BAB 2 : OGIMW

1279 Words
"Berarti kata kamu, Mami tidak sopan ya?" tanya si wanita paruh baya yang datang ke ruangan Arfiq. "Mami...." Arfiq beranjak berdiri, dan berjalan menghampiri sang mami, lalu menyalami tangan wanita yang telah melahirkannya. Arfiq sedikit terkejut karena tiba-tiba sang mami. Dia pikir siapa yang datang tadi. Beruntung dia belum sempat marah-marah ke sang mami karena masuk tanpa ketuk pintu dulu. Kalau saja Arfiq langsung marah-marah, bisa-bisa dia dicap anak durhaka. Arfiq menuntun Bu Mega, untuk duduk di sofa ruangannya. Setelah itu, dia kembali berjalan ke meja tempatnya bekerja. Kemudian, Arfiq menekan telepon buat menelpon seseorang. "Leni, tolong bawakan minuman ke ruangan saya, dua." Tanpa menunggu jawaban Leni, Arfiq mematikan teleponnya. "Mami kenapa nggak bilang mau datang kesini?" tanya Arfiq, setelah duduk di sofa, tepat di samping maminya. "Mami ingin melihatmu, karena minggu kemaren kamu tidak pulang ke rumah," ucap Bu Mega, sedikit merajuk. "Maafkan aku, Mi. Akhir-akhir ini aku sangat sibuk jadi nggak sempet pulang ke rumah," jawab Arfiq, sedikit menyesal. Arfiq mengambil kedua tangan Bu Mega, lalu menciumi punggung tangan maminya berkali-kali, sementara sang mami mendesah pelan. Beliau memang mempunyai dua anak. Yang satu Arfiq Septian Hadiutomo dan yang bungsu, Zahra Septiani Hadiutomo. Meskipun Arfiq sudah dewasa, tapi tetap saja sebagai orang tua akan mencari tahu kenapa anak sulungnya tidak pulang ke rumah akhir pekan ini. Padahal sudah rutin anak sulungnya pulang ke rumah untuk kumpul bersama keluarga. "Mami mau tanya, kapan kamu menikah, Nak? Umurmu 28 tahun sekarang, sudah waktunya kamu menikah dan memiliki anak," keluh Bu Mega, setelah mereka terdiam beberapa saat. Arfiq mengulas senyum mendengar keluhan maminya. "Insya Allah nanti, Mi. Setelah aku ada calonnya," jawab Arfiq seadanya. Seandainya Vanessa menerima lamarannya dulu, mungkin sekarang dia sudah menikah dan punya anak. Sayangnya ... ah sudahlah, mungkin mereka tidak berjodoh. Kalau pun mereka berjodoh nanti, jodoh tidak akan kemana. Tinggal menunggu waktu saja. Saat Bu Mega ingin mengucapkan sesuatu, harus terhenti karena mendengar suara ketukan pintu dari luar. Arfiq menyuruh seseorang masuk, yang ternyata adalah Leni. Leni membawa minuman, kemudian menaruh di atas meja buat kedua atasannya. Selama menaruh gelas, diam-diam Leni melirik sang atasan. Dan semua itu tidak luput dari penglihatan Bu Mega. Bu Mega, mami Arfiq. Bukannya tidak tahu, kalau Leni sekertaris Arfiq punya perasaan lebih ke anaknya. Akan tetapi, entah kenapa Bu Mega malah tidak suka Leni yang sering kali mencari perhatian ke Arfiq. Untung saja cara kerja Leni bagus jadi masih dipertahankan oleh perusahaan mereka. "Mi, ada yang Mami pikirkan?" tanya Arfiq, seraya menyentuh lembut lengan maminya. "Mami sudah tua, Nak...." Bu Mega menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca. "Mami ingin punya cucu dari kamu," lanjut beliau. "Maafkan aku, Mi." Arfiq menjawab dengan penuh penyesalan. "Apa yang harus aku lakukan untuk Mami?" tanya Arfiq sembari mengusap air mata sang mami yang akan mengalir di pipi beliau. "Kamu mau kan Mami jodohkan, Nak?" Bu Mega bertanya kepada anaknya. Arfiq langsung mendesah panjang. Perjodohan. Astaga ... kenapa juga maminya memilih cara seperti ini. Arfiq terdiam. Mencari jawaban agar tidak menyakiti hati orang yang telah melahirkannya. "Tapi aku tidak mau dijodohkan dengan anak teman arisan Mami atau anak kolega papi," jawab Arfiq. Sementara hanya cara ini yang bisa dia gunakan sekarang. Kenapa Arfiq meminta seperti itu, sebab selama ini yang dia tahu, sang mami hanya berteman dengan teman arisan beliau yang kadang membuatnya pusing kalau tiba-tiba harus menjemput maminya pulang ke rumah. Dimana ketika Arfiq datang, mereka kadang menawarkan anak mereka seperti barang dagangan. Dan dia jelas saja tidak pernah menyukainya. "Lalu?" tanya Bu Mega, seraya mengangkat satu alisnya. Arfiq menghedikan bahu, yang jelas di dalam otaknya dia tidak mau dijodohkan dengan siapapun, hanya alibi saja supaya sang mami berhenti menangis. Karena kelemahan Arfiq adalah air mata sang mami dan juga adik semata wayangnya. "Mami tanya, kamu akan menerima perjodohan ini, yang penting bukan anak arisan teman Mami dan juga anak kolega papi?" Arfiq menganggukkan kepala, setelah beberapa saat terdiam. "Benar ya, kamu jangan bohong, Arfiq?" Bu Mega menuding dengan jari telunjuk, sembari memicingkan matanya. "Insya Allah, Mi. Aku akan menerimanya," jawab Arfiq, dengan senyum kecil. Sebenarnya Arfiq sendiri ragu, tapi dia punya keyakinan maminya pasti akan sangat lama mengingat semua temannya rata-rata bukan kalangan biasa. Arfiq seakan lupa bahwa ada Allah yang mempunyai ribuan rencana untuk umatnya. Mungkin saja jodoh Arfiq dekat dengan posisinya sekarang. Mungkin loh yah. "Kamu juga akan menerima latar belakang keluarganya?" tanya Bu Mega. "Yang penting dari kalangan baik-baik, Mi. Memang Mami mau punya menantu penjahat?" jawab Arfiq asal. Mata Bu Mega membulat, kemudian beliau memukul lengan anaknya pelan. "Ya nggak, dong! Ada-ada aja kamu!" sungut Bu Mega, sementara Arfiq terkekeh pelan. "Bagi aku, yang penting Mami bahagia," ucap Arfiq, tulus. Seketika mata Bu Mega mendadak memanas mendengar ucapan tulus anaknya. "Mami akan bahagia, kalau kamu bahagia, Nak...," ucap Bu Mega, sembari mengelus lembut pipi anaknya. "Hem ... pokoknya aku akan mencoba menerima pilihan Mami," kata Arfiq, tersenyum. "Tentu, Mami hanya perlu mencari yang cocok buat kamu," ucap Bu Mega ceria, membuat Arfiq juga tersenyum. Bu Mega beranjak dari duduk, kemudian membenarkan sedikit roknya, "Ya sudah, Mami pulang dulu. Takut adikmu pulang tapi Mami tidak ada di rumah. Dan jangan lupa, Minggu ini kamu harus pulang ke rumah." "Baik, Mamiku. Aku akan pulang ke rumah nanti." Mereka berpelukan sebentar. Kemudian Bu Mega keluar dari ruangan anak sulungnya. Ketika Bu Mega berjalan, beliau menghentikan langkah tiba-tiba setelah melihat pemandangan yang ada di depan sana. Di sana ada seorang gadis muda dengan rambut dikuncir kuda dan berseragam Office Girl yang tadi menolongnya sedang membersihkan kaca-kaca di kantor. Sambil sesekali bercanda bersama dengan teman-temannya. Hatinya menghangat melihat itu. Jarang sekali ada gadis yang umurnya masih muda mempunyai jiwa semangat yang tinggi. Tanpa sadar bibir Bu Mega tersenyum. beberapa menit kemudian Bu Mega kembali melangkahkan kakinya. Sore hari.... Pekerjaan Indah telah selesai. Dia sedang bersiap-siap pulang dan rencananya akan membeli beberapa persediaan bahan makanan buat di rumah. "Ndah, kamu pulang naik apa?" tanya seseorang ke Indah. "Naik ojek, Mas," jawab Indah singkat, sembari mengulas senyum. Senyuman yang indah sesuai dengan namanya, Indah. "Gimana kalau aku antar kamu?" tanya seseorang bernama Farid. Teman Indah yang berkerja sebagai Office Boy. Dan Farid sudah menyukai Indah sejak pertama kali Indah bekerja di perusahaan Hadiutomo. "Tidak usah, Mas, terima kasih." Indah menggeleng, menolak halus tawaran Farid. "Ndah, kamu udah punya pacar?" tanya Farid, dengan nada gugup. "Belum, Mas Far. Aku mau fokus bekerja dulu," jawab Indah, tidak menoleh ke arah Farid dan sedang fokus bersiap-siap. "Jangan terlalu semangat berkerja, Ndah. Sampai lupa cari pacar," ucap Farid spontan. Indah tidak menjawab ucapan Farid. Dia hanya tersenyum kecil. "Ya ampun, Abang Farid. Tinggal ngomong aja, kalau lo itu suka sama Indah," celetuk Lina, ikutan nimbrung ke pembicaraan Indah dan Farid. Mendengar celetukan Lina, Farid berdecak sebal sementara Indah tertawa renyah. Indah sedikit paham maksud Farid bertanya seperti itu. Dia tahu Farid mempunyai perasaan lebih terhadapnya. "Lagian ya, Ndah. lo nggak peka sama kodenya Farid?" Indah menggeleng pelan pertanyaan dari Lina sambil tersenyum. Cara aman supaya Farid tidak sakit hati. "Lo nggak ada sedikitpun perasaan ke Farid?" Lina kembali bertanya ke Indah, dengan mata memicing. "Lina, jangan aneh-aneh deh!" sungut Farid menatap tajam Lina. Indah melirik Farid sebentar sebelum menjawab pertanyaan Lina. "Perasaan sebagai teman, Mbak," jawab Indah masih dengan mengulas senyum. "Yaah ... cuma dianggap teman, Far." Lina berbicara sok dramatis. Indah terkekeh melihat Lina, lalu dia berdiri sambil mengalungkan tasnya. "Eemm ... kalau gitu, aku duluan ya Mas, Mbak Lina. Assalamualaikum," pamit Indah. Indah melangkah keluar ruangan khusus pekerja bersih-bersih. "Waalaikumsalam," jawab Lina dan Farid hampir barengan. Indah berjalan tergesa-gesa tidak menengok kanan kiri. Dia tidak tahu bahwa ada seseorang dari arah sebelah kiri. Mereka berdua bertabrakan. Dan Indah hampir saja jatuh kalau tidak diringkuh pinggangnya oleh orang itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD