"Mio," panggil Arsen dengan nada ketusnya. "Inget! Jangan sampe keceplosan, jangan berani-berani bilang kalo kamu punya kakak di sini. Karena aku juga nggak pernah bilang ke siapa pun kalo aku punya adik, jadi kamu juga harus gitu."
Mio yang sedari tadi menunduk segera mendongakkan kepalanya. Menatap sang kakak dengan matanya yang terlihat berkaca-kaca.
Bocah itu lantas melihat wajah Arsen dengan pandangan terluka. "Kakak ... kenapa sih nggak mau jujur aja kalo kita sodaraan? Mio kan emang adiknya Ka—akh! S-sakit ...."
Mio merintih kesakitan saat tiba-tiba Arsen memojokkannya ke dinding dengan tangan yang mencengkeram bahunya keras. Terus mendorongnya bahkan ketika tubuh mungil sang adik telah menempel sempurna di tembok sekolah.
"Kamu bukan adik aku." Arsen menekani setiap kata-kata yang mengalir dari mulutnya, tangannya masih meremas bahu Mio dengan kasar, matanya melihat si pendek dengan nyalang.
"Kamu inget, Mio," Arsen menggantungkan kalimatnya. Netranya menatap manik Mio dengan wajah mengancam, terlihat tak acuh dengan rintihan yang keluar dari bibir Mio, "kamu nggak akan pernah jadi adik aku, sampai kapan pun itu."
Tepat setelah kata itu terlontar, Arsen menghempaskan badan Mio hingga punggung Mio bersinggungan dengan tanah sangat kencang.
Arsen pun beranjak pelan, meninggalkan Mio tanpa memperhatikan wajah oriental adiknya yang memerah sebab menahan tangis.
-
"Mio, dari mana?" tanya Arin dengan ekspresi khawatirnya. "Kamu nggak diapa-apain sama Kak Arsen, 'kan?"
"Enggak, kok," ujar Mio sambil menggeleng pelan. Mio menaikkan pandangannya dan mengembangkan senyumannya lebar. "Malah tadi Kak Arsen ngasih tau aku cara nyusun teka-teki ini masa!"
"Eh?" Arin ikut tersenyum senang. Lega karena teman barunya ini tak apa-apa. "Mantep dong! Ternyata dia baik juga, ya!"
Mio mengangguk antusias, tangannya seketika menyusun balok-balok di atas kertas yang akan kelompoknya jadikan peta nanti. "Ah, untung aja Kak Arsen ngasih tau!"
Mio melihat Arsen yang mengawasinya dengan tampang galak, Mio pun kembali menguntai senyuman seolah bergestur berterima kasih.
Hingga saat ia membalikkan tubuhnya, ia menunduk sok mengerjakan ... tanpa ada yang tahu kalau setetes air mata keluar dari manik kecokelatannya.
-
"Gimana sama hari pertama kamu, Mio?" tanya mama sambil menyusun peralatan makan di atas meja makan.
Mio yang membantu mamanya menaruh gelas di meja makan pun seketika memasang wajah cerianya. "Seneng dong~"
"Oh, ya? Dapet temen baru?" tanya mama lagi. "Banyak, nggak?"
Mama memang begitu, mama selalu menanyakan hari-hari Mio semenjak Mio ketahuan terkena bullying dari teman-temannya di masa lalu.
Tanpa pernah tahu kalau bahkan salah satu yang mem-bully Mio adalah Arsen, kakaknya sendiri.
"Iyalah!" sahut Mio yang dengan antusias menjawab. "Tadi ada kakak kelas cantik, namanya Kak Risa. Dia baik banget lho, Ma! Terus tadi Mio punya temen baru, asyik tapi bawel. Namanya Arin. Terus pacar Risa, Kak Nasyid—"
Ucapan Mio terinterupsi saat melihat Arsen yang duduk di kursi ruang makan dengan tampang datarnya.
"Berisik banget, sih. Ribut deh," gumam Arsen sambil menuang air putih ke dalam gelasnya. Meneguknya dengan tampang datar, cenderung penuh emosi.
"Ini lho, si Mio lagi nyeritain temen-temen barunya!" kata mama dengan senang, tak mempedulikan Arsen yang memutar bola matanya malas. "Katanya dia dapet temen baru."
"Siapa juga yang mau temenan sama dia? Boong tuh kalo temennya banyak," judes Arsen.
Mamanya hanya bisa mendesah pelan, anak sulungnya ini benar-benar ....
"Kamu sendiri gimana? Kamu nggak ngejahatin Mio, 'kan?" lirih mamanya di akhir kalimat.
Arsen menggeleng santai sambil mengerutkan dahinya bingung. "Nggak, kok. Biasa aja."
"Terus, tadi temen-temen kamu gimana ngerespons kamu yang punya adik imut cimit-cimit kayak Mio gini?" Mama bertanya tanpa menatap Arsen, ia hanya menoleh kepada Mio sambil menarik kedua pipi Mio gemas.
Anak bungsunya ini memang paling menggemaskan. Imut lagi.
"Nggak ada yang tau kalo dia adik aku," sahut Arsen tanpa menoleh ke mamanya.
"Eh?" Seketika mama melepas cubitannya dari pipi Mio dan menoleh. "Kamu masih nggak mau ngakuin Mio jadi adik kamu, ... Sen?"
Arsen menatap mamanya tak terima, seolah mamanya menuduhnya yang tidak-tidak.
"Dih, orang dia yang minta! Malu kali dia punya kakak kayak aku. Ha-ha." Arsen tertawa sarkas, seolah Mio-lah orang yang enggan mengaku dirinya sebagai saudara.
"Kenapa, Mio?" tanya mama.
"E-enggak. Mio ... cuma nggak mau aja yang lain jadi segan ke Mio karena punya kakak senior. Hehe," papar Mio tersenyum lucu, matanya yang sipit seketika menghilang ditelan oleh pipi tembamnya. "Nanti Mio kenalin Kak Arsen ke temen-temen kalo udah waktunya."
Mama seketika tersenyum maklum sebagai tanggapannya.
"Bener juga, sih. Kamu pasti canggung kalo temen-temen kamu tau kalo Arsen kakakmu," ujar ibu dari kedua anak lelaki itu. "Ah, Arsen ... bisa tolong panggilin papa supaya turun? Kita mau mulai makan malam," pinta mama sambil tersenyum tipis.
Arsen memasang wajah ogah-ogahan sedikit membanting gelasnya, namun dirinya tetap berdiri juga dari duduknya. Ia berjalan malas menaiki tangga, hendak menemui papanya di ruang kerja.
Mama seketika menoleh ke arah Mio dan tersenyum teduh, khas tatapan hangatnya yang selalu beliau berikan kepadanya, kepada mereka anak-anaknya.
"Mio, nggak pa-pa sekali-kali jujur ke Mama sama Papa," ucap mama sambil mengelus pipi anak itu pelan.
Mio yang dielus sedemikian lembut hanya memejamkan matanya nyaman, tersenyum menikmati elusan sang mama. "Mio jujur, kok. Mio enggak pa-pa."
"Mama tahu semuanya, Nak," ujarnya dengan tersenyum prihatin. "Kalo udah nggak kuat ... cerita, ya?"
Pemilik wajah oriental itu pun mengangguk, menilik guratan-guratan tipis di muka ibunya. "Iya, Mio pasti cerita sama Mama, tapi ... nanti."
************
Bersambung
**********