan menatap tajam ke arah Arka. Umurnya memang sudah lanjut, tapi Arka berani jamin jika tatapan tajam Mamanya tak pernah berubah dari semenjak ia kecil. Tatapannya begitu khas dan menakutkan. Tajam seolah tak segan-segan membunuh siapapun yang ia liat. "Kamu nikah lagi aja Ka, bilang tuh sama istri kamu kalo kamu butuh keturunan." Mama menatap ke arah pintu masuk ruang kerja Arka. Tadi ada suara orang mendekat sebenarnya, tapi entah siapa. "Ma, Intan bisa kok ngasih Arka keturunan, lagian kita baru nikah tiga tahun, Ma." Arka masih terus membujuk, ia muak harus diungkit perihal ini. "Kalo bisa udah dari awal kamu nikah langsung hamil dia, ini apa sampe sekarang belum hamil kan dia? Intan tuh mandul, Ka!" "Mah! Sabar sedikit lah, kita juga masih muda!" "Kalo sampai tua gak hamil juga gimana?! Kamu butuh penerus, Arka!" "Kita bisa adopsi, Mah ..." "Gak! Mama mau kamu punya anak kandung!" "Intan itu bukan mandul, Mah, emang susah karena Intan punya autoimun." "Sama aja! Pokoknya Mama mau paling lambat seminggu kamu ambil keputusan." Mama Arka mengambil tas tangan miliknya di atas meja kerja, berjalan keluar dari ruangan kantor anaknya. Seolah menahan kekesalan kepada sang anak yang terus menolak permintaannya. "Mama minta kamu nurutin permintaan Mama ini, Ka, Intan pasti bisa paham keadaan kamu." Setelah itu Mama Arka keluar, meninggal Arka yang memijat pangkal hidungnya pusing. Bukan satu dua kali Mama memojokkan dia untuk menikah lagi memadu Intan sang istri, namun Arka masih tegas menolak permintaan itu cintanya begitu besar untuk sang Istri. Lagipula dia yakin suatu hari Intan akan mengandung anaknya. Intan sendiri mempunyai penyakit autoimun yang mempersulit dirinya untuk mengandung, bukannya tak mungkin hanya saja butuh perjuangan untuk menunggu kedatangan buah hati di antara mereka. Arka juga tak keberatan seberapa lama mereka menunggu, asalkan itu bersama dengan Intan. Meskipun begitu, tampaknya terlambat sudah. Intan sang istri ternyata telah mendengar semuanya, ia yang sedari awal berada di depan pintu ruangan Arka dan langsung berlari saat mengetahui mertuanya akan keluar dari ruangan Arka. Tak ada yang menyadari jika Intan ada di sana. √∆√∆√∆
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD