Satu

1033 Words
"Arsen, tungguin Mio, dong!" teriak mama saat melihat Arsen berlari keluar rumah dengan setangkup roti di mulutnya. Arsen menarik paksa roti di mulutnya dengan jengkel dan mengunyahnya dengan beringas. "Apa sih?! Suruh berangkat aja sendiri!" "Tapi kan Mio nggak tau jalan ke sekolah kamu-eh, ARSEN!!" teriak mama dengan nyaring saat melihat Arsen keluar gerbang dengan terburu-buru, mengabaikan ucapannya. - "Kak Arsen, tunggu!" panggil anak laki-laki berkulit putih, bermata sipit, dan bertubuh pendek-mungil-yang berjalan cepat berusaha menyamai langkah Arsen. "Kak Arsen! Jalannya pelan-pelan, dong!" tegur anak itu lagi. "Kak Arsen, Mio capek," keluhnya pelan. Tepat saat itu juga anak itu berhenti, menarik napasnya banyak-banyak yang tersengal dengan rakus. Arsen menghentikan langkahnya dan menoleh sambil mengernyitkan dahinya. Antara sebal dan merasa bagian dalam hatinya terusik melihat anak ini. Mio, adik laki-laki angkatnya yang ia tidak tahu asal-usulnya sekarang memang sudah besar, sudah mau memasuki SMA yang sama pula dengannya. Tapi, Mio memanglah Mio, tetaplah anak kecil manja yang senang merecoki kehidupan Arsen. "Kamu nggak usah ngejar aku lagi, ikutin aku aja dari belakang. Minimal radius dua meter dari aku. Anggep aja kita nggak kenal," ketus Arsen dengan pandangan lurus ke jalanan depan yang lenggang, mengingat hari masih lumayan pagi, maka dari itu jalanan masih sepi. Dirinya sengaja berangkat pagi. Bukan tanpa alasan, hanya saja ia takut kalau ada rakyat sekolahnya yang melihatnya berangkat bersama Mio. Adik yang tak pernah ia anggap adik. Mio tertegun, ia menundukkan kepalanya sambil berjalan pelan mengikuti langkah Arsen yang berjarak tiga meter di depannya. 'Selalu aja kayak gini,' batin Mio sedih. Pasalnya, ini bukan pertama kalinya Arsen berkata seperti itu padanya. Saat ia memasuki SD, SMP, bahkan sekarang ... kakaknya itu enggan bersikap layaknya kakak pada umumnya, ia selalu bersikap seolah mereka tak saling mengenal di mana pun kecuali di rumah. Oh iya, bahkan di rumah pun kakaknya tak memedulikannya. Dan Mio tak tahu pasti apa penyebab sang abang begitu benci padanya. Sesampainya di sekolah, Mio berhenti di depan gerbang sekolahnya. Ia sadar diri, Arsen tak akan mau terlihat bersama dengannya. Maka dari itu, Mio membiarkan Arsen masuk terlebih dahulu dan menunggu beberapa menit sampai Arsen hilang dari pandangannya. "Hey!" Seseorang menepuk pundak Mio pelan, bersikap sok akrab sambil tersenyum lebar. "Nggak masuk?" tanya lelaki tinggi di hadapannya ini. Mio mendongak pelan guna mengamati sang empunya suara. "Kakak siapa?" "Ah, iya." Laki-laki itu menggaruk tengkuknya canggung, mendadak kaku melihat Mio yang polos, belum terbiasa dengan jiwa sok akrabnya. "Nama gue Dewa. Lo?" "Nama Mio, Mio," jawab Mio polos. Dewa mengernyitkan dahinya heran, "Hah? Miomio?" tanyanya, "Kok kayak suara kucing?" "Bukan. Mio bukan kucing." Mio menggeleng lucu, "Nama a-aku Mio." Dewa terkekeh pelan, menyadari bahwa Mio memang tak terbiasa menyebut dirinya sendiri dengan 'aku' atau 'saya'. Mio memang terbiasa menyebut dirinya dengan namanya sendiri. "Nama lo lucu, kayak merk motor," ucap Dewa sambil mengacak rambut Mio. "Yok, masuk!" ajaknya sambil merangkul Mio, berdua memasuki sekolah. Mio hanya terdiam menurut. Ia masih ngeri dengan title kakak kelas. Oke, Mio kebanyakan nonton film anak sekolah yang tidak bermoral. Yang mana kakak kelas adalah penguasa dan anak baru sepertinya adalah kaum tertindas. Ia harus mengurangi tontonannya sebelum rasa parno itu terus menyergapi mindset-nya. - "Selamat datang di SMA Cendekia Satu! Nama saya Alam, ketua OSIS di sini. Saya ...." Sang ketua OSIS yang diketahui bernama Alam memberikan penyambutan bagi seluruh murid kelas satu yang baru masuk ke sekolah ini. Terlihat supel, tapi pintar secara bersamaan. Sangat cocok dengan jabatannya di OSIS. "... maka dari itu, saya akan membagikan kelompok dengan pembimbing kelompoknya masing-masing." Mio memperhatikan Alam dengan saksama, menyimak nama-nama yang disebutkan Alam. "... Arditya Muhammad, Kamalino Ferdinan, Lisnawati, dan Mio Hamayama di kelompok lima. Dibimbing oleh Arsen Alvian dan Risa Fadilah." Mio dan Arsen melotot kaget secara bersamaan. Yang satu kaget karena khawatir, yang satu kaget karena enggan. Mio melirik kakaknya yang berjalan sebal bersama perempuan cantik di sampingnya, terlihat Arsen menatapnya dengan tatapan tak suka yang sangat kentara. - "Mio, denger-denger kamu punya kakak ya di sini?" tanya Arin, teman sekelompoknya. Mio melirik belakang Arin, terlihat kakaknya yang melotot ke arahnya. Seolah berkata dengan telepati 'Gue bukan kakak lo!' ke arah Mio. "... yo, Mio!" Mio tersentak setelah disadarkan oleh panggilan Arin. "E-eh?" Mio menanggapi kaget, "A-anu ... Mio ... nggak punya kakak, kok. Hahaha." "Lho? Kata Kak Nasyid kamu-" "Kak Nasyid?" tanya Mio menyela, berusaha memelencengkan topik yang mungkin dapat membahayakannya. "Kok kamu tau Kak Nasyid? Emang Kak Nasyid siapa kamu?" "Eh?" Dengan wajah memerah, gadis itu menunduk malu-malu. "K-Kak Nasyid ... pacarku. Hehe." "Oh," respons Mio. "Eh, tunggu! Jangan ngubah topik! Kamu punya kakak kan di sini?" Arin ternyata susah juga dikecohnya. Dia dengan ingatan yang kuat langsung kembali lurus ke topik yang sempat Mio belokkan. "Aku ... enggak punya ka-" "Mio!" teriak Arsen kepadanya, Mio pun menoleh dengan gugup. "Jangan ngobrol terus!" "I-iya, Kak," balas Mio takut-takut. Arin yang sedari tadi mengajaknya mengobrol pun ikut merapatkan mulutnya, berusaha untuk tak berbicara lagi. Cari aman dari kakak kelas yang namanya Arsen, keliatan galak sekali. Mio dan Arin pun segera mengerjakan tugas yang diberikan oleh anak-anak OSIS dengan teliti, mencoba memecahkan teka-teki di situ dengan baik bersama teman-teman barunya. Beruntungnya dengan tugas ini, Mio menjadi tak terlalu menggubris tatapan kakaknya yang sangat mengintimidasinya sejak tadi. Ketakutannya jadi sedikit tertahan oleh tugas memecahkan pertanyaan-pertanyaan ini. "Mio!" panggil Arsen tak santai, "Itu salah! Gimana sih kamu?" Risa melihat Arsen dengan heran, pasalnya tak biasanya Arsen marah-marah atau sensi kepada anak baru. Arsen lumayan supel dan baik kok sekenalnya dia. "Sen, itu cuma salah dikit. Nggak perlu dibesar-besarin kali," tegur Risa, sedangkan Arsen hanya diam sambil memperhatikan Mio. Sejujurnya, ia khawatir jika Mio akan membeberkan status persaudaraan mereka, itulah sebabnya Arsen tak membiarkan Mio berbicara dengan siapa pun. Egois memang. "Mio," panggil Arsen lagi. "Ayo, ikut ka-gue," lanjut Arsen sambil berjalan terlebih dahulu, mengomando Mio untuk mengikutinya entah ke mana. Mio pun beranjak dari duduknya dan mengekor sambil menunduk, berusaha mengabaikan tatapan penuh tanya dari teman-teman sekelompoknya. "Kenapa, Kak?" cicit Mio takut-takut. Jujur saja, tampang Arsen selalu berhasil menciutkan nyalinya. Eh, sebenarnya juga dia enggak pernah punya nyali mau berhadapan dengan kakaknya "Kamu nggak usah sok bego, deh!" sewot Arsen. "Jangan pernah beberin kalo aku kakak kamu. Ke siapa pun itu!" ************ Bersambung ************
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD