Sembilan-Liburan

2000 Words
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Audrey melanggar aturan sang papa. Waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Harusnya dia sudah ada di rumah, mengingat dia masih terikat jam malam. Namun, malam ini dia melanggar. Suara ingar-bingar club makin terdengar memekakan telinga. Pengunjung club tampak larut dengan dunia malam yang seolah menjanjikan bagi mereka. Termasuk Audrey. Dia bergoyang seorang diri di lantai dansa. Malam ini dia ingin menghilangkan rasa penat di kepala dan beban yang selalu menempel di pundaknya. Audrey sangat lelah menghadapi sikap otoriter bosnya. Dia lelah dengan kehidupannya yang itu-itu saja. Dia sebal karena tadi Dean meninggalkannya. Untuk alasan terakhir Audrey ragu-ragu, apa benar dia marah karena Dean meninggalkannya. Entahlah, satu yang pasti sepanjang hari dia tadi ingat dengan lelaki itu. Kini jalan satunya-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah bersenang-senang. Dia tak peduli dengan mata bengkak esok hari. Dia tak peduli tindakan ini membuatnya tak bisa konsentrasi dalam bekerja esok hari. Dia tak peduli apapun, dia hanya memperdulikan dirinya sendiri. Dia butuh bersenang-senang, menikmati hidup seperti gadis lainnya. “Ahh!!” Saat asyik bergoyang, kepalanya mulai terasa berat. Seketika dia menghentikan gerakan tangannya, berganti memegangi kepala. Dia menatap ke depan masih sambil asyik bergoyang. Dia menarik napas panjang mencoba menghilangkan rasa pusing itu tapi bukannya hilang, rasa itu semakin terasa. Audrey memutuskan menjauh daripada pingsan dan menjadi santapan pengunjung lelaki. Dia berjalan keluar masih dengan memegangi kepala. Sesampainya di pintu keluar, Audrey menyandarkan tubuhnya di tembok sambil merogoh ponselnya di clutch-nya. 30 misscall. 10 massage. Jemarinya membuka notif itu. Dia tak kaget melihat semua pesan itu dari papanya. Audrey menghela napas lalu berjalan ke mobilnya yang terparkir. “Gue harus kuat pulang!” tekadnya. Tak sampai satu jam, dia sampai di rumah bernuansa klasik penuh dengan ukiran kayu. Audrey menyandarkan kepalanya di atas kemudi mengistirahatkan tubuhnya sejenak sebelum menerima amukan dari papanya. Tok! Tok!! Ketukan di jendela mobil seketika membuatnya terjaga. Dia mengangkat wajah, lalu menoleh. Tubuhnya seketika menegang melihat wajah papanya dari balik kaca. Audrey tak mendapati raut kemarahan. Hal itu malah membuatnya semakin ketakutan. Buru-buru Audrey membuka pintu. Menyelinap keluar hingga berdiri di depan papanya dengan kepala tertunduk. “Masuk!!” Arah pandangnya tertuju ke punggung Papanya. Rasa pusing tak lagi dia pedulikan. Sekarang dia harus menerima konsekuensi dari perbuatannya itu. Sesampainya di dalam rumah, Audrey mendapati Papanya duduk di ruang tamu. Dia berjalan pelan lalu duduk di depan Papanya. “Tadi lembur?” Isal memulai sesi interogasi. Sebenarnya dia sangat marah ke Audrey karena tak memberi kabar tapi sebisa mungkin dia meredam amarahnya. “Enggak, Pa,” jawab Audrey takut-takut. Dia menunduk sambil memainkan ujung resleting tasnya. “Kenapa pulang larut dan nggak ngabari Papa?” Audrey memejamkan mata. Rasanya aneh dengan situasi seperti ini. Dia tadi membayangkan kalau Papanya akan marah-marah, lalu selesai. Bukan malah bertanya dengan nada dingin seperti ini. “Audrey main dulu, Pa.” “Main di club?” tanya Isal dengan senyum miring. Dia mencium bau alkohol yang keluar dari mulut Audrey ketika anaknya itu berbicara. “Dree. Papa nggak ngelarang kamu pergi ke club. Tapi Papa pengen kamu tahu batasan. Tahu batasan kamu harus pulang. Tahu batasan apa yang bisa kamu minum dan tidak. Bukan kayak gini.” Dinasihati dengan cara seperti ini membuat Audrey ingin menangis. Dia sadar kelakuannya dan menyadari kesalahannya. “Maaf, Pa. Audrey suntuk,” jawabnya apa adanya. Isal menghela napas panjang. Dia tahu apa yang dialami anaknya tapi dia tak membenarkan tindakan Audrey yang pulang larut dan mabuk-mabukan. “Dree. Nggak gini caranya.” Air mata yang tadi Audrey tahan, tak lagi terbendung. Dia terisak di depan Papanya. Dadanya sesak oleh penyesalan, selain itu dia juga sangat lelah dengan pekerjannya. Atau karena dia sedang emosional hingga menjadi seperti ini? “Kamu butuh liburan? Oke! Papa akan bicara ke Jaya. Biar kasih kamu cuti.” Ucapan itu membuat Audrey mengangkat wajah dan menatap Papanya tak percaya. “Beneran, Pa?” “Ya. Kamu anak Papa satu-satunya. Papa nggak mau masa depanmu hancur karena kamu terlalu suntuk dan salah melampiaskan rasa suntukmu.” “Jadi Papa maafin Audrey?” Isal mengangguk pelan. Dia sadar selama ini terlalu keras ke Audrey. Secara tak langsung itu juga berpengaruh ke perilaku anaknya. “Papa maafin kamu. Tapi ingat, jangan diulangi.” Audrey mengangguk mantap, seolah sedang berjanji. “Makasih ya, Pa. Maafin Audrey.” “Sama-sama. Papa ngelarang kamu pulang malam, semua demi kamu sendiri, Dree. Papa nggak mau anak semata wayang Papa terlalu larut dengan dunia malam. Bahaya.” Senyum Audrey mengembang. Beginilah risiko anak tunggal, sebanyakpun usia anak orangtua selalu protektif ke anaknya. Audrey tahu, kalau Papa sangat menyayanginya dan cara Papanya memang seperti itu.   ***   “Serius, Dree, lo dibolehin pergi?” Kina menatap gadis yang memunggunginya menghadap balkon itu. Dia masih tak percaya mendengar cerita Audrey. Sedangkan Audrey terkekeh geli mendengar pertanyaan Kina. “Iyalah. Gue dibolehin pergi liburan, sama lo. Nggak sama sepupu atau saudara gue kayak biasanya.” Malam ini, Audrey meminta Kina agar datang ke rumahnya. Sejak perbincangannya dengan papanya semalam, dia sangat antusias untuk merencanakan liburannya. Ya, papanya telah berbicara ke Pak Jaya agar memberikannya cuti selama seminggu. Audrey tentu saja senang tapi sebagai balasan dia harus rela cuti tahun depan dipotong. Dia tak mempermasalahkan itu, baginya yang terpenting adalah sekarang dia bisa liburan. “Bokap nyaranin gue ke Malang. Lo mau kan ke Malang sama gue? Katanya lo pengen banget ke Malang. Siapa tahu bisa dapet inspirasi nulis di sana.” Ucapan Audrey tampak menjanjikan bagi Kina. Gadis berambut pendek itu terdiam memikirkan ucapan menjanjikan sahabatnya itu. Di depan Kina, Audrey menatap penulis yang sedang sibuk berpikir itu. “Ayolah! Kapan lagi lo liburan sama gue? Masa terakhir liburan jauh waktu perpisahan SMA!!” kata Audrey mengompori. Kina menarik napas panjang lalu mengangguk. Tak ada salahnya dia mengikuti Audrey ke Malang. Toh dia sedang tak ada kerjaan lain. “Oke deh gue mau. Berangkat kapan?” “Besok gimana?” “Besok? Gue belum pesen tiket. Belum packing!” Tangan Audrey bergerak, menjawab ucapan Kina sebagai angin lalu. “Nggak usah khawatir. Packing bisa malem ini. Kalau urusan tiket, serahin semua sama gue yang terpenting lo ikut dan besok pagi gue tunggu di rumah.” Senyum Kina mengembang. Jika bersama Audrey, dia tidak perlu terlalu repot karena sahabatnya itu geraknya sangat cepat jika menyangkut soal liburan. Audrey tersenyum mulai membayangkan udara sejuk kota Malang. Dia membayangkan di sana hidupnya bebas. Tanpa ada kerjaan dan tanpa ada perintah Pak Jaya. Tanpa ada pengganggu. Untung-untung dia bisa menemukan tambatan hati. Senyum Audrey merekah membayangkan itu semua. “Dree, gue masih nggak ngerti deh. Kok bisa sih lo dapet jatah libur? Kan jatah libur lo tahun ini udah habis,” Kina masih saja tak mengerti. “Bantuan bokap sih sebenernya. Gue kemarin mabuk. Terus diinterogasi,” cerita Audrey membuat Kina kaget. “Seriusan, Kin. Awalnya gue kira gue bakal kena amuk. Eh ternyata enggak.” Kina tersenyum lalu mengacak rambut Audrey. “Lo anak satu-satunya, Dree. Nggak mungkin lah lo dimarahin bokap lo.” “Enak aja. Gue sering kali dimarahi.” “Iya maksud gue dimarahi besar, Dree. Bokap lo nggak bakal setega itu.” Audrey mengangguk menyetujui lalu menyandarkan punggungnya. Tatapannya tertuju ke langit yang tampak penuh bintang itu. “Kin. Besok malem kita lihat langit di tanah Malang,” katanya yang diakhiri dengan senyuman. “Iya, Dree. Gue pengen puas-puasin waktu di sana biar jadi bahan nulis gue.” Tanggapan Audrey hanyalah anggukan tak berarti. Dia masih fokus membayangkan liburannya esok hari. “Nggak ada Pak Jaya yang marahin gue. Nggak ada Dean yang gangguin gue!! Ah damai!!” Mendengar nama Dean disebut, Kina mengangkat satu alisnya. Merasa melewatkan sesuatu yang terjadi antara Audrey dan Dean. Kina lalu menarik Audrey hingga imajinasi sahabatnya itu terputus. “Lo tadi sebut Dean. Gue ngelewatin kejadian apa nih?” Audrey mengernyit. “Dean? Kok lo tiba-tiba tanya dia?” “Lo tadi sebut nggak ada Dean yang gangguin. Maksudnya apa? Lo habis digangguin lagi sama Dean?” Mendapat pertanyaan itu, Audrey seketika ingat dengan kejadian tempo hari. Dia lalu menjentikkan jemarinya. “Gue lupa cerita sama lo. Sumpah Dean nyebelin banget. Masa nih ya, dia nyium punggung tangan sama kepala gue. Modus banget nggak tuh?” “Seriusan?” Audrey menghela napas, ingat dengan misinya yang ingin menghindari Dean. Namun, sayang misi itu harus gagal total karena dia selalu bertemu dengan Dean. “Ternyata ngehindarin Dean itu nggak bisa. Dia selalu aja nongol. Heran deh gue.” “Jangan-jangan Dean suka sama lo!!” “Wah!!! Lo kalau ngomong jangan aneh-aneh!!” Seketika Audrey berdiri kembali mendekati balkon. Kedua tangannya bertumpu di pagar dan tatapannya tertuju ke langit malam. Seketika dia ingat kalau dijodohkan dengan Dean. Rahasia besar yang belum dia ungkap ke Kina. “Gue kan cuma nebak, Dree. Heran aja kenapa Dean sering ketemu lo.” “Karena Dean ada kerja sama sama Pak Jaya. Itu doang!” Kina beranjak dari posisinya lalu berdiri di sebelah Audrey. “Kayaknya, lo emang nggak bisa ngehindarin Dean.” Audrey mengangguk mengiyakan. Dia ingat saat akan menghindar, Dean malah muncul di sekitarnya. “Bener tuh. Terus gue harus gimana? Gue ogah banget kalau deket dia terus dimodusin.” “Ya udah kalau gitu biasa aja. Sambil nunggu,” kata Kina dengan kalimat menggantung. “Nunggu apa?” tanya Audrey penasaran. Dia berjalan mengikuti Kina yang sekarang memilih masuk ke kamar. “Nunggu kalian jadian!” Mata Audrey terbuka lebar lalu dia menggeleng tegas. “Wah! Lo jangan ngomong aneh-aneh, Kin. Kalau ada malaikat lewat terus denger gimana?” “Amin. Semoga omongan gue dikabulin,” kata Kina dengan senyum menggoda. Meski lelaki itu menyebalkan tapi Kina setuju saja misal sahabatnya itu mencintai Dean. Kina yakin ketika dua orang sama-sama saling mencintai maka akan berpikir ulang jika ingin saling menyakiti. Sedangkan Audrey menggeleng tegas tak ingin doa sahabatnya itu terkabul. Akan hancur hidupnya kalau dia bersama Dean. Dia lalu berjalan ke kamar, ingin me-list keperluannya esok hari. Tepat saat dia duduk di ranjang, ponselnya menyala. Dia mengambil benda itu dan melihat pesan singkat dari Dean. Dean: kata nyokap, lo besok ke Malang? Kangen gue, ya? Sontak Audrey menegakkan tubuhnya. Bagaimana Dean bisa tahu kalau dia akan ke Malang? “Kina!!!” Kina yang sedang menatap bintang seketika menoleh karena teriakan itu. Dia masuk ke kamar dan melihat Audrey yang menatapnya panik. “Ada apa?” tanyanya ikutan panik. “Dean kok tahu ya gue besok ke Malang?” “Loh masa?” “Nih!” Audrey menyodorkan ponsel ke Kina. Saat membaca pesan singkat itu Kina mengernyit. Pasalnya Dean menyebut “nyokap”. Dia merasa kalau ada yang memberi tahu rencana liburan Audrey. “Dean tahu dari nyokapnya? Kok nyokapnya bisa tahu.” Wajah Audrey berubah merah. Dia yakin kalau mamanya pasti yang memberi tahu ke tante Jema. Lalu tante Jema memberi tahu ke Dean. Atau jangan-jangan ini memang rencana mamanya dan mama Dean? Dan parahnya papanya ikutan sekongkol. Pantas saja papanya menyarankan pergi ke Malang, padahal di kota itu tak ada sanak keluarga. Audrey ingat setiap akan pergi ke luar kota untuk liburan sebisa mungkin di kota itu ada sanak keluarga. “Kin. Ini buruk, Kin,” gumam Audrey sambil menggeleng tegas. Drttt!! Ponsel di genggaman Kina bergetar. Dia langsung menyerahkan ponsel menyala itu ke Audrey. Audrey menghela napas lalu membuka pesan itu. Pesan dari Dean lagi. Dean: Besok gue jemput di bandara. Kabarin gue ya. “Kin!! Kita harus ganti destinasi. Sumpah!! Kita harus ganti!!” Seketika Audrey berdiri sambil menggeleng pelan. Dia tak menyangka jika Dean sedang ada di kota tempat tujuannya berlibur. Kenapa hidupnya harus bersinggungan dengan lelaki itu? Pertanda jodoh? Audrey mengacak rambutnya frustasi. Cobaan apa ini? Sedangkan Kina terdiam, bingung harus merespons bagaimana. Baru beberapa menit yang lalu Audrey antusias untuk liburan, sekarang malah terlihat panik sendiri. Drttt Kina menoleh melihat ponsel yang tergeletak di atas bantal. “Dree, ada pesan tuh.” Audrey yang sebelumnya mondar-mandir langsung kembali naik ke ranjang. Dia membuka pesan yang ternyata dari Dean lagi. Matanya seketika melotot membaca pesan singkat dari lelaki itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD