Tangisan Pilu

1010 Words
Pukul 22:48 WIB Arka pulang terlambat, Intan yang sedari tadi menungguinya di ruang tamu tampak gelisah berjalan ke sana ke mari. Suaminya bahkan tak mengirimkan pesan tentang keterlambatan dirinya pulang malam ini. Pikiran Intan sendiri sudah berkecamuk melanglang buana, memikirkan hal yang tak diinginkan. Setelah apa yang ia dengar tadi sore di kantor Arka, Intan lebih memilih untuk pulang tanpa menemui Arka terlebih dahulu. Hatinya terlanjur sakit hati sehabis mendengarkan percakapan suami dan mertuanya. Dia memang belum bisa memberikan Arka keturunan, tapi tak bisakah ia diberi waktu lagi? Intan juga tak menginginkan hal ini terjadi padanya. Ia menyukai anak kecil, tentunya memiliki anak adalah hal paling ia impikan saat ini. Maka apapun keputusan Arka, Intan akan menerimanya dengan lapang d**a. Kalau pun Arka memilih menikah lagi, ia akan mundur dan meminta cerai dengan baik-baik. Apapun yang terjadi Intan tak akan mau dimadu, bukan karena apa tapi dirinya hanya tak mau lelaki yang sudah mengucapkan ijab atas dirinya malah melakukan hal itu untuk kedua kalinya pada wanita lain. Intan dengan tegas menolak, walaupun akan banyak cacian dari orang-orang yang tau jika Intan hanya memiliki Arka dan sang Adik. Tak berpengalaman kerja dan sudah menjadi yatim piatu. Wanita itu yakin, selama ia memegang teguh pendiriannya dan mempercayai jika Tuhan itu baik, Intan akan mendapatkan kemudahan. "Sayang?" Satu panggilan membuyarkan lamunan Intan, matanya mencari asal suara tersebut. Lantas mendapati Arka yang berdiri di depan pintu, wajahnya lelah sekali. Intan yang mengerti beringsut mendekati Arka, mengambil alih jas dan tas kerja yang ditenteng oleh lelaki itu. "Lembur ya?" tanya Intan sembari membantu Arka melepas jas yang lelaki itu pakai. "Iya," jawab Arka lelah. Tak ada percakapan apapun selanjutnya, Arka hanya berjalan lurus menuju kamar meninggalkan Intan yang masih berdiri ditempat memandangi punggung Arka semakin menjauh darinya. Intan kecewa. Langkahnya pelan menyusul langkah Arka menuju kamar milik mereka berdua. Sengaja ia lambatkan langkahnya karena ia tau jika Arka akan segera masuk ke dalam kamar mandi setelah mengambil handuk. Setidaknya Intan bisa berbaring dan jatuh tertidur saat Arka masih di dalam kamar mandi. Ia tak ingin berbicara lebih dengan Arka. Benar pemikirannya, saat ia sudah sampai di dalam kamar tidur, Arka sudah tak ada di sana. Suara gemericik air mulai memenuhi kamar mandi, menandakan keberadaan lelaki itu. Intan menaruh jas dan tas kerja milik Artha pada tempatnya, lantas segera naik ke atas kasur. Ia akan tidur sebelum Arka menyelesaikan mandinya. Namun seperti banyak orang bilang, ekspektasi tak sesuai realita. Bukannya tidur Intan malah terisak, pilu suaranya beradu dengan suara gemericik air dari kamar mandi. Padahal ia tak ingin menangis, ia ingin tidur. Bagaimana lagi? Tak ada satu orangpun yang mau pernikahannya kandas seperti ini. Intan tau mertuanya mau Arka mendapatkan keturunan agar ada penerus untuk perusahaan, Arka anak tunggal. Namun, apa yang bisa Intan lakukan? Semuanya diluar kuasanya. Larut dalam tangisan Intan tak menyadari jika Arka terlah berdiri di belakangnya, memandangi punggung istrinya yang bergetar hebat. Hati lelaki itu ikut sesak, wanitanya tengah terisak pilu di depan sana, tapi bukannya menenangkan ia malah membeku di tempat. "Sayang?" panggil Arka memastikan. Sekuat tenaga Arka keluarkan suara itu, tapi Intan tak membalas. Malah semakin bergetar tubuh ringkih itu di atas ranjang. "Sayang?" ulang Arka. Mau tak mau Arka ikut naik ke atas ranjang, menghampiri tubuh kecil Intan yang makin bergetar hebat karena menyadari Arka sedang memperhatikan dirinya. Lelaki itu pasti tau Intan tengah menangis tersedu-sedu. Pelan Arka memeluk tubuh Intan, bahkan rambutnya belum kering sepenuhnya. Ia juga enggan sejenak mengeringkan rambutnya ketimbang meninggalkan Intan malah larut dalam tangisnya. "Sayang, kenapa nangis?" Lembut Arka bertanya. Lelaki itu berusaha membuat Intan nyaman dalam pelukannya. Tubuhnya semakin ia rapatkan dengan punggung Intan, sambil jemarinya mengelus perut istrinya itu. "Aku minta maaf ya kalo udah bikin salah," lanjut Arka bertahan dengan posisi ini. Masih terus mengelus perut Intan agar tangisnya mereda. Sekitar lima belas menit kemudian Intan mulai reda akan tangisnya, ia berbalik dan memeluk Arka. Menenggelamkan wajahnya pada d**a bidang Arka. "Ka, kalo Mama mau punya cucu kamu silahkan nikah lagi. Tapi aku minta cerai." Bagai terkena sambaran petir, Arka sontak mempererat pelukannya, seolah tak ada waktu lagi mereka memeluk sama lain layaknya saat ini. "Kamu ngomong apa si, Sayang?" "Aku denger, Ka. Mama minta kamu nikah lagi kan?" "Gak ada alesan aku nurutin kata Mama!" "Kamu butuh keturunan, kamu anak satu-satunya!" "Intan!" Untuk pertama kalinya setelah pernikahan mereka, Arka memanggil menggunakan nama Intan langsung. Sedikit terkejut, namun ya sudahlah. "Aku maunya kamu! Bukan yang lain!" Arka membawa wajah Intan ke hadapannya, menatap mata gadis itu, "Kamu ngerti?" Intan mengangguk, ia takut. "Kamu ga perlu khawatir, aku bukan orang yang pendirinya rapuh. Aku akan selalu pilih kamu." "Tapi Mama..." "Itu urusanku, Sayang, kamu gausah khawatir," tegas Arka dengan tatapan tajam. Malam itu mereka bersamaan tertidur masih dengan posisi saling memeluk seolah mereka hanya memiliki satu sama lain dalam hidupnya, biarkan mereka beristirahat sejenak dari apa yang telah mereka lewati. Kata orang dunia penuh cinta, memang. Namun apapun itu dunia adalah kenyataan pahit yang harus dijalani. Manusia hanya bisa berdoa, berekspresi, dan berusaha. Tak ada hal lain yang dapat mereka lakukan karena keputusan ada pada Tuhan. Intan tak pernah sekalipun berdoa agar dirinya tak dikaruniai anak, bahkan setelah ijab yang diucapkan Arka doa pertama yang ia panjatkan adalah seorang anak untuk menemani hari-harinya. Meskipun hidup mereka bergelimang harta, namun tanpa adanya sosok malaikat kecil di tengah-tengah mereka rasa tetap saja kurang. Sudah berapa banyak program yang mereka ikuti, namun tampaknya Tuhan menginginkan mereka berdua terlebih dahulu. Mungkin menikmati hidup berdua tanpa harus mendengarkan kritikan orang yang lebih banyak Menohok hati ketimbang menyenangkan. Arka mencintai Intan dan sebaliknya. Kebahagiaan satu sama lain adalah hal utama. Tak ada alasan yang pasti mengapa mereka begitu sangat mencintai satu sama lain, yang pasti jika itu Arka dan jika itu Intan mereka akan bersedia selalu berada di sampingnya apapun yang terjadi hingga waktu senja. Hanya maut yang bisa memisahkan mereka, semua berharap demikian juga kan? "Jangan khawatir kamu akan selalu punya aku," bisik Arka di sela-sela tidurnya. Intan tau, Arka adalah satu-satunya yang percaya jika mereka akan memiliki anak suatu hari nanti. Sebentar lagi, tunggu saja. √∆√∆√∆
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD