2

1213 Words
Matahari mulai tersenyum dipagi hari, awan-awan tertata rapi dilangit yang terlihat memancarkan sinar menyilaukan mata seorang gadis. Seorang gadis yang masih meletakan wajahnya diatas bantal, seakan sulit untuk berpisah. Terlihat jelas jejak-jejak peta peninggalan prasejarah dibantalnya. Sayup - sayup Luna mendengar suara seseorang memanggilnya dengan kencang dari balik pintu kamarnya. "Luna... bangun Luna," panggil Rosita. Dengan perlahan Luna membuka matanya, melirik jam diponsel yang sudah menunjukan jam 9 pagi. Luna membulatkan matanya dengan sangat terkejut, ia tak menyangka terlambat bangun. Luna langsung membuka pintu kamarnya, terlihat dengan jelas wajah Rosita yang tampak marah. "Ibu, kenapa ga bangun aku? Ini udah jam 9 loh," rengek Luna. "Kamu ini yang tidur kayak kebo. Ibu itu sudah teriak-teriak kayak Tarzan memanggil kamu." "Ibu glantungan ga tadi diatas pohon pas manggi aku." "Lunaaaaaaa...." Ibunya berteriak semakin kencang. "Iya Ibu, aku denger. Ga usah teriak-teriak gitu, lihat tuh urat saraf Ibu jadi tegang, loh." "Luna...." "Iya Ibu ku sayang." "Mandi." "Nanti yaa, Bu." "Luna itu diwajahmu." "Kenapa Bu? Aku makin cantikkan." "Iiis, apa gunanya cantik, tapi kalau ada ilernya." "Akh ga apa - apa aku ada ilernya yang penting tetap cantik." "Udahlah sana mandi, Ibu mau berangkat kerja dulu." "Lah Ibu kok berangkatnya udah siang banget sih." "Tadi disekolah ada jam pelajaran lain, jadi Ibu bisa berangkat siang. Udah sana kamu cepetan mandi." "Iya, Ibu." Luna melihat Ibunya pergi keluar rumah, dia kembali sendirian di dalam rumah. Semenjak dia sudah jadi sarjana sebulan yang lalu, dia masih belum mendapatkan pekerjaan. Walau dia sudah memasukan lamaran kerja diberbagai perusahaan, tapi masih sekarang belum ada surat panggilan. "Aku ngapain ya sekarang." Luna melihat sekelilingnya. Semua sudah rapi dan bersih. Dimeja makan sudah tersedia makanan untuk ia santap. Luna melihat ponselnya, dia akan mengecek email dan semoga saja ia dapat panggilan kerja. Luna melihat tidak percaya ada sebuah pesan masuk diemailnya. Ia akhirnya mendapat panggilan kerja. "Akhirnya, selesai sudah status pengacara yang aku sandang sebulan ini," ujar Luna sumringah. Walau Luna berstatus pengacara alias pengangguran banyak acara, tapi tetap semangat menjalani hari-harinya. Luna memang tidak sepenuh menjadi pengacara, ia juga masih bekerja membantu Bu Yanti di tokonya. Luna mengambil ponselnya dan menghubungi Rosita. "Hallo Luna ada apa?" ujar Rosita. "Ibu... Akhirnya Ibu." "Akhirnya kenapa? Masa baru Ibu tinggal beberapa menit kamu kumat lagi, Kamu baik - baik aja, kan? "Ibu ini memangnya aku kumat gimana sih? Aku ini waras Ibu bukannya setengah ga waras." "Iya... Iya Ibu tahu kamu waras, kalau ga waras pasti kamu sudah masuk rumah sakit jiwa." "Yaa ampun Ibu tega amat sama anak sendiri." "Yaa udah cepetan kamu mau ngomong apa? Dari tadi kok muter-muter aja." "Ibu sih malah jadi begitu. Begini Bu, akhirnya status anakmu yang jadi pengacara ini akan berakhir, Bu." "Hah, apa kamu pengacara? Bukannya kamu itu kuliahnya ambil jurusan manajemen dan bisnis, kenapa bisa kamu jadi pengacara." "Yaa ampun Ibuku tersayang, maksud aku itu pengacara bukan pengacara sesungguhnya, tapi pengangguran banyak acara." "Owalah, mbok yoo ngomong kalau itu artinya. Mana Ibu ngerti, Lun." "Hehe, mangap dah Bu." "Mangap mulu sih, Nak. Bau kamu itu." "Udah akh ngomong sama Ibu, aku jadi jengkel sendiri. Begini dah Bu, aku dapat surat panggilan bekerja Bu." "Serius Nak. Alhamdulillah akhirnya anak perawanku mengakhiri statusnya menjadi pengacara. Aku sangat senang sekali, Luna." "Iya Ibu. Sampai jumpa dirumah Ibu." "Iya Nak, nanti sepulang kerja Ibu langsung pulang." "Ooh, iya Bu. Sekalian bawa es teler yaa pas pulang." "Siap juragan." "Iiih, Ibu." "Iiih, Luna." Luna tertawa mendengar perkataan Ibunya, ia beruntung memiliki seorang Ibu yang sangat menyayanginya. Walau Ayahnya sudah tak bersama mereka lagi, tapi Ibu lah yang bekerja demi membiayai semua kebutuhan mereka. Luna sangat menyayangi Ibunya lebih dari apapun. ***** Hari ini Luna sangat bahagia, ia akan memberitahukan pada Kafka tunangannya kalau telah diterima berkerja di salah satu perusahaan textile. Saat Luna tiba di salah satu kafe, ia mencari Kafka. "Sayang," ujar Luna dengan bahagia. "Kenapa kamu kok bahagia banget?" tanya Kafka. "Aku akhirnya bukan lagi pengangguran loh." "Kamu sudah mendapatkan pekerjaan Lun." "Iya. Akhirnya aku bukan lagi pengangguran dan akan menjadi wanita karir." Kafka tersenyum. Ia ikut bahagia menatap Luna tunangannya yang tampak bahagia. "Kaf, kamu kok rapi banget mau ke mana?" tanya Luna. Kafka terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuat Luna sedih. "Kaf, ada apa? Kenapa diam aja?" Kafka menghela napasnya. Sulit rasanya mengambil keputusan ini. "Aku mau mengatakan bagaimana kalau kita putus saja." Perkataan Kevin membuat Luna tak percaya. Tunangannya ingin putus dengannya? "Ka–mu serius? Ke–napa?" tanya Luna tergagap. "Ini semua bukan salahmu dan bukan karena aku selingkuh." "Lalu?" "Maaf. Aku tidak bisa meneruskan pertunangan kita dan kita harus putus." "Kenapa? Apa alasannya? Kita sudah pacaran 3 tahun Kaf dan 1 tahun ini kita sudah bertunangan. Kenapa kamu mau minta putus?" Kafka menatap Luna dengan sedih. Ia tak bisa mengatakan alasannya putus dengan Luna. "Katakan alasannya Kaf! Jangan hanya diam saja." Kafka menutup matanya. Walau ini berat ia harus mencari alasan agar Luna mau putus dengannya. "Aku tidak suka caramu berpakaian seperti cewek urakan dan aku tidak suka kalau nanti mempunyai istri yang jorok dan tak elegant sepertimu. Lihat saja penampilanmu sama sekali tidak seksi!" Perkataan Kafka membuat Luna pusing. Ia memang berpenampilan apa adanya hanya menggunakan kaus dan celana jeans, tapi bukannya dulu Kafka tak mempermasalahkannya m? Menerima segala kekurangannya. "Maksudmu memutuskan aku hanya karena aku ga seksi?" tanya Luna dengan tak percaya. "Bukan hanya ga seksi bahkan rambutmu hanya diikat begitu saja dan wajahmu sama sekali tak make up terlihat kusam. Aku ini seorang direktur keuangan salah satu perusahaan besar, memiliki tunangan sepertimu malah membuatku malu." Hati Luna serasa hancur. Perkataan Kafka menusuk jantungnya. Penampilannya yang menurut Kafka tak seksi dan elegant meruntuhkan rasa percaya dirinya. Luna berusaha menahan air matanya yang ingin tumpah ruah di hadapan Kafka, tapi ia menahannya. Ia tak boleh terlihat lemah di depan pria yang sudah menghina dan menginjak-injak harga dirinya. "Aku pergi dan ini ku berikan mobil untukmu," ucap Kafka dingin. "Untuk apa mobil ini! Aku memang orang tak punya, tapi aku tidak butuh belas kasihanmu." "Ya... ya... aku tahu kamu memang anak yatim yang tidak memiliki uang, tapi setidaknya terima lah mobil ini agar kamu tidak perlu naik turun ojek dan penampilanmu bisa lebih bersih dan wangi," ujar Kafka berdiri dari kursinya. Pipi Luna bergetar ia berusaha menahan amarahnya. "Aku tidak perlu!" Kafka melirik Luna dan berkata, "Aku membelikanmu mobil ini sebagai rasa terima kasihku selama 3 tahun sudah memberikan aku kehangatan diatas ranjang. Jangan merasa terhina dengan pemberianku, aku mencintaimu bahkan sangat mencintaimu, tapi keadaan aku yang sekarang tak mampu melanjutkan pertunangan kita." Luna benar-benar merasa sangat terhina dengan perkataan Kafka. "Aku tidak butuh mobilmu! Ambil kembali kunci mobil dan bpkbnya." "Luna, aku mohon terima mobil ini. Aku ingin kamu bekerja dengan menggunakan mobil ini. Kalau kamu mau menjualnya terserah padamu, tapi aku mohon terima lah mobil pemberian terakhirku untukmu." Suara Kafka terdengar memohon pada Luna. Air mata Luna akhirnya terjatuh dipipinya. Hatinya sangat sakit. "Baiklah, aku akan menerima mobil ini dan aku tidak akan pernah mau bertemu lagi denganmu!" Luna mengusap air matanya, beranjak dari kursi dan menyenggolkan bahunya ke bahu Kafka. Ia yang harus pergi duluan dari hadapan Kafka. Meninggalkan laki-laki yang sekarang menjadi mantan tunangannya. Kafka menatap dengan sedih kepergian Luna. Ia pun sebenarnya tak ingin memutuskan pertunangannya dengan Luna. Ia mencintai Luna, bahkan sangay mencintanya lebih dari apapun, keadaanlah yang membuatnya harus memutuskan Luna. "Maafkan aku, Luna."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD