Dikta Setuju?

1206 Words
Dikta terdiam sejenak mendengar kata yang bergitu tidak terduga keluar dari mulut Intan, selama pernikahan Kakaknya, Dikta tak pernah mendapati Intan sedih sedikitpun. Apa dia saja yang tak begitu perhatian? "Kakak, mau cerai?" Dikta bertanya pelan, tak mau ikut campur sebenarnya. Namun, mau bagaimana pun Dikta satu-satunya keluarga Intan, tak mungkin ia menyerahkan semua keputusan kepada wanita itu. Dikta tau ini bukan keinginan murni Intan, pasti ada alasan lainnya. Intan tersenyum, menggapai tangan Dikta. "Kakak gak bisa kasih anak ke Mas Arka. Kakak juga gak bisa kalo harus dimadu, jadi lebih baik Kakak mundur aja Dik," jelas Intan. Dikta tau sekali air mata itu sudah mengenang di pelupuk mata, tapi entah mengapa Intan selalu bisa menyembunyikan tangisnya di depan adik kecil ini. Dikta mengalihkan pandangannya sejenak, dia juga harus berpikir jernih. Masalah anak memang sensitif bagi Intan dan Arka, apalagi beberapa kali Dikta dengar Ibu mertua Intan selalu menyindir wanita itu perihal cucu. Dikta tau Intan harus memiliki anak, apalagi perusahaan keluarga Arka ada di tangan suami Intan saat ini. Mau tak mau mereka harus berjuang demi memiliki anak, harus ada penerus keluarga entah itu perempuan ataupun laki-laki. Sulit, lebih sulit karena ini bukan masalah Dikta sendiri. Ini masalah Intan, kakak cantik yang pernah berjuang mati-matian demi kelangsungan pendidikan Dikta. Beruntungnya anak paman mereka yang sekarang ikut andil dalam kelangsungan rumah sakit milik keluarganya lebih baik hati ketimbang ayahnya, Mas Hasbi mau memberi sejumlah uang untuk membiayai Dikta. Hal itu meringankan beban Intan setelah menikah. Sekaligus jika saat genting ini terjadi, Dikta dan Intan tak perlu bekerja keras seperti dulu. Meskipun Intan bercerai, dia tak perlu mengharapkan biaya Arka lagi. Mereka telah siap untuk keadaan tak terduga seperti ini. Akan tetapi, Dikta tau Intan begitu mencintai Arka, sebaliknya Arka juga begitu sangat mencintai Intan. Kalau saja perceraian itu terjadi. Bisa dipastikan ada andil dari ibu mertua Intan. "Kak, kalo semisal itu yang terbaik buat, Kakak, Dikta gak masalah kok. Dikta juga pengen, Kakak, hidup bahagia," jawab Dikta memutuskan. Mendengar itu, untuk pertama kalinya Intan tumbang. Menangis tersedu-sedu di hadapan adik kecilnya yang menjadi alasan bagi Intan untuk hidup, tak gelap mata mengikuti jejak kedua orang tua mereka. Intan menangis di pelukan Dikta, berat memang sangat berat. Meninggal sosok yang telah bersamanya lebih dari tujuh tahun kebelakang bukanlah hal mudah, Intan dan Arka telah bersama dalam jangka waktu yang lama. Tak mungkin semudah itu meninggalkan satu sama lain. "Apapun itu, Kakak, harus bahagia," bisik Dikta kembali, sambil tangannya mengelus punggung ringkih Intan yang masih larut dalam tangisan. Intan tak punya prediksi kedepannya kecuali berpisah dari Arka. Satu-satunya kemungkinan paling waras menghadapi prahara rumah tangga yang tak berujung ini, Intan tau semuanya akan segera berakhir jika dirinya tak segera mengandung. Meskipun Arka begitu cinta, tidak dengan ibu mertuanya. Mereka dituntut realistis, mau tak mau, suka tak suka, Intan dan Arka harus memilih jalan yang paling tepat jika masih ingin bersama-sama untuk jangka waktu yang lama. "Udah gak usah nangis lagi, Kak, masih ada Dikta kalo Mas Arka udah nyerah. Kakak, punya Dikta." ××× Sepulang dari Cafe, Intan memilih menenangkan diri di ayunan depan rumah. Di kelilingi tumbuhan-tumbuhan hijau rawatannya, Intan tersenyum, setidaknya ada hal favorit yang masih ia bisa lakukan. Hidupnya memang membosankan, Arka melarang dirinya bekerja, lebih baik duduk manis menunggu dirinya pulang bekerja dari pada harus berkutat dengan pekerjaan yang melelahkan, itu katanya. Padahal Intan memiliki pekerjaan yang cukup mentereng dulu sebelum menikah, dia menyukai juga jika harus pulang di sore hari, tidak lembur. Jadi Intan bisa melihat Dikta berseru girang menyambut dirinya pulang, melihat makanan apa yang Intan bawa. Meskipun dirinya dalam waktu yang sama juga harus mengabaikan Arka, sebab kesibukan. Saat malamnya Intan harus membujuk lelaki itu mau berbicara lewat panggilan telepon, menjelaskan apa saja pekerjaan yang menyita waktunya hingga sang kekasih terabaikan. Setidaknya Intan memiliki lima bulan pengalaman bekerja sebelum akhirnya Arka melamar dan menikahi dirinya. "Non, mau makan malam apa?" satu suara membangunkan Intan dari lamunan. "Terserah aja, Bik, Mas Arka juga gak ada minta sesuatu kok," jawab Intan sekilas, sambil mengukirkan senyumnya. Bik Iyem lantas berlalu, kembali masuk ke dalam rumah. Biasanya Intan akan membantu, tapi tak apalah untuk kali ini ia absen dulu. Hatinya sedang tak karuan, Bik Iyem pasti paham. Setengah jam setelahnya, Intan malah melihat mobil Arka masuk ke dalam pelataran rumah setelah Pak Deden membukakan pintu. Bukannya masih dua jam lagi ya jam pulangnya Arka? Ini masih jam tiga sore. Tak mau lebih pusing, Intan memilih menghampiri Arka dan menanyakan perihal apa yang membuat lelaki itu pulang lebih cepat dari pada hari-hari biasanya. "Kamu kok pulang cepet?" tanya Intan ketika sampai di samping mobil Arka. "Eh, Sayang, nih aku bawain kue lumpur." Bukannya menjawab Arka malah menyodorkan satu kresek berisikan jajanan yang ia bawa. "Kamu kenapa pulang cepet?" ulang Intan. "Udah gak ada kerjaan, Sayang, jadi ngapain aku lama-lama di kantor. Mending di rumah sama kamu kan?" jawab Arka merangkul Intan berjalan masuk ke dalam rumah. Intan menurut saja, memang bukan baru sekali Arka seperti ini. Namun, entahlah ini yang paling aneh menurut Intan. Kok bisa? Ya tentu saja aneh, Arka memiliki pekerjaan menumpuk setelah berlibur di Bali kemarin, tak mungkin pekerjaan itu selesai dalam jangka waktu dua hari. Apalagi kemarin dia hanya masuk setengah hari. "Kamu makan kue di kamar aja ya, aku mandi dulu," pinta Arka, menarik Intan yang akan berbelok ke arah ruang tv. "Ada apa sih?" tanya Intan bingung. Lagian Intan kan bisa menunggu Arka di ruang tv sambil menikmati kue lumpur oleh-oleh dari Arka. Malah kalau ia makan di kamar, nanti malah mengundang banyak semua. Arka tak mungkin suka melihat banyak semut berkeliaran di kamarnya. "Gak apa-apa, kamu makan aja di kamar." Arka membuka pintu, membawa Intan masuk ke dalam kamar. Akra masih terus merangkul Intan hingga istrinya itu ia dudukan di atas sofa sudut kamar. Lantas Akra berlalu masuk ke dalam kamar mandi usai menyampirkan yang ia bawa. Intan menurut saja, duduk di sofa kamar dan menunggui Arka yang sedang mandi. Sambil memainkan ponsel dan sesekali melirik ke arah kamar mandi tempat Arka sedang membersihkan diri. Gemericik air terus terdengar sampai setengah jam berlalu, saat suara air itu memudar berganti suara pintu dibuka, Intan sepenuhnya mengalihkan pandangannya ke arah Arka yang baru saja keluar kamar mandi memakai handuk. Agak heran saat Arka malah membawa langkahnya ke arah Intan bukan ke lemari pakaian. Sampai lelaki itu berdiri menjulang tinggi di hadapan Intan dengan hanya memakai handuk. "Ada apa?" tanya Intan masih tak mengerti. Arka tertawa, bisa-bisa Intan masih sepolos ini setelah tiga tahun menjalani biduk rumah tangga dengannya. Tidak menjawab pertanyaan Intan, Arka malah menggendong Intan ala bridal dan meletakkan kue lumpur yang sudah wanita itu pangku sejak tadi. Arka tersenyum menghadapi padangan tak mengerti Intan, sebelum akhirnya wanita itu paham saat Arka meletakkan tubuhnya di atas ranjang. Ini masih sore. Makanya Arka memilih pulang terlebih dahulu meninggalkan semua pekerjaannya. "Aku sengaja pulang duluan, soalnya kepikiran kamu terus," ujar Arka ikut berbaring di samping Intan. Rambutnya masih basah, tapi bukannya di keringkan Arka malah menempelkan rambut itu ke arah Intan, sengaja sekali membuat tubuh Intan basah. "Ehh jangan gini juga dongg!" seru Intan menjauhkan kepala Arka dari dirinya. Arka tertawa, senang sekali menggoda istrinya yang polos ini. "Aku mau makan kamu dulu, sebelum makan masakannya Bik Iyem." ×××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD