Chapter 3

999 Words
Duduk dengan kaki dilipat di posisi paling depan dari hampir seribu anak yang lain sambil mengamati pemateri di depan merupakan rutinitas Aurel selama dua hari terakhir ini. Menopang dagu dengan tangan kanan, Aurel menarik napas lelah. Oh, tidak. Ternyata ini lebih membosankan dari yang ia kira. Apalagi ditambah tidak ada satu pun cogan yang lewat di depannya. Perutnya yang sudah diisi setengah jam yang lalu kembali berbunyi. Sungguh ia ingin memakan biskuit yang masih tersisa beberapa potong di kotak bekalnya. Atau setidaknya membasahkan tenggorokan yang serasa kering sedaritadi. Dengan gerakan perlahan nan malas, gadis itu menegakkan badannya dan sedikit melakukan pergerakan kecil yang ia harap bisa menghilangkan pegal-pegal di beberapa bagian tubuhnya. Kepalanya ia tolehkan ke belakang, melihat hamparan calon siswa baru yang sebagian besar tampak tenang tapi ia yakin mereka sama sekali tidak memerhatikan apa yang diucapkan pria separuh baya di depan. Beberapa saat setelahnya, Aurel memutuskan kembali menghadap depan. Melihat berbaris-baris tulisan yang terpampang di layar. "Ra, gabut," adu Aurel pada Fanya yang sedang menulis entah apa di bukunya. Matanya menangkap tulisan-tulisan bersambung indah yang dibuat temannya. "Bagus," ucap Aurel. "Makasih," balas Fanya dengan nada sing-a-song dan tersenyum manis. Aurel mengikuti kegiatan Fanya, ikut mencoret-coret bukunya sendiri. Tetapi ia tahu, hasil ukiran tangannya tidak sebagus punya Fanya. Aurel rasanya ingin cepat-cepat pulang ke rumah, merasakan kenyamanan di bawah guyuran air hangat lalu naik ke atas single bednya. Membayangkannya membuat Aurel menutup mata sambil menarik napas dalam. Berharap dapat merasakan hal itu agar dapat mengurangi rasa lelah. Kembali ia menopang dagu seperti posisi sebelum-sebelumnya lantas menatap ke depan. Kali ini gadis itu memutar mata bosan. Matanya menoleh ke samping kanan, sedikit merasa heran dengan diri sendiri karena entah mengapa ia tak menyadari kehadiran Alfi. Apakah radarnya akan cowok itu mati karena ia yang kelelahan? Alfi sedang mengamati apa yang dijelaskan di slide. Dan seperti merasa terpanggil, ia berbalik ke arah gadis itu. Aurel awalnya ingin mengalihkan pandangan, tak mau tertangkap basah mengamati kakak kelasnya. Akan tetapi, manik Alfi seolah menghipnotisnya, menarik gadis itu untuk terus tenggelam di dalamnya. "Gak dicatat?" Alfi menggerakkan mulutnya, tanpa mengeluarkan suara. Aurel mengerutkan kening. "Emang dicatat?" tanyanya balik, yang juga tanpa mengeluarkan suara. Alfi menarik napas perlahan, bertanya dalam hati mengapa gadis yang sedang berkomunikasi tanpa suara dengannya sepolos ini. Ia melipatkan kedua tangan di depan d**a dengan sorot mata yang tampak memerintah. Menunggu kira-kira adik kelasnya itu bisa menebak apa yang harus dilakukannya sekarang atau tidak. Aurel menunjukkan cengiran tak berdosanya sambil mengacungkan jarinya yang berbentuk V. Ia membuka buku dan menulis asal di sana sembari melihat ke tayangan slide. Sesekali menoleh pada Alfi untuk menunjukkan bahwa ia mencatat apa yang dijelaskan di depan. Melihat itu Alfi terkekeh pelan, dan itu tertangkap mata Aurel sehingga ia pun ikut tertawa kecil. Gadis itu menoleh ke samping kiri, tersenyum lebar dan terpaksa menahan pekikannya. Wajahnya sedikit memerah dan kelihatan sekali sedang bahagia. Setelah mengatur napas agar kembali teratur, Aurel kembali berbalik. Kini matanya sama sekali tak bisa hanya memandang ke depan, karena ada satu titik yang bisa membuatnya menarik sudut bibir kapanpun itu. ??? Aurel membalikkan tubuh ke sebelah kanan. Penglihatannya terfokus pada salah satu objek. Di mana seorang cowok yang tak lain dan tak bukan adalah Alfi, sedang berbicara pada beberapa gadis yang sama sepertinya dan sesekali tertawa bersama. Apa yang Alfi lakukan? Pikir gadis itu. Aurel menggeleng dengan kasar. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja sebagai kakak kelas yang baik, sudah seharusnya Alfi mengakrabkan diri dengan para juniornya. Jadi, bukan dia satu-satunya? Lagi, Aurel menggelengkan kepala. Mendengus sendiri dengan pemikirannya yang begitu percaya diri. Memangnya apa yang terjadi dengannya dan Alfi sehingga ia harus mengajukan pertanyaan itu yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Aurel mengepalkan tangan sampai buku-buku jarinya memutih. Berharap? Sepertinya tidak lagi. Tak ada apa-apa antaranya dan Alfi. Aksi-aksinya yang beberapa hari ini membuat gadis itu bahagia, tak lebih dari seorang kakak kelas yang berbaik hati pada adik kelasnya. Aurel seharusnya sadar itu semua. Bukannya bersyukur, ia malah mengingkan hal yang lebih lagi. Ia merutuk diri sendiri dalam hati. Mengabaikan rasa sakit yang akan kembali, gadis itu menoleh lagi. Terlalu penasaran apa yang mereka bicarakan. Cemburu, ia mencibir dalam hati gadis-gadis yang menatap Alfi dengan pandangan memuja itu, tak menyadari kalau suatu waktu ia pernah seperti itu. "Kayak denger suara kretek gitu," ucap Fanya pelan. Aurel tahu jika Fanya juga sedang melihat apa yang sedang dilihatnya. Mendengar ledekan Fanya membuat Aurel yang awalnya merasa kesal menjadi ingin menangis saja. Gadis itu menatap Tiara yang setelahnya kembali membuka suara. "Bener 'kan yang gue bilang?" Aurel tak menjawab melainkan langsung menunduk. Keinginan untuk menangis semakin besar. Kali ini bukan cemburu, tetapi karena ia sedang berusaha menolak fakta. Terlalu tak rela orang yang disukainya dibilang seperti itu. Gak! Kak Alfi bukan orang kayak gitu! ??? Gadis yang masih menggunakan seragam putih abu-abu itu tengah menatap pantulan dirinya di cermin. Tangannya dengan sigap membuka kepangan rambutnya beberapa saat. Menyisakan rambut hitam pekat yang sekarang tampak bergelombang. Aurel tersenyum pada diri sendiri. "Gue udah jadi anak SMA, yesss!" ucapnya tertahan. Ingin sekali ia berteriak seperti itu sambil mengitari rumahnya. Aurel mengingat kembali upacara penutupan masa MPLS tiga puluh menit yang lalu, yang merupakan sebuah pembuktian bahwa ia memang sudah reami menjadi anak SMA. Namun, senyuman di bibirnya berubah menjadi decakkan saat mengingat bagian Alfi yang menjaga barisan dan hanya menegurnya sekali, setelah itu cowok itu kembali bercanda dengan gadis yang berdiri tak jauh di belakangnya. Aurel memutar matanya. Bersyukur, Aurel! Bersyukur! Ia menatap lekat gadis di cermin. Gadis biasa dengan wajah yang tidak terlalu cantik, rambutnya sudah agak panjang, bertubuh kecil dan kurus, dan tantu saja bukan merupakan murid yang terkenal dulu waktu SMP. Aish! Tentu saja dirinya tidak cocok untuk Alfi yang populer dan ia anggap sempurna itu. Aurel menarik napas dalam. Sekali lagi mengamati diri sendiri sebelum akhirnya melemparkan tubuhnya di kasur. Berharap dengan menenggelamkan wajah di bantal dapat meredam tangisannya. Kali ini entah kenapa ia merasa terlalu kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD