Chapter 2

1080 Words
Aurel untuk yang kedua kalinya berdiri di paling depan barisan. Dengan baju kaos oblong putih dan celana hitam melekat di tubuhnya. Di samping kakinya ada sapu lidi, sapu ijuk, dan serbet yang diletakkan di dalam ember sedang. Ia menulis nama di kertas kecil yang diberikan kakak gugus yang berarti ia sudah membawa bunga hidup yang diperintahkan. Setelah apel pagi selesai, perkakas-perkakas yang dibawa kembali dikumpulkan pada kakak gugus masing-masing. Dan seperti kemarin, gadis itu dan kelompoknya berjalan beriringan layaknya kereta api menuju lapangan parkir. Aurel jadi mengingat masa-masa TK-nya dulu. Aurel sudah duduk manis dengan kaki terlipat di lapangan parkir yang dialasi terpal, saat ia rasa sebuah bayangan menghalanginya. Saat mendongak, ia terpaku karena mendapati sosok Alfi yang menjulang di depannya. "Sapu ijuk, sapu lidi, serbet, ember sama bunga udah dibawa?" "Udah, Kak." "Bekal bawa?" "Bawa, Kak." "Air mineral?" "Bawa." "Snack-nya?" 'Bawa, Kak." "Oke." Setelahnya Alfi berjalan menjauh, mengatur barisan duduk gugus-gugus lain. Ini antara Alfi memang sedang memerankan seorang kakak panitia yang baik atau memang sedang memperhatikan Aurel. Tetapi karena rasa senangnya, Aurel mengasumsikan kemungkinan kedua sebagai dasar perlakuan Alfi terhadapnya. Mau bagamana lagi, perempuan itu tampak sangat kasmaran. Aurel menghirup napas banyak-banyak sebelum akhirnya ia berbalik dan memukul-mukul gemas paha Fanya, teman SMP lainnya sekaligus teman segugusnya. Jangan tanyakan Tiara karena Aurel seketika jadi kesal terhadap perempuan itu yang mendapat keberuntungan menjadi siswa di bawah tanggung jawab Alfi. "Lo kenapa, sih? Sakit?" tanya Fanya setelah dengan cepat menepis pelan tangan Aurel. "Nggak, nggak papa 'kok," jawab Aurel dengan senyum malu-malu yang membuat Fanya mengangkat sebelah alis tampak jijik dengan temannya itu. "Kak Alfi? Ck, hati-hati aja. Dia tukang PHP," ujar Fanya. Aurel menaikkan sebelah alis tak mengerti dengan ucapan temannya itu. Lantas kemudian mengedikkan kedua bahunya. "Bodo!" ??? Aurel duduk sambil menselonjorkan kaki di teras kelas XI MIPA 1 dan 2 yang kebetulan digabungkan. Anggota gugusnya yang memang dibagi lagi menjadi beberapa kelompok karena jumlah mereka yang banyak. Dan kelompok Aurel mendapat bagian menanam bunga di dua kelas yang biasa disebut kelas panggung ini sebab terpisah sendiri dari kelas lainnya. "Mau langsung balik lapangan?" tanya Aurel pada temannya. Fanya yang berada tak jauh di dekat Aurel mengedikkan bahu. "Ke sana aja, ayo!" tukasnya sembari menggerakkan dagu pada arah kumpulan teman-temannya bersama dua kakak gugus mereka, lalu mengambil tasnya dan berjalan duluan. Aurel menarik napas panjang dan menyempatkan meminum air mineralnya sebelum mengikuti Fanya. "Eh, kita foto-foto dulu dungs!" seru Kak Ulfa–seorang gadis periang yang baik hatinya, pada anak-anak gugus lima. Dengan meminta tolong pada seseorang yang barusan lewat, gugus lima mengatur formasi dengan sebaik mungkin dan beberapa kali terjepret camera ponsel dengan berbagai pose. Mulai dari yang tersenyum kalem sampai pose yang paling memalukan. Setelah mengucapkan terimakasih pada pria yang berhasil mengabadikan momen kebersamaan mereka, Ulfa mengambil kembali ponselnya. "Kuy guys, kita selfie lagi!" seru Kak Sena–perempuan tegas yang mengasikkan, mengajak adik-adik gugusnya berselfi-ria. Setelahnya, Kak Ulfa dan Kak Sena menuntun gugus lima kembali ke lapangan parkir yang tampak sudah penuh sebagiannya oleh anak-anak gugus lain. Selang beberapa menit, seluruh anak gugus lima sudah duduk rapi. Dan sambil menunggu gugus-gugus yang lain, mereka diperbolehkan memuaskan dahaga mereka dengan meminum air yang telah dibawa. Aurel mengedarkan pandangannya, tampak bosan karena sudah dari sepuluh menit yang lalu ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Mau mengajak Fanya mengobrol pun, ia terlalu lelah untuk membuka suara. Serta malas untuk memikirkan topik apa yang akan dibahas. Di detik selanjutnya, terlihat bahwa gadis yang rambutnya dikepang itu terkejut. Pasalnya, tiba-tiba saja Alfi sudah duduk di kursi yang tepat berada di depannya. Kurang lebih lima langkah. Tentu saja perempuan itu tidak berani melihat ke depan karena rasa gugup yang tiba-tiba muncul. Sementara di sisi lain, Alfi terlihat terus menatap Aurel. Seolah menunggu gadis yang sedang bergerak gelisah itu menatapnya. Dan saat itu tiba, ia langsung membuka mulut. "Tadi dapat tugas di kelas berapa?" Suara Alfi hanya sedikit terdengar sebab situasi di sekitar mereka terlalu bising. Aurel yang tampak canggung langsung menjawab. "Mipa 1." "Dua belas?" Aurel menggeleng. "Sebelas." Kemudian Aurel menunduk dan memainkan gantungan tas di atas pahanya. Terlalu gugup untuk lebih lama melakukan kontak mata dengan Alfi. Seakan teringat sesuatu, Aurel membelalakan mata dan mendongak. Mendapati Alfi yang masih menatapnya. Sebelum ia membuka suara, Alfi sudah lebih dulu memberi isyarat pamit pergi kepadanya. Pun Aurel dengan canggung mengangguk sambil tersenyum. Kenapa gak nyadar kalo itu kelasnya Kak Alfi, sih? Ogeb, emang! ??? Aurel membuka ponsel di dalam tasnya, melirik jam di sudut atas layar, lalu kembali mematikan ponsel dan menutup tasnya. Padahal sebenarnya gadis itu bisa saja melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia hanya sengaja melakukan sesuatu yang lebih merepotkan agar tidak mati kebosanan. Lantas meregangkan sedikit tangannya yang terasa pegal sebelum melirik ke arah kiri depan. Alfi dan temannya Kino tampak sedang berjalan sambil berbincang. Memang mereka berdua itu tidak terpisahkan. Mata Aurel terus melihat kakak kelasnya itu sampai Alfi duduk di bangku yang didudukinya tadi–beberapa langkah tepat di depan Aurel-. Entah kenapa merasa sedikit kecewa karena lelaki itu duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya. Alasannya sesederhana karena ia refleks menjadi panik akan hatinya yang akan berdebar tidak karuan serta takut kemungkinan ketahuan mencuri pandang pada lelaki itu semakin besar. Beruntung ada Kino yang tidak berhenti mengajak Alfi berbicara. Sehingga Aurel tanpa mengurangi kadar kehati-hatiannya, mengawasi setiap pergerakan kecil Alfi, dari yang tertawa kecil karena ucapan Kino, memukul pelan lengan temannya itu, sampai tiba-tiba matanya dan Aurel yang bertemu. Mampus! Gadis itu spontan langsung menundukkan kepala, tertangkap basah sedang mengamati kakak kelasnya. Perasaannya jadi tidak enak. Aurel menduduk cukup lama hingga akhirnya ia memilih untuk tidak terlalu merasa malu. Toh, pasti banyak juga gadis di sini yang selalu menatap pria itu begitu. Setelah mengumpulkan keberanian dan kepercayaan dirinya yang melebihi rata-rata, Ia mengangkat kepala dan kilatan cahaya langsung menyambutnya. Jelas saja berasal dari kamera Alfi yang dipegang satu tangan di depan perutnya. Anjir! Anjir! Anjir! "Senyum," Alfi menggerakkan mulutnya tanpa membuka suara. "Ha?" Lagi, kilatan itu menyambar wajah Aurel yang masih bingung. Mata Aurel berkedip beberapa kali karena cahaya itu, dan menjadi kesal karena dirinya yang tidak bisa diajak bekerja sama. Alfi terkekeh. Dan mengulangi gerakkan mulutnya dengan lebih pelan. Aurel hanya berohria sesudah mengerti maksud ucapan Alfi. Aurel pun menarik sudut bibirnya, mengharapkan ini adalah senyuman yang cukup manis untuk diabadikan kakak kelas tampannya. Diam-diam berusaha melupakan sejelak apa aib yang tadi dijepret Alfi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD