Menjadi Anak Angkatnya

1516 Words
Empat tahun kemudian. “Dara!” Suara bariton itu menggelegar ke penjuru rumah. Aku yang mendengarnya langsung berlari terbirit masuk ke dalam kamar. Sial. Pasti ada yang mengadukan kepulanganku pada pria cerewet itu. “Dara, keluar kamu. Kita perlu bicara.” Dia mengetuk pintu kamarku keras, bahkan lebih seperti menggedornya dengan kasar. Namun, aku harus tetap tenang. Karena ini bukan pertama kalinya dia mengomel padaku. “Dara, buka pintunya.” “Enggak mau.” “Buka atau aku dobrak.” “Dobrak aja kalau kuat.” “Kamu ngeremehin aku ya.” “Lah, kamu sendiri yang bilang kalau mau dobrak. Ya udah dobrak aja. Tapi jangan salahin aku kalau ada tulangmu yang patah,” ujarku sambil melipat kedua tangan, menatap pintu kamar tanpa khawatir bisa dibuka oleh pria itu. Aku sangat yakin dia tidak akan pernah bisa membuka pintu kamarku. “Bi, tolong ambilkan kunci cadangan kamarnya Dara di laci ruang tengah, dekat televisi,” kata pria itu pada asisten rumah tangga. Aku mengernyit mendengarnya. Dia pasti hanya menggertakku kan? Setahuku kamar ini tidak lagi memiliki kunci cadangan setelah dua bulan lalu aku mencuri kunci cadangan yang disimpan pria itu di ruang kerjanya. “Dara, aku memberimu dua pilihan. Buka pintunya secara sukarela dan aku akan memberimu keringanan hukuman atau kamu mau aku buka paksa pintunya dan jangan protes kalau aku memberimu hukuman tambahan,” ancamnya. Aku mencebik. “Kamu pikir aku bodoh, aku sudah mencuri kunci cadangan pintu kamar ini, mana mungkin kamu punya kunci cadangan lain—” Kata-kata yang barusan kulontarkan seketika kembali padaku menjadi sebuah tamparan keras. Aku terhenyak saat pintu kamarku tiba-tiba terbuka lebar. Sial, dia berhasil membukanya. “Lihat, aku bisa membukanya,” ujar pria itu, tersenyum miring menatapku yang sedang syok. Karena aku sudah kalah, aku harus segera membuat jurus akhir pertahanan, seketika aku menekuk lutut di hadapannya sembari menatapnya dengan tampang paling melas agar pria itu luluh dan mau memaafkanku. “Aku janji enggak akan nginep di luar lagi, janji,” kataku sambil menundukkan kepala, berpura-pura terlihat menyesal di depannya. “Sudah puluhan kali kamu bilang kayak gitu, Dara. Dan kamu selalu mengingkarinya. Kali ini aku tidak akan percaya lagi dengan janji palsumu itu,” cakapnya. Kemudian dia menatap ke arah Bi Ida—asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah ini. “Bi, mulai hari ini dan satu minggu ke depan, biarkan Dara yang mencuci semua pakaian kotor. Bibi harus awasin dia, kalau sampai dia enggak laksanain hukumannya itu, lapor ke saya,” titahnya. Seketika aku mendongak, menatapnya dengan tampang protes. “Om, jangan gitu dong. Nanti kalau tanganku lecet gimana. Aku juga enggak bisa bersentuhan langsung sama deterjen, tanganku bisa iritasi,” keluhku. “Kalau gitu selama dua minggu kedepan, kamu juga harus bersihin kamar mandi,” ujarnya. Aku terbeliak, bukannya mengurangi hukuman, dia justru menambahkan hukumannya padaku. Tck, sialan pria kejam ini. Rasa-rasanya aku ingin sekali mencakar wajah tampannya itu dengan kuku-kuku cantikku ini. “Selama masa hukumanmu, kamu juga dilarang keluar dari rumah ini, kecuali kamu punya urusan mendesak di luar. Dan kalaupun kamu keluar, aku yang akan mengantarmu,” timpalnya. Aku mendesah, seketika membuang mukaku saat dia mencoba beradu pandang. “Dasar manusia enggak berperasaan!” celetukku. “Aku kan bukan anak kecil lagi.” “Aku enggak mau kamu terpengaruh pergaulan bebas di luar sana, Dara. Lagian sebelum kamu jadi bandel seperti sekarang ini, aku enggak pernah melarangmu pergi ke manapun. Aku pernah memberimu kebebasan, tapi kebebasan yang kuberikan itu justru membuatmu bertingkah di luar batasan. Kamu bahkan sudah beberapa kali berbuat seperti ini, tidak pulang semalaman tanpa izin dariku, dan lihat baju yang kamu pakai saat ini, kalau sekali lagi aku lihat kamu pergi keluar pakai pakaian seperti itu, awas kamu,” tegasnya. Setelah itu dia berlalu pergi dengan wajah bersungut-sungut, seolah sedang menahan kekesalannya agar tidak tumpah semua. “Aku benci Om Adam,” seruku. Langkahnya seketika terhenti. ‘Mampus!’ ‘Harusnya aku enggak asal bicara.’ Aku sempat was-was, khawatir dia berbalik ke hadapanku dan mengomel lagi. Namun, beberapa saat menunggu, dia bahkan sama sekali tidak menoleh padaku. Dia hanya berdiam diri sejenak, lalu kembali melangkah pergi dari kamarku setelah menghela napasnya. Aku mendengus menatap kepergiannya. Dia bahkan tidak peduli saat aku mengatakan benci padanya. Sebenarnya, aku tidak benar-benar membencinya. Tapi, memang seperti inilah konflik yang terjadi antara aku dan Om Adam selama tiga tahun terakhir. Oh ya, mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa sekarang aku sedekat ini dengan Om Adam. Baiklah, aku akan menceritakannya. Empat tahun yang lalu, setelah orang tuaku meninggal, Kak Hansel yang kritis pun turut pergi meninggalkanku. Kemudian, Om Adam tiba-tiba mengajukan diri untuk menjadi orang tua angkatku. Dan akhirnya, namaku pun tertulis di daftar kartu keluarganya sebagai seorang anak. Tck, padahal aku sangat berharap namaku dan namanya tertulis sebagai suami dan istri. Tapi, apalah dayaku. Pada tahun pertama menjadi anak angkatnya, kami sangat rukun. Aku patuh pada setiap aturan yang dibuatnya, bahkan dia selalu tenang setiap kali berhadapan denganku. Sangat berbeda dengan dirinya saat ini. Namun, pada tahun kedua, sifatku berubah. Sejak saat itu, aku mulai menjadi sosok perempuan yang bandel. Beberapa kali aku terlibat perkelahian dengan banyak orang, tak hanya berkelahi dengan perempuan, terkadang aku juga berkelahi dengan kaum laki-laki, bahkan saking gatalnya ingin mencari masalah, aku juga pernah bertengkar dengan bencong-bencong, hingga aku sering sekali keluar masuk kantor polisi, untungnya bukan sebagai tahanan. Tapi, sebenarnya aku punya alasan atas semua kenakalan yang aku lakukan. Aku merasa setiap kali aku membuat masalah, Om Adam akan mengesampingkan semua urusannya dan hanya fokus pada diriku. Aku sangat senang melihatnya panik, cemas dan marah padaku. Karena itu artinya dia masih peduli denganku. Bisa dibilang aku ini adalah orang yang sangat suka sekali caper dengan cara mencari masalah. Dan aku paling suka mencari perhatian pada Om Adam. Karena, dulu saat aku masih menjadi Dara yang pendiam dan patuh padanya, dia justru sering mengabaikanku karena disibukkan oleh pekerjaan, bahkan aku sempat mendengar desas-desus kalau dia berpacaran dengan seorang wanita dan akan menikah dengan wanita itu. Itulah salah satu alasanku mulai memberontak. Aku tidak mau Om Adam—satu-satunya orang yang aku percaya dan aku miliki di dunia ini diambil oleh orang lain. Pokoknya, sampai kapan pun Om Adam hanya boleh peduli padaku, dan tidak ada yang boleh mengambil Om Adam dariku. Titik. “Neng Dara, ayo berdiri. Nanti kakinya bisa sakit loh,” ujar Bi Ida yang masih berada di kamarku. Lamunanku seketika pecah, aku pun lantas mengulurkan tangan padanya, meminta tolong padanya untuk membantuku berdiri. “Akh!” Aku meringis saat kakiku rasanya kaku, bahkan suara gemeletuk tulang terdengar tatkala aku mencoba bangkit dari posisi berlututku. “Tuh kan sakit beneran kakinya Neng Dara. Sini duduk Neng, biar saya pijit kakinya?” tawar Bi Ida, menatapku cemas. “Enggak usah, Bi. Cuma kebas doang kok,” tolakku. Bi Ida menghela napas panjang, masih memandangku dengan tatapan cemasnya. “Aku beneran enggak pa-pa, Bi,” kataku, meyakinkannya agar beliau tidak terlalu mengkhatirkanku. “Neng Dara, udahan ya nakalnya. Pak Adam itu beneran khawatir sama Neng Dara. Bahkan semalaman Pak Adam enggak tidur karena cemas sama Neng Dara yang enggak pulang-pulang ke rumah,” ujar Bi Ida. Aku mengembuskan napas berat sambil merebahkan bokongku di tepi ranjang. “Kalau aku berhenti nakal, nanti dia bakal cuekin aku lagi kayak dulu, Bi,” terangku. Bi Ida adalah satu-satunya orang yang mengetahui alasanku melakukan pemberontakan. Karena sejak dulu beliaulah yang selalu menjadi tempat curhatku. “Pak Adam enggak pernah cuekin Neng Dara. Bahkan orang yang paling Pak Adam peduliin di dunia ini cuma Neng Dara,” cakap Bi Ida. “Tapi nanti kalau dia udah nikah, dia pasti bakal lebih peduli sama keluarga barunya, Bi. Pokoknya aku bakal buat dia sibuk ngurusin kenakalanku sampai dia lupain pacarnya itu.” Napas berat Bi Ida terdengar, aku menatap wanita paruh baya itu lekat, kulihat dia sangat khawatir padaku. “Bibi tenang aja, aku juga tahu batasan kok. Aku nakal tapi aku enggak akan aneh-aneh,” kataku. “Pokoknya Neng jangan sampai nginep sama laki-laki di hotel, jangan minum alkohol dan jangan sampai konsumsi obat-obatan terlarang ya. Neng Dara harus janji,” ujar Bi Ida. “Iya, Bibi. Dara janji,” ucapku sambil mengeluarkan cengiran andalan yang aku miliki. Saat aku sedang asyik mengobrol dengan Bi Ida, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari seseorang. Aku dan Bi Ida sontak menoleh ke arah pintu kamarku yang masih terbuka lebar. “Nona Dara, Pak Adam suruh saya bawa Nona ke butik untuk pilih gaun yang akan Nona kenakan nanti malam,” ujar seorang pria, dia merupakan asisten pribadinya Om Adam. Namanya Aren. Tapi bukan gula aren ya. Namanya aja yang memang agak aneh. “Emangnya nanti malam ada acara apa?” tanyaku. “Salah satu temannya Pak Adam ada yang menikah, jadi Neng Dara diajak ke acara itu,” sahut Bi Ida. Aku menghela napas berat. Sebenarnya aku senang saja diajak ke acara seperti itu. Tapi yang membuatku tidak senang, aku yakin Om Adam pasti juga mengajak wanita itu, dan aku sangat benci jika harus bertemu dengan wanita itu, ya wanita itu, pacarnya Om Adam—yang selalu bersikap sok baik di depanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD