Kabar Mengejutkan

1912 Words
“Apa?” Aku terbeliak kaget usai mendengar jawaban kakakku barusan. “Jadi, Kak Adam itu temennya papa, bukan temen kakak?” tanyaku. “Tapi bukan temen yang seumuran. Jadi, dulu papa punya temen deket yang udah papa anggep kayak saudara sendiri, tapi temennya itu meninggal karena kanker tulang, dan si temennya ini punya adik, adiknya itu ya si Kak Adam,” terang Kak Hansel. “Karena mereka sering ketemu, akhirnya papa sama Kak Adam juga jadi deket, udah kayak saudara sendiri. Mereka juga bangun bisnis bareng. Apalagi pas aku kuliah, aku tinggal di rumahnya Kak Adam,” papar kakakku. Aku menyimak semua cerita Kak Hansel sambil memijat kakinya demi mendapatkan semua penjelasan yang membuatku penasaran dengan sosok Kak Adam. Sekarang, sudah terjawab semua. Aku sudah tahu siapa Kak—eh kayaknya lebih pantes aku panggil dia om deh, soalnya umur kami beda 12 tahun. Dia 30 tahun, sedangkan aku masih bocah remaja yang berusia 18 tahun. Rasanya lemas mengetahui pria yang aku sukai ternyata seorang om-om. Aku hampir tertipu karena wajah tampannya itu. Tapi, walaupun usianya sudah tua, jujur aku mau saja kalau dia mengangkatku menjadi sugar baby-nya. “Apa dia udah nikah?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku. “Siapa yang udah nikah?” Suara lain tiba-tiba terdengar. Aku yang duduk di tepi ranjang kakakku langsung bangkit dengan wajah terkejut melihat kedatangannya. “Om Adam ada perlu apa dateng ke sini?” tanyaku sambil memperhatikan gerak-geriknya yang saat ini duduk di tepi ranjang Kak Hansel, bekas tempat dudukku tadi. “Om Adam mau nginep di sini ya?” Aku kembali bertanya. Kening Om Adam tampak berkerut, ruang kosong di dahinya membentuk guratan garis-garis tipis. Dia mengernyit menatapku. “Kamu baru saja panggil aku om?” Dia sepertinya heran. “Kak Hansel bilang umur Om Adam 30 tahun, jadi wajar dong aku manggilnya om,” jelasku. Pria itu mesem mendengar penjelasanku. “Jadi kamu sudah tahu usiaku ya. Sayang sekali, padahal sebelumnya aku senang kamu mengira aku masih muda,” tuturnya. Kemudian dia mengubah posisinya, sedikit menggeser tubuhnya hingga berada cukup dekat di samping Kak Hansel yang masih berbaring tengkurap sambil asyik memainkan game-nya, bahkan pria itu tak menghiraukan percakapanku dengan Om Adam. “Kamu masih mau di sini?” Om Adam bertanya, melihatku yang masih berdiri mematung di dekat ranjang Kak Hansel. “Duduk sini kalau belum mau pergi,” anjurnya sambil menepuk sisi kosong di sampingnya. “Balik aja sana ke kamarmu, Dar,” suruh Kak Hansel, dia bangkit dari posisinya, lalu menatapku sekilas. “Aku sama Kak Adam mau melakukan rutinitas sebagai seorang pria, jadi kamu sebagai kaum hawa sebaiknya pergi,” ujarnya. Aku mencebik. Pasti rutinitas yang dia maksud adalah bermain game sampai larut malam dan terkadang mengobrolkan para cewek dengan pembahasan mesumnya. Aku tahu karena dulu kakakku cukup sering membawa temannya menginap di rumah ini, dan terkadang aku sampai tidak bisa tidur karena mendengar suara keributan dari kamarnya. “Buruan keluar,” usir Kak Hansel. Helaan napasku berembus berat, dengan wajah masam aku melangkah keluar dari kamar itu. “Selamat malam,” ucapku ketus, lalu melangkah keluar dari kamar itu dengan langkah menghentak keras. *** Ehem. Aku berdehem pelan sambil menempel pada sosok Bima yang sedang membaca buku biologi. Bima adalah anak paling pintar di sekolah. Dialah murid yang paling agung di mata para guru. Sebenarnya dia dan aku tidak satu kelas. Dia dari kelas IPA 1, sedangkan aku kelas IPA 5. Tapi, karena aku adalah tipe orang yang aktif alias pecicilan. Jadi, aku dan dia saling kenal. Lebih tepatnya, aku sengaja mendekati dia demi mendapatkan keuntungan. Ya, keuntungan agar dia mau membantuku mengerjakan PR dari guru kimia, fisika dan matematika yang kebetulan sekali kelas kami memiliki guru yang sama. “Bima,” bisikku. Bima menoleh, seperti biasa dia tersenyum menyambut kehadiranku. “Lagi sibuk ya?” tanyaku. Dia menggeleng pelan. “Boleh minta bantuan enggak?” Dia mengangguk. Jangan heran ya kalau Bima hanya menjawabku dengan gerakan badannya saja. Karena sebenarnya Bima ini bisu. Eits, bercanda. Bima enggak bisu, tapi Bima itu orangnya memang pendiem, dia introvert. Saking introvert-nya, dia jarang banget bicara. Bahkan dia enggak punya temen selain aku. Dulu sebelum aku deketin dia, dia selalu menyendiri, kadang bahkan sering menghabiskan waktunya di perpustakan dan sibuk dengan buku-buku tebal favoritnya. “Guru lesmu pasti kasih kamu PR lagi ya?” tebak Bima. Cengiranku terurai mendengar tebakannya barusan. “Bintang sepuluh buat kamu, Bim. Tebakanmu benar,” ujarku sembari memberinya tepukan tangan meriah. Bima mesem melihat tingkahku. “Aku bisa bantu kamu, tapi untuk kali ini aku enggak akan bantu seperti sebelumnya,” tutur Bima. Keningku berkerut. “Maksudnya gimana?” Dia menghela napasnya pelan, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Kemudian memberikannya padaku. “Aku dapet undangan kuliah di Madinah, jadi mulai sekarang aku bakal bantu kamu belajar, bukan kerjain PR kamu,” ujarnya. “Karena satu minggu lagi aku enggak sekolah di sini lagi,” terang Bima. “Loh, kan kita belum ujian kelulus—” Aku terdiam saat aku sadar kalau Bima itu sangat cerdas, bahkan dia sering mendapatkan penghargaan tingkat nasional dan internasional, jadi bukan hal mustahil baginya bisa mulai mengurus kuliah sebelum ujian kelulusan yang tinggal beberapa bulan lagi. Apalagi dia diundang langsung oleh universitas itu. “Nanti setelah pulang sekolah, kita ketemu di kafe biasa ya. Aku yang traktir, kita belajar di sana,” cakap Bima. Aku menghela napas berat, merasa sedih karena tidak lama lagi akan berpisah dengan sosok Bima yang selalu baik padaku. “Oke deh, kalau gitu sampai ketemu nanti ya, see you,” pamitku, tepat saat bel masuk berbunyi. Bima mengangguk, melambaikan tangannya sambil tersenyum hangat padaku. Senyumku pun terukir, aku membalas lambaian tangannya sambil berjalan mundur menuju pintu keluar kelas. Apesnya diriku, saat aku sedang asyik melambaikan tangan ke arah Bima, tubuhku tanpa sengaja menabrak seseorang, hingga membuatku jatuh tersungkur ke lantai kelas. Semua murid yang kulihat sudah duduk rapi di meja masing-masing tampak menertawakanku seperti melihat badut yang jatuh. Sialan mereka ini. Hanya Bima yang tampak khawatir padaku, tapi dia tetap diam di kursinya karena ternyata yang aku tabrak adalah guru matematika yang terkenal super galak. Bahkan Bima pernah bercerita kalau dia diomeli guru itu karena memberikan contekan padaku. “Dara. Kamu dari kelas IPA 5 kan. Kenapa kamu ada di kelas ini? Pasti mau minta Bima kerjain PR-mu lagi,” omel guru perempuan itu, Bu Gita namanya. Aku bangkit dengan wajah tertunduk, rasanya aku ingin menjawabnya, tapi mama selalu mengajariku adab bersikap sopan pada semua guru-guruku. Sekalipun aku diomeli ataupun mendapat hukuman dari pada guru karena kebandelanku. “Buruan balik ke kelasmu sana,” suruh Bu Gita. “Baik, Bu,” ucapku. Setelah itu, aku bergegas keluar. Sebelum aku benar-benar pergi dari sana, aku sempat menoleh sekilas ke dalam kelas itu melalui jendela, kulihat Bima menatapku khawatir, dia pasti cemas karena tadi aku sempat tersungkur ke lantai. Dari gerakan bibirnya, Bima mengucapkan sepenggal kalimat, ‘kamu baik-baik aja?’ Aku tersenyum, lalu membalas dengan bahasa isyarat yang kami pelajari bersama. ‘Aku baik-baik saja’. “Dara! Ngapain masih gangguin Bima, pergi ke kelasmu atau saya suruh kamu keliling lapangan,” amuk Bu Gita, memergokiku yang sedang cengengesan bersama Bima menggunakan bahasa isyarat. Aku pun sontak berlari terbirit-b***t menjauh dari kelas IPA 1. Saat hampir tiba di kelasku, sosok Ayumi secara mendadak menghalangi jalanku. “Dara, lo dari mana aja sih?” Ayumi, si ketua kelas IPA 5. “Aku dari IPA 1, ada apa, Ay?” “Tck, dari tadi gue ariin lo,” ujar Ayumi. “Lo dipanggil sama Bu Tut—” “Panggilan untuk siswi bernama Dara Larasati kelas 12 IPA 5, dimohon untuk datang ke kantor guru sekarang juga. Sekali lagi, panggilan untuk siswi bernama Dara Larasati kelas 12 IPA 5, dimohon untuk datang ke kantor guru sekarang juga.” Suara dari pengeras suara itu menggema ke penjuru sekolah. Aku sempat terbengong mendengar namaku disebut. Selama tiga tahun aku sekolah di sini, baru kali ini namaku disebut melalui pengeras suara. “Ay, barusan yang disuruh ke kantor gue kan?” tanyaku pada Ayumi. Raut wajah Ayumi tampak menatapku iba, aku heran dengan tatapannya itu. “Tadi pas gue ke kantor guru, Bu Titi suruh gue buat panggil lo dateng ke kantor guru,” terangnya. “Emangnya ada apa?” Aku bertanya. “Em, itu ... gue enggak sanggup jelasinnya, jadi lo dateng aja deh ke kantor, nanti lo tahu sendiri,” ucap Ayumi, lagi-lagi aku dibuat penasaran dengan raut wajahnya yang menatapku seperti seseorang yang iba, melas, kasihan dan sejenisnya. Aku menghela napas panjang, lalu berlalu pergi dari depan kelas IPA 5. “Dara, lo yang kuat ya,” seru Ayumi, menatap kepergianku. Aku hanya mengacungkan jempol padanya sembari terus berjalan menjauh. Jarak kantor guru dan kelasku tak begitu jauh, hanya terhalangan lapangan yang tak begitu luas. Setelah menyeberangi lapangan itu, aku masuk ke sebuah pintu yang memiliki tanda peringatan bertuliskan ‘murid dilarang keluar masuk ke dalam gedung’. Larangan itu ditulis karena di dalam gedung ini terdapat kantor guru, ruang rapat, ruang kepala sekolah dan masih banyak lagi ruang penting lainnya. Usai menyusuri koridor, aku tiba di kantor guru, sebelum masuk, aku mengetuk pelan pintu itu, barulah kakiku masuk ke dalam sana. Ada satu hal yang membuatku heran sekaligus bertanya-tanya. Saat kakiku berpijak masuk ke dalam ruang guru, aku mendapati Om Adam duduk di kursi dekat meja Bu Titi, mereka berdua sedang mengobrol, raut wajah Bu Titi terlihat sama seperti raut wajah Ayumi tadi. Ada apa ini? Perasaanku tiba-tiba tidak enak. “Dara, akhirnya kamu datang juga. Sini, Nak.” Bu Titi menyambut kehadiranku dengan hangat. Aku tidak heran lagi melihat sikap baiknya itu, dia adalah wali kelasku dan satu-satunya guru di sekolahan ini yang baik padaku walaupun aku bukan murid berprestasi. “Ada apa, Bu? Apa saya berbuat salah sampai saya dipanggil melalui pengeras suara?” tanyaku, dengan hati yang sudah dibalut cemas. Sesekali aku melirik Pak Adam yang menatapku sendu. “Om Adam kenapa ada di sini?” tanyaku padanya. “Dara, dengerin ibu ya, Nak. Tapi ibu mohon sama kamu, kamu harus kuat ya,” ucap Bu Titi. Perkataannya itu membuat jantungku berdebar. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba situasinya menjadi seperti ini? Bahkan kulihat semua guru tampak menatap ke arahku, tatapan mereka semuanya sama, memandang melas dan kasihan padaku. “Dara, orang tuamu mengalami kecelakaan,” terang Bu Titi kemudian. Deg! Jantungku serasa disengat seekor lebah, seperkian detik rasanya berhenti berdetak. “Tapi mereka masih hidup kan?” Kutatap wajah Om Adam lekat, berharap pria itu mengucapkan kata ‘iya’ dari bibirnya. Namun, harapanku musnah saat dia mengucapkan satu penggal kata yang membuat napasku seketika menyesak, seakan ada batu besar yang mengganjal di ujung tenggorokan. “Maaf ...,” lirihnya, dengan raut wajah yang tampak sangat pilu. “Mereka pasti masih hidup kan?” Aku kembali mengulangi pertanyaan itu dengan bulir bening yang mulai mengalir dari netraku. Rasanya sulit menerima kenyataan kalau orang tuaku telah tiada. Ini pasti hanya mimpi, aku harap begitu. “Maaf, Dara. Tapi mereka meninggal di tempat. Hanya Hansel yang masih selamat, tapi sekarang dia sedang kritis,” jawab Om Adam. Telingaku rasanya berdenging mendengar penjelasan Om Adam barusan. Napasku semakin terasa sesak, aku tidak bisa menghirup udara di sekitarku. Kulihat para guru bergerak panik mendekatiku, beberapa dari mereka berusaha menenangkanku. Kepalaku rasanya kosong, aku menatap mereka tapi seolah dunia menjadi sangat sunyi dan perlahan menggelap, hingga tak lama kemudian, kegelapan benar-benar menghampiriku. Mama. Papa. Aku bisa melihat kalian tersenyum padaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD