KEJUTAN MENDADAK

2418 Words
Nala menatap Akhtar yang katanya ingin mengutarakan sesuatu prihal penting, maka sekarang Nala sedang duduk menunggu Akhtar yang sedang diam saja mungkin mengatur kalimat yang pas untuk ia utarakan untuk Nala, namun lama-lama menunggu laki-laki dewasa itu segera memulai pembicaraan lagi terasa lama dan tak kunjung ia mulai membuatnya semakin jengah. “Mohon maaf, Bapak ini jadi mau ngomong? Karena saya masih ada urusan yang harus saya urus.” Nala membuyarkan lamunan Akhtar “Ahh—maaf, begini Nala lusa malam kamu ada waktu?” Tanya Akhtar “Lusa? Sepertinya saya free Pak, ada apa ya Pak?” Tanya Nala “Baik, kamu boleh keluar Nala dan terima kasih infomarsinya.” Ujar Akhtar mengusir Nala halus “Hah? Jadi cuman nanya itu aja Pak?” Akhtar mengangguk mantap “Boleh keluar sekarang Nala.” “Baik, Pak. Selamat siang, Pak.” Lagi, Akhtar hanya mengangguk sedangkan Nala menahan kesal Keluar dari ruangan Akhtar, bibir tipis Nala mencabik kesal. Sikap Akhtar yang begini tak sekali dua kali, namun Nala tak mungkin memaki di depan dosennya yang satu itu, menyesal Nala memuji-muji ia kala itu. Menarik nafas kesal kemudian menuju ke kantin. “Tahu gitu kenapa ngga lewat chat aja sih, udah bimbingan seuprit tapi yang di revisi bejibun, sekalinya nanya gue cuman singkat gitu.” Dumel Nala kesal “Lah iya gue siapanya dah, tapi kan kesel juga ya.” Erang Nala lagi Kegiatan Nala saat ini adalah menemui dosen, kantin, menunggu kesediaan dosen, luntang-lantung, kena omel, revisi, dan fase itu berulang kali. Hingga ia mendudukan dirinya di salah satu kursi favoritnya di kantin itu, memesan makanan kesukaan dan melupakan kejadian di ruangan Akhtar. “Emang manusia j*****m dia.” Sungut Nala lagi sebelum melahap bakso favoritnya ¤¤¤ Malam itu Nala sedang asik memasak untuk makan malam bersama, seperti malam-malam biasa Nala menyajikan masakannya yang sederhana untuk santapan malam tanpa Nala sadari sesorang sudah berdiri siap di depan pintu rumahnya dengan pakaian formal dan keluarga besarnya, tanpa di ketahui keluarga Nala juga bahwa mungkin malam ini adalah malam membingungkan bagi Nala Benar saja bel rumah Nala berdering nyaring membuat antara ayah dan anaknya itu saling memandang satu sama lain, siapa yang malam-malam bertandang ke rumah mereka di saat mereka akan menyatap makan malam mereka. “Buka dek.” Perintah Ethan “Ogah, gue takut—lo aja sih kenapa.” Tolak Nala “Sudah-sudah, kalian ini ribut aja—buka Than.” “Ck, ya udah—udangnya jangan lo abisin.” Ancam Ethan “Bawel lo.” Ethan dengan malas menyeret kakinya menuju ke pintu utama membukakan pintu untuk tamu yang tak sabaran itu. Ethan menatap tamunya heran—pasalnya di depan pintu rumahnya berjejer sekeluarga dengan kemeja batik formal, Ethan memandang bingung kenapa partner kerja samanya bisa berada di teras rumahnya. “Pak Akhtar?” Sapa Ethan cangung “Nala dan Pak Wira Salman ada, Pak Ethan.” “Ah—mari masuk dulu—Pak.” Ethan mempersilahkan tamu tak di undang itu masuk “Saya ijin ke belakang sebenatar Pak Akhtar, Tante, Om.” “Oh—iya silahkan Pak.” Ethan berjalan cepat, nafasnya menderu tak kalah cepat. Ada acara apa hingga keluarga partner kerjanya berada di rumahnya—dan satu fakta lain yang membuat Ethan bingung, Akhtar mengenal adiknya? “Montok, lo ada masalah apa sama Pak Akhtar?” Serbu Ethan pada Nala dengan suara pelan “Hah? Masalah apa lagi—nih ya Nala di kampus tuh mahasiswi teladan nggak pernah cari masalah apa-apa—tunggu siapa tamunya Bang?” “Pak Akhtar—partner kerja gue di kantor, kok dia bisa kenal lo?” “Jangan ngaco lo—Ayah abang halu.” Nala mengadu pada sang ayah “Gue nanya Montok, dosen lo ada yang namanya Akhtar?” Nala mengangguk mengiyakan “Dia ada di ruang tamu bawa orangtuanya.” Jelas Ethan lagi “Ngaco lo Bang—nggak mungkin,” “Sudah ayo kita temui.” Putus Wira Akhirnya Ethan, Nala, dan Wira memutuskan untuk menemui tamu yang datang malam-malam begini, dengan perasaan mendebar Nala menemui Akhtar. Nala seolah tersadar dengan perkata Akhtar beberapa waktu lalu yang membuat ia menghela nafas kesal kala itu, Akhtar menanyakan apakah lusa ia ada acara dan ini malam ini dosennya sedang duduk dengan manis beserta keluarga dan tentunya si manis Tiara. “Selamat malam Pak Gandhi.” Sapa Wira pada rekan kerjanya “Wahh—selamat malam Pak Wira—tak nyangka malah bertemu di sini.” Sapa balik Gandhi “Silahkan duduk Pak—maaf kaget saya kok ada tamu malam-malam begini.” “Maaf Wira—ini pun juga mendadak karena satu dan dua hal yang akan kami sampaikan Pak Wira.” Ujar Gandhi mewakili sang putra “Mohon maaf Gandhi bisa untuk menunggu sebentar agar kami berganti pakaian terlebih dahulu rasanya kurang baik kami menyambut keluarga bapak dengan keadaan tak sopan seperti ini.” “Oh iya Pak, silahkan.” Wajah pucat Nala menghiasi wajahnya sungguh ini bukan hal yang mau Nala alami, mendadak di datangi oleh dosennya dengan pakaian formal—perasaan Nala menjadi tak enak ada apa sebenarnya dengan kedatangan Akhtar dengan para keluarganya. Nala menjatuhkan pilihannya pada dress peach segera ia mengganti baju rumahannya dengan dress pilihannya menyapukan makeup tipis agar terlihat segar dan tidak memalukan. Nala keluar kamar bersamaan dengan sang abang juga selesai berganti baju. Raut wajah pias mewarnai wajah ayu milik Nala. Nala mengikuti Ethan menuruni anak tangga di sofa single sang Ayah sudah duduk dengan tenang menunggu Nala dan Ethan yang sedang berganti baju, para tamu dan Ayah Nala melihat kedatangan keduanya membenahkan duduknya. Nala menatap Tiara yang duduk dengan tenang di samping Ayahnya tumben sekali gadis mungil itu terdiam manis, namun Nala tak begitu mempermasalahkan itu yang terpenting sekarang ia ingin mengetahui apa tujuan Akhtar datang ke rumahnya secara mendadak ini. “Begini Pak Wira—saya berterus terang saja, saya kesini mengatarkan putra saya ini yang ingin meminang putri bapak, untuk selebihnya Akhtar sendiri yang akan menyampaikan keinginannya.” Gandhi membuka pembicaraan Benar saja, perasaan Nala semakin tak enak di buatnya—melihat tatapan Akhtar dan senyuman ceria Tiara membuat Nala aneh berada di posisinya saat ini. “Maaf untuk sebelumnya Pak Wira, Ethan, dan—Nala kedatangan saya kesini bersama kedua orang tua saya memang sangat terkesan mendadak. Ada hal yang segera saya utarakan karena saya bukan pria tipe yang bertele-tele.” Ujar Akhtar mengawali maksudnya “Saya Akhtar Hakim Wijaya malam ini saya ingin meminang putri Pak Wira dengan segala kekurangan dan kelebihan saya menjadi manusia, saya ingin memperistri Nala untuk saya jadikan istri dan Bunda untuk putri saya Tiara, maaf bila lamaran ini terkesan sangat mendadak.” Akhtar melamar Nala dan setelahnya Akhtar mengeluarkan sekotak bludru dari dalam kantong celananya “Begini Nak Akhtar, pertama saya sangat terkesan dengan maksud Nak Akhtar ini—saya sebagai orang tua dari Nala menyerahkan penuh keputusan pada putri saya ini Nak Akhtar, saya juga tidak ingin mengatakan kalimat panjang lebar, bila Nala mau menerima lamaran Nak Akhtar restu saya akan saya berikan dengan senang hati.” Balas Wira juga tak kalah singkat “Bagaimana Nala? Nala?” Panggil Wira “Ahh—iya Yah? Boleh Nala bicara berdua dengan Pak Akhtar lebih dahulu.” Pinta Nala dengan raut wajah pucat setelah mendengar apa yang Akhtar utarakan beberapa menit lalu “Boleh.” Lugas Akhtar kemudian meminta ijin untuk bicara dengan Nala Keduanya keluar dari ruang tamu—Nala mengajak Akhtar duduk di taman samping rumah, keduanya sama-sama mendudukan dirinya di satu kursi. Hening merayapi Nala masih terserang rasa terkejut, Nala bahkan tak pernah memimpikan lamaran ini apalagi yang melamar Akhtar yang jelas-jelas dosennya. Nala mengakui Akhtar malam ini menjadi laki-laki gantle—datang membawa cincin dan melamar Nala. Suasana masih tetap hening, bahkan Akhtar ingin mengawali pembicaraan di antara mereka, Akhtar masih menunggu kata terucap dari Nala. Ia sadar ia membuat gadis di sampingnya terkejut atas apa yang tadi ia katakan. Akhtar bukan manusia yang tipe buru-buru bukan Akhtar hanya menyegerakan prihal baik sekaligus ia juga tak berniat bermain-main bila hanya ingin pacaran bukanlah nikah menjadikan halal segalanya dan Akhtar tidak suka keribetan bila ada yang mudah kenapa tidak. “Jadi ini serius?” Tanya Nala dengan mengalihkan pandangannya ke arah Akhtar “Iya.” “Secepat?” Tanya Nala lagi “Lebih cepat lebih baik, Nala.” “Jadi ini yang Bapak katakan beberapa hari lalu yang menanyakan apa saya hari ini free.” Laki-laki matang itu mengangguk mantap “Saya tidak suka bertele-tele Nala. Jadi, saya tegaskan lagi apa kamu mau menerima lamaran saya atau tidak? Karena saya tidak berminat melakukan hubungan menye-menye seperti prihalnya pacara, saya menawarkan hubungan permanen disini.” Lugas Akhtar lagi yang netranya masih tetap fokus kedepan. Nala diam lagi, ia sadar bahwa laki-laki di sampingnya ini adalah laki-laki yang beda dari yang lainnya, laki-laki yang memiliki aura berbeda dengan ketampanan yang berbeda. Nala bingung ini terlalu mendadak tapi ia jadi sedikit luluh dengan perkataan Akhtar, lalu bagaimana dengannya. Bahkan kuliah saja ia belum lulus apalagi nikah belum terlalu menjadi keinginan wanita cantik ini. “Bagaimana Nala?” “Mmm—Pak, bisa kasih saya waktu empat hari ini, saya ingin memantapkan hati saya.” “Baik, empat hari—saya tunggu jawaban kamu.” Balas Akhtar yang kemudian berdiri dari duduknya dan kembali ke dalam rumah “Ya Tuhaaannn—bisa gila gue kalo begini ngadepin papan triplek alias emang ganteng banget itu.” Erang kesal Nala yang kemudian ikut masuk kedalam ¤¤¤ “Tiara, Mau jeli ini? Boleh ambil lho cantik.” Perdengaran Nala menangkap sang Ayah sedang memanjakan gadis mungil “Boleh, Ayah?” Akhtar mengangguk Nala kembali duduk di samping Akhtar yang juga senang berinteraksi dengan Tiara. “Bundaa Nala—“ Teriak senang Tiara “Sini, duduk sini, Ra.” Kemudian Tiara beranjak dari duduknya dan mendekat pada Nala Dengan gemas Nala mencium pucuk kepala Tiara dengan sayang. “Uuuhh—Tiara makin berat nih Bunda sampai nggak kuat angkat.” Gurau Nala dan Tiara yang di saksikan kedua orangtua Akhtar serta Ayah dan Abangnya “Enggak kok, Tiara makannya sedikit Bunda.” Ujar Tiara dengan memamerkan lingkaran kecil pada tangan mungilnya “Ahh—masak.” Nala menggoda Tiara “Nala?” “Jadi keputusanmu apa, Nak?” Tanya Wira “Ayah, Tante, dan Om, maaf bila malam ini Nala belum memberikan keputusan pada lamaran Mas Akhtar—Nala minta waktu untuk memikirkan lamaran dari Mas Akhtar, insyaAllah waktu empat hari di mulai dari hari ini, Nala akan segera memberikan keputusan.” “Tidak apa-apa Nala, lamaran ini memang mendadak mungkin tidak langsung membuatmu menjawab kami bisa menunggu.” Ujar Gandhi “Terima kasih, Om.” Malam itu adalah malam yang mempertemukan dua keluarga dengan maksud melamar Nala, Akhtar diam dalam duduknya meyakinan diri untuk menyabarkan diri, ia tersadar bahwa ia menlamar Nala dengan cara yang memang mendadak pantas gadis itu masih ragu pada keputusannya, memilih menikah bukanlah keputusan yang mudah. Nala menatap Akhtar yang lagi-lagi minim ekspresi itu sedang mendengarkan Bapak-Bapak berdiskusi bisnis itu, sedangkan ia dan Razita—Ibu dari Akhtar juga tak kalah asik berbicara sebelum gadis itu merengek ngantuk dan menginginkan untuk segera pulang. “Ayo, Tiara pamit dulu sama Miss Nala.” Ujar Razita “Bunda Tiala pamit pulang dulu ya, terima kasih pita jepit rambut ini cantik.” “Sama-sama Sayang, iya hati-hati ya sampai bertemu besok di studio ballet.” “Iya Bunda, Dadah.” “Nala, Tante pamit pulang dulu ya—Tante tunggu kedatangannya di rumah.” Pamit Razita yang tak lupa mencium pipi Nala yang kemudian pamit pada Wira dan Ethan “Nala, Om pamit dulu ya, terima kasih sudah mau mengusahakan lamaran Akhtar.” Ujar Gandhi pada Nala “Iya Om, sama-sama.” Balas Nala dengan senyum manisnya “Saya pamit Nala, terima kasih untuk malam ini—untuk jawabannya secepatnya saya ingin mendengarnya.” Kata Akhtar lagi sebelum berlalu Akhtar tak lupa mengelus kepala Nala dengan lembut “InsyaAllah secapatnya Pak, Bapak hati-hati di jalan.” Akhtar hanya mengangguk sekilas kemudian berlalu Mobil keluarga itu kemudian berlalu dari halaman rumah Nala, tak lupa Nala melambaikan tangannya untuk keluarga Akhtar. “Eh Cieee—abis di lamar ciee, sama duren lagi, mantap lo, La.” Oceh Ethan “Ihh—apaan sih, Nala maua makan aja—pusing.” Nala kemudian kembali masuk dan Wira hanya menggeleng melihat reaksi sang putri ¤¤¤ Dua hari ini, Nala tidak ke kampus, namun di rumah Nala banyak memikirkan lamaran dan skripsinya sama-sama membuatnya pusing. Namun dua hal ini konteksnya sangatlah berbeda, Skripsi untuk kelulusannya sedankan menikah untuk menentukan hidupnya hingga nanti ia tua, sama-sama penting namun beda posisi. Nala mengerang frustrasi, dua hari lagi hari penentuannya tentang pernyataan Akhtar yang dia utara beberapa waktu lalu. Ia juga sudah melakukan sholat istigharoh untuk menentukan apakah Akhtar ini sudah terbaik untuknya dan Akhtarlah yang selalu mampir dalam mimpinya dua hari ini, selalu Akhtar. Sungguh membuat Nala benar-benar bingung, menikah? Ia belum pernah nyemplung pada bidang ini, bidang yang di katakan penentu hidup. Gadis cantik itu mengerang dalam diamnya, mengacak rambutnya kesal, namun ini harus benar-benar Nala pikirkan. Bukan ia ragu pada Akhtar ia mengakui keberanian laki-laki itu yang langsung datang ke rumahnya untuk meminangnya. Ia percaya bahwa Akhtar akan membawanya pada kehidupan yang lebih baik tapi rasanya asing. “Frustrasi gue—Tuhan.” Teriak Nala di dalam kamarnya “Woii—Nala?” Panggil dari luar “Apaan?” Jawab Nala dari kamar “Buka, gue mau masuk Montok.” Pinta Ethan “Buka aja.” “Ada apaan? Lo teriak gue kaget.” “Stress gue, Bang. Mikirin lamaran Akhtar sama skripsi.” “Yailahh—gitu aja di stresin La, La. Udah bikin santai aja. Gue lihat Akhtar itu tipe suami material banget, gue kenal dia banget dia kakak tingkat gue, orangnya emang tembok banget tapi gue yakin hidup lo bahagia sama dia.” Yakin Ethan pada adiknya “Gitu?” Nala mengernyit “Lo, di bayar berapa sama Akhtar ngomong gitu ke gue?” Nala menuduh Ethan Tangan Ethan menoyor kepala Nala. “Muke gile, Lo Ntok, gue nggak usah di bayar juga udah kaya.” Kesal Ethan “Sombong amat, Lo.” “Beneran gue—gue yakin deh tentram idup lo sama dia.” “Au ah—sana lo keluar tambah pusing nih pala gue.” “Yeee—pikirin baik-baik , Dek. Gue dukung Akhtar.” Ethan membela pada kubu Akhtar “Iya, sanaan ah.” Usir Nala Setelah kepergian Ethan, Nala kembali berfikir kembali sembari merebahkan badannya berdiam diri lagi, sebelum tangannya meraih ponsel pintarnya itu. “Bismillah—Ya Allah bila dia memang jodohnya Nala, tolong selalu yakinkan Nala, Amin.” Doa Nala sebelum dering menyambung “Hallo—“ Suara berat Akhtar menyapa “Pak Akhtar—Nala—“ ¤¤¤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD