Prolog
"Arsen~" panggil mama dengan suara nyaringnya, menarik atensi Arsen yang sedang bermain dengan mobil-mobilan di ruang keluarga. "Mama sama Papa pulang!"
"MAMAAAA!" teriak Arsen manja, ia berlari mendekati mama dan papanya yang sedang berada di ambang pintu rumahnya. Arsen terpaksa memeluk papanya terlebih dahulu—berhubung papanya berada di depan mamanya sambil merentangkan tangannya—sambil mengorek tote bag karton dengan beberapa brand ternama di depannya. "Papa bawa apa dari Jepang?"
"Lihat aja," ujar papanya, "Papa bawa banyak oleh-oleh buat jagoan Papa, dong!" lanjut papa yang disoraki dengan pekikan kesenangan Arsen.
Bocah itu lantas ndusel-ndusel manja sambil diuyel-uyel papanya. Senangnya menjadi anak satu-satunya membuat Arsen dimanja dengan kasih sayang berlimpah.
Setelah puas dengan papanya, Arsen mendongakkan kepala ke mamanya yang berada di balik punggung sang ayah.
Ia pun menarik tangan mamanya, berusaha menarik perhatian mama yang tumben-tumbenan tak bersimpuh menyamai tinggi badannya seperti biasanya, tak memeluknya seperti biasa pula.
"Mama?"
"Ah, hai, Arsen!" sapa mamanya terdengar kerepotan. "Duh, Mama nggak bisa jongkok. Nanti adik kamu bangun."
Hah? Adik? Tunggu—apa?
Perasaan dirinya tak memesan adik sebagai oleh-oleh.
Arsen memiringkan kepalanya tak paham, dahinya berkerut meminta penjelasan.
Papa yang mengetahui situasinya, akhirnya berjongkok dan berkata, "Papa sama Mama bawa adik baru buat Arsen!"
Arsen mundur, tatapannya tak terima. Ia tidak mau.
"NGGAK!" jerit Arsen dengan suara khas anak berumur tujuh tahun yang memekakkan telinga. "Arsen nggak mau adik!"
Mama mengembuskan napasnya sambil mendekat. Berusaha mendudukkan dirinya di lantai meskipun kepayahan karena adik kecil di gendongannya yang masih terlelap.
"Arsen," panggil mamanya. "Adik ini namanya Mio, mama dapet Mio dari Jepang kemarin. Dan ... Arsen nggak perlu takut Mama nggak sayang Arsen lagi, Mama tetep sayang Arsen, kok," papar mama dengan kehati-hatian.
Tangan mama menjulur untuk mengelus kepala Arsen, "Sini, peluk Mama sama Mio."
Arsen menurut, ia mendekat walaupun rasa tak rela masih menggelayut di hatinya. Arsen memeluk mamanya dengan kaku, takut-takut sang adik terbangun. "Mama ... jangan nggak sayang Arsen lagi, ya?"
Mama mengangguk sambil mengusap punggungnya. "Iya, Mama janji."