Adik Kesayangan

1050 Words
Esoknya saat Arka telah berangkat bekerja, Intan langsung bergegas untuk keluar rumah, ia ada janji dengan seseorang. Memang setiap satu minggu sekali, Intan akan selalu menemui lelaki ini, ada rasa rindu yang terus menghantui dirinya jika terlewat satu minggu tak melihat lelaki manis ini. Kali ini Intan memilih mengemudi sendiri, tanpa bantuan sang sopir. Tak masalah karena dia juga telah meminta izin kepada Arka. Jangan pernah meremehkan skill Intan dalam urusan menyetir mobil, wanita cantik itu bahkan bisa sampai lima belas menit lebih cepat ketimbang Arka. Sudah ada bukti, bahkan suami sendiri yang mengatakan hal itu." "Mau dianter, Non?" Suara Pak Deden menggema di telinga Intan, dia yang harusnya membuka pintu memilih berbalik dan menatap pria paruh baya tersebut secara langsung. "Nggak usak, Pak, saya tadi udah izin sama Mas Arka," balas Intan sambil tersenyum. Pak Deden mengangguk. "Ya sudah kalo begitu, saya ke dapur lagi ya," ujar Pak Deden sopan. "Iya, Pak." Kemudian lelaki itu berbalik ingin kembali ke dapur bersama Bik Iyem, seperti biasa menikmati secangkir kopi dan sarapannya di pagi hari. Intan segera masuk ke dalam mobil, menyalakan mobil dan bergegas menuju ke tempat yang sudah mereka sepakati untuk bertemu. Ia melirik sekilas pada spion mobilnya, melihat Pak Deden yang berlari membukakan pintu pagar. Bukan tak mau ditemani atau bagaimana, hanya saja Intan ingin pertemuannya kali ini lebih private, dia akan bercerita banyak kepada adiknya, yang permasalahannya sendiri cukup jauh jika harus melibatkan pak Deden sebagai pendengar. Maka lebih baik dirinya berangkat sendiri, lagi pun jaraknya tak seberapa jauh. Intan bisa mengajak adiknya nanti makan di Cafe atau Starbuck, mumpung tak ada jadwal kuliah yang harus dihadiri. Oh ya, adiknya bernama Dikta masih seorang mahasiswa kedokteran. Rencananya tahun depan baru menyusun skripsi, dilanjut dengan masa koas, sebelum akhirnya resmi menyandang gelar sebagai dokter. Ada keinginan untuk sekaligus mengambil jurusan spesialis, tapi entah adiknya saja masih bimbang perihal itu. Katanya dia sudah kapok harus berkutat dengan praktikum-praktikum yang tak jauh-jauh dari kata organ dalam, apalagi jantung. Sudah muak katanya membedah organ-organ dalam tikus, atau harus membeli organ asli di rumah sakit. Anak itu memang tak menyukai bidang kedokteran, hanya saja dirinya satu-satunya yang akan menopang rumah sakit milik keluarga. Benar, latar belakang Intan tak seburuk itu, dia adalah anak dari Dokter terkemuka di Kota tersebut. Hanya saja kedua orang tuanya sudah meninggal, membuat hak rumah sakit jatuh di tangan Pamannya. Lebih buruk lagi ketika Intan dan Dikta tak diberi hak sedikitpun atas hak milik orang tuanya. Satu syarat yang harus Intan dan Dikta penuhi yaitu berhasil menyandangkan gelar sebagai Dokter spesialis organ dalam. Sedangkan Intan takut darah, ia akan benar-benar pingsan saat melihat darah mengalir dengan deras dari tubuh hewan dan manusia. Reaksi paling baik yang ia keluar saat melihat darah ialah terdiam dengan wajah pucat pasi dan keringat bercucuran. Sungguh tidak mungkin bagi Intan untuk masuk ke dunia Kedokteran. Maka dia sangat-sangat berterima kasih pada sang adik karena sudah mau mengorbankan dirinya demi hak-hak yang telah direbut oleh sang paman. Selain itu, alasan mengapa dia masih bisa betah atas pendidikan universitasnya adalah adanya sosok gadis cantik yang entah siapa namanya, sudah telak mencuri hati Dikta. Intan tak tau dia siapa, tapi dari keterangan Dikta, gadis itu sudah memiliki kekasih. Ya sudah, mau bagaimana lagi? Itu kesalahan Dikta mengapa malu-malu sendiri, padahal dia juga bisa berkompetisi merebut hati gadis itu sebelum dia menjadi milik orang lain. Intan akui gadis yang disebut-sebut oleh Dikta itu sungguh sangat mempengaruhi hidup adiknya. Lihat saja, adiknya bahkan tak terlihat memiliki kekasih sampai sekarang, padahal wajah Dikta bisa dikatakan mirip artis Korea. Namun, biarlah setidaknya untuk sekarang Dikta tak akan berbuat hal yang aneh-aneh demi gadis itu. Masih tergolong normal bagi sebagian besar lelaki mengagumi gadis cantik di sekitarnya. Tok Tok! "Kak! Ngelamun mulu!" Dikta tampak kesal dari luar mobil, Intan jadi tertawa karena sadar telah mengabaikan adiknya sejak tadi. Intan beralih memencet tombol pembuka kunci mobil, mempersilahkan Dikta masuk meski dengan wajah tertekuk penuh emosi. Hey! Intan juga tak sadar kalau Dikta sudah menunggunya sejak tadi. Terlalu fokus pada lamunannya perihal gadis favorit Dikta. "Aku dari tadi ngetok kaca mobil masa gak keliatan? Badan gede gini masa kalah sama lamunan, Kakak?" dumel Dikta melirik sini ke arah Intan. "Hahahahaha... Ya maaf, Kakak gak sadar tau!" "Itu aku ngetok kaca keras banget! Dikit lagi pecah tuh kaca!" "Lebay kamu! Mana bisa kaca mobil pecah cuma gara-gara diketok-ketok sama anak ingusan kayak kamu?" "Dih ngeledek!" "Hahahaha... Udahlah, Dek!" Intan menoleh sebentar ke arah Dikta, meletakkan jarinya di atas bibir tanda bahwa adiknya harus segera berhenti membahas hal itu, "Makan kemana ini," lanjut Intan. "Kemana aja yang penting jangan ke warungnya Mbak Sumi," jawab Dikta singkat, memilih menyalakan ponselnya dan mulai menuruti isyarat sang kakak. "Disana enak tau pecelnya," sela Intan sambil menghentikan laju mobil, lampu sedang merah di depan sana. "Enak pun aku gak bisa makan, lupa kalo adekmu ini alergi kacang?" Intan hanya tersenyum lebar, tampaknya dirinya tak pernah bosan menggoda sang adik dari sejak Dikta lahir hingga kini umurnya sudah hampir dua puluh tiga tahun. "Cewek yang kamu suka di kampus itu, namanya siapa, Dek?" Intan bertanya kembali saat lampu berubah warna menjadi hijau, pelan wanita cantik itu membelokkan kemudian ke arah Cafe yang akan ia kunjungi bersama sang adil. "Kenapa tiba-tiba tanya soal Dara? Mau, Kakak, apain?" Pertanyaan itu berhasil mencuri semua atensi Dikta, bahkan adiknya meletakkan ponsel yang semula ia genggam ke atas dashboard mobil. Intan tersenyum simpul, paham sekali apa yang sangat disukai oleh Dikta. "Oh jadi namanya Dara toh, jurusan apa dia?" Sedangkan Intan tau saja jika adiknya mudah terpancing perihal gadis yang dia idamkan. "Forensik, Kak! Keren kan? Aku aja ga kebayang gimana mualnya tiap hari bahas mayat," jelas Dikta tampak antusias menggambar sosok Dara di matanya "Dia pemberani, gak kayak kamu!" "Heleh! Lagian, Kakak, ngapain tanya-tanya soal, Dara?" "Kepo kamu!" "Ye... Awas ya kalo aneh-aneh!" Intan mencibir, menggoda Dikta yang tampak mulai khawatir. Baru sadar Dikta kalau ia telah membuka identitas pujaan hatinya kepada sang kakak, yang tentu saja tak akan pernah berhasil menyimpan rahasia. "Udahlah gak usah dibahas! Kak Intan, mau cerita apa sebenernya? Pake segala ngajak ketemuan hari ini, kan biasanya juga hari minggu sekalian aku ke rumah, Kakak," tutur Dikta mulai bertanya tujuan Intan, sekaligus mengalihkan pembicaraan perihal nama gadis favoritnya. "Ehm... Seumpama kalo Kakak cerai, kamu gak apa-apa kan?" ×××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD