bc

Hai Om (Menjadi Istri Teman Papaku)

book_age18+
715
FOLLOW
6.5K
READ
HE
love after marriage
age gap
opposites attract
arrogant
boss
heir/heiress
kicking
city
seductive
wild
like
intro-logo
Blurb

ZONA DEWASA! HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!

“Dara, aku memberimu dua pilihan. Buka pintunya secara sukarela dan aku akan memberimu keringanan hukuman atau kamu mau aku buka paksa pintunya dan jangan protes kalau aku memberimu hukuman tambahan,” ancamnya.

Aku mencebik. “Kamu pikir aku bodoh, aku sudah mencuri kunci cadangan pintu kamar ini, mana mungkin kamu punya kunci cadangan lain—”

Kata-kata yang barusan kulontarkan seketika kembali padaku menjadi sebuah tamparan keras. Aku terhenyak saat pintu kamarku tiba-tiba terbuka lebar.

Sial, dia berhasil membukanya.

“Lihat, aku bisa membukanya,” ujar pria itu, tersenyum miring menatapku yang sedang syok.

***

Adam Praseta, usianya 34 tahun, dia adalah adik dari teman dekat ayahnya Dara—Pak Adi. Setelah kakaknya meninggal, Adam menjadi sangat dekat dengan Pak Adi. Bahkan Pak Adi sudah menganggap Adam sebagai adiknya sendiri. Karena itu, saat Pak Adi beserta istri dan anak pertamanya meninggal, Adam langsung memutuskan mengangkat Dara sebagai putrinya karena takut Dara kesepian. Namun, selama menjadi anak angkatnya, Dara selalu saja membuat ulah karena ingin mencari perhatian Adam. Dara bahkan belakangan mulai berani mengutarakan isi hatinya bahwa dia menyukai ayah angkatnya itu.

Lantas, apakah pada akhirnya Dara berhasil membuat Adam berubah status dari ayah angkatnya menjadi suaminya? Karena, suatu ketika Dara memiliki rencana, dia ingin membuat Adam tidur bersamanya.

chap-preview
Free preview
Pria Tampan
“Hai.” Aku terbengong menatap sosok pria yang berdiri di depanku. Apa aku sedang bermimpi? Parasnya benar-benar mengalihkan duniaku. Seperti pria dalam negeri dongeng, dia tinggi, bertubuh atletis, kulit bersih eksotis, dan senyumnya mampu membuat jantungku berdebar-debar. Dia sangat tampan, hingga aku merasa otot kakiku lemas melihat senyuman manis yang terukir di wajahnya. “Hei, kenapa malah bengong?” Jentikan tangannya membuatku tersentak dari lamunan. Ah, tidak sadarkah dia kalau aku sedang mengagumi rupanya. “Kamu sebenarnya berasal dari planet mana?” Pertanyaan itu secara random terlontar dari mulutku. Kedua alisnya yang tebal itu bertaut, hampir menyatu, dia menatapku dengan raut bingung. Namun, tak lama kemudian tawa kecilnya terdengar. “Kamu lucu ya,” komentarnya. Aku lucu? Apa dia baru saja memujiku? Ah, jika itu benar, aku sungguh tersipu. Tubuhku rasanya melting dibuatnya. Saat aku sibuk menatap wajah pria tampan itu, tiba-tiba saja sebuah tangan memukul kepalaku dari belakang. Kak Hansel. Dialah yang memukulku. Ya, memangnya siapa lagi yang berani memukulku kecuali pria menyebalkan itu. Walaupun pukulannya tidak terlalu keras, tapi sikap jahilnya itu membuat hatiku bergemuruh kesal. “Kak Hansel apa-apaan sih! Sakit tahu!” omelku. “Mama—mmph ....” Tangan besarnya itu dengan cepat membekap mulutku yang hendak mengadu pada mama. “Ngapain kamu masih di sini, sana pergi, katanya mau les,” ujar Kak Hansel. Aku mendengus, dengan wajah kesal menepis tangannya yang masih membungkam mulutku. Kemudian, kulihat pandangan Kak Hansel tertuju pada si pria tampan yang terkekeh kecil melihat pertengkaran kami. “Eh, Kak Adam udah sampai ya.” Kak Hansel menatap pria tampan itu dengan senyum ramahnya, seolah mereka sudah sangat akrab. Aku seketika penasaran. Apa mereka berteman? Apa pria tampan itu temannya Kak Hansel? Tapi, jika mereka berteman, kenapa Kak Hansel memanggilnya ‘kak’? Ah, mungkin pria tampan ini seniornya. “Kakak kenal sama pria ganteng ini?” tanyaku, tanpa bisa mengontrol mulutku yang secara blak-blakan memuji wajah rupawan si pria tampan di depan kami. “Tck, apaan sih, sana pergi aja, enggak usah tanya-tanya,” sungut Kak Hansel. Lalu dia kembali menatap si pria tampan yang mesem menatap kami berdua. “Jangan deket-deket sama bocah ini ya Kak, nanti kamu kena rabies,” ujar Kak Hansel, membuatku bersungut kesal, mulutnya itu memang selalu saja menyebalkan. “Ini Dara kan? Ternyata bener ya ceritamu waktu itu, dia udah segede ini,” ujar si pria tampan, membuatku terkejut dengan perkataannya barusan. Dia tahu namaku? “Kak Hansel sering cerita tentang aku ke pria ganteng ini ya? Kok dia bisa tahu namaku?” Kutatap wajah kakakku itu penuh selidik. “Kakak cerita apa aja? Tck, pasti jelek-jelekin aku.” Aku berceloteh dengan tatapan bersungut-sungut. Helaan napas berat Kak Hansel terdengar, tangan besarnya tiba-tiba mengusap wajahku dengan sengaja, membuatku mencak-mencak karena khawatir bedak yang aku pakai luntur karena perbuatannya barusan. “Kak Hansel! Kan udah aku bilang, jangan pegang-pegang muka, nanti bedakku luntur, lagian tanganmu pasti enggak higenis, bisa-bisa mukaku jerawatan karena tangan kotormu itu,” omelku. “Kalian berdua ribut apa lagi sih?” Suara mama tiba-tiba terdengar, sontak aku terdiam. Kak Hansel bahkan langsung merangkulku, berpura-pura akur di depan mama. “Loh, ini Adam kan? Kapan sampainya? Kenapa enggak telepon dulu kalau udah sampai sini.” Mama tampak tersenyum sumringah melihat si pria tampan yang berdiri di depan pintu. “Udah lama banget enggak lihat kamu, kamu apa kabar?” tanyanya. Aku mengernyit, mama ternyata juga kenal sama si pria tampan bernama Adam itu. Tapi, kok mama bisa kenal? Sebenarnya ... Kak Adam ini siapa sih? “Ayo masuk, Dam. Setelah lima belas tahun, ini pertama kalinya kamu datang ke rumahku lagi kan. Anggep rumah sendiri ya,” ujar mama. Dari sikap mama barusan, aku yakin kalau mama dan Kak Adam sudah kenal akrab. “Kak.” Aku berbisik pada Kak Hansel yang masih mengalungkan tangannya di bahuku demi berakting akrab di hadapan mama. “Hm?” Kak Hansel menanggapi tanpa minat, dia bahkan tak menoleh ke arahku dan memilih sibuk menyimak obrolan mama bersama Kak Adam. “Kak Adam itu sebenernya siapa? Kok mama bisa kenal akrab sama dia?” tanyaku, penasaran. “Apa papa juga kenal sama Kak Adam?” timpalku. “Tck, kamu ini banyak tanya, sana buruan pergi les aja, mataku sepet lihat kamu di rumah ini,” omel Kak Hansel, tentu saja dengan suara pelan, karena tak mau mama mendengar. Aku mendengus. Tapi karena memang aku harus pergi, aku pun pergi usai berpamitan dengan mama dan tentu saja si pria tampan itu. Aku bahkan memanfaatkan kesempatan ini untuk menyalimi tangannya yang ternyata sangat lembut dan halus. Sebagai perempuan aku iri sendiri dengan tangannya yang bahkan terlihat ganteng. Aku sangat berharap bisa melihatnya lagi. Semoga saja dia belum pulang saat aku balik ke rumah nanti. *** Namaku Dara. Usiaku 18 tahun. Aku murid SMA yang berada di titik terakhir perjuangan, beberapa bulan lagi aku akan menghadapi ujian kelulusan sekolah. Karena itulah mama dan papa mendaftarkanku di sebuah lembaga les yang biaya perbulannya super duper mahal. Mereka berdua melakukan ini bukan karena aku suka belajar, tapi justru karena aku tidak suka belajar, jadi mereka memaksaku untuk belajar agar setidaknya bisa lulus SMA tanpa peduli dengan peringkat yang akan aku dapatkan nanti. Berbeda dengan kakakku yang otaknya cemerlang. Aku ini bisa dibilang manusia dengan kecerdasan tingkat menengah, tapi karena rasa malasku, kecerdasanku pun akhirnya turun, dan aku menjadi yang paling bawah di kelas. Ya, akulah si peringkat terakhir. Hei, aku menceritakan ini bukan karena aku bangga menjadi yang paling o2n di kelas. Tapi, aku yakin di luar sana pasti banyak sekali yang bernasib sama sepertiku. Iya kan? Aku harap kalian mengakuinya. Ayolah jujur saja, aku tahu kebanyakan dari kalian adalah para manusia malas yang kalau disuruh belajar sukanya ngeluh kan. Karena aku juga begitu. Bahkan, saat membaca satu bait tulisan saja, aku bisa langsung menguap. Hoam~ Ya, seperti yang kulakukan saat ini. Mataku sangat lelah karena terlalu mengantuk membaca buku yang disodorkan oleh guru lesku. Aku tidak tahu kenapa aku selalu mengantuk jika berhadapan dengan buku, seakan otakku ini terlalu lelah kalau disuruh berpikir. Apalagi kalau berhadapan dengan angka-angka, ugh, aku lebih takut menghadapi soal fisika dan matematika daripada melihat hantu di tengah malam. Oh ya, aku belum kasih tahu ya. Sebodoh-bodohnya aku, aku ini anak IPA loh, hahaha, setidaknya itu yang bisa aku banggakan di depan sepupuku. Walaupun ... sebenarnya aku masuk IPA karena desakan dari orang tuaku. Ya, begitulah hidupku, harus menuruti kemauan mama dan papaku. “Dara.” “Ya?” Aku menatap si guru les dengan raut polos. Astaga, lihat wajahnya, dia seperti orang yang sedang menahan mules di perutnya. “Harus berapa kali saya menegurmu? Tolong fokuslah,” ujarnya sambil menarik buku harian yang baru saja aku tutup. “Saya menyuruhmu menjawab soal fisika itu, bukan malah menulis buku harian,” tukasnya. “Maaf,” lirihku. Aku yakin Bu Rini mungkin muak mendengar kata maaf yang sudah sangat sering keluar dari bibirku ini. Helaan napasnya bahkan terdengar berat. “Ini sudah jam delapan malam, jadwal les kita sudah selesai, pulanglah,” cakap Bu Rini. “Tapi sebelum itu, saya ingin memberimu tugas, dan harus kamu kumpul lusa saat kita bertemu lagi,” ujarnya. Aku mendesah, dalam hati menggerutu karena lagi-lagi wanita itu memberiku PR. “Kerjakan halaman dua puluh empat sampai dua puluh enam. Untuk pilihan gandanya, kamu harus sertakan uraian jawabannya juga,” suruh Bu Rini. “Baik, Bu,” ucapku, patuh. Iya, patuh. Karena jika aku membantahnya, bisa-bisa dia mengadu pada mamaku. Setelah les privat selesai. Aku melangkah keluar dari ruangan wanita itu, berjalan lesu sambil menggendong tasku yang terasa berat, sangat berat karena ada PR yang terasa seperti beban bagiku. Setibanya di luar gedung akademi tempatku les. Aku menghidupkan ponselku yang sebelumnya kumatikan. Aku berniat menelepon papa, memintanya untuk menjemputku. “Dara!” Aku terlonjak kaget karena sebuah mobil secara mendadak menyuarakan klaksonnya dan memancarkan lampu sorot ke arahku. “Buruan masuk, papa suruh aku jemput kamu,” tukas seorang pria. Dari suaranya yang terdengar menyebalkan, aku tahu siapa dia, itu pasti Kak Hansel. Tck, aku paling males kalau dijemput sama dia. Pasti di sepanjang jalan nanti dia akan ngomel-ngomel karena sebenarnya enggan menjemputku. “Woi, malah diem aja di situ, buruan masuk,” suruhnya. Dengan langkah berat, aku mendekati mobilnya, mobil hitam yang dihadiahkan papa untuknya dua bulan lalu. “Lelet banget sih jadi orang,” protes Kak Hansel saat aku baru saja tiba di dekat mobilnya. Namun, kali ini aku tak menghiraukan ocehannya itu, karena fokusku kini tertuju pada sosok pria tampan yang duduk di samping kemudi. Tuhan sangat baik padaku, aku benar-benar bertemu lagi dengan si pria tampan. Ah, Kak Adam, berkatmu semua lelahku langsung luntur terhempas udara malam. “Hai, Dara.” Oh, Tuhan. Jantungku dalam masalah besar.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.4K
bc

My Secret Little Wife

read
95.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook