BAB 7 - the show must go on

2339 Words
“Kenapa mereka begitu jahat, Satya?” Laki-laki itu memeluk ibunya yang mulai menangis sesenggukkan setelah mendengar semua cerita Abisatya tentang saudara kembarnya. “Mereka itu sudah Ibu anggap seperti anak sendiri, kalau mereka main ke sini, mereka sering makan bareng kami, semuanya terlihat baik-baik saja, Sat. Ibu nggak pernah curiga sama mereka,” lanjut perempuan tua itu di sela-sela tangisannya. “Kita harus mencari bukti yang bisa memberatkan mereka, Bu. Tapi bagaimana caranya, aku belum tahu. Yang pasti kita harus melindungi Rhea. Karena mereka mengincar uang 2,5 miliar itu!” sela Abisatya sambil melepas pelukkan Bu Mayang dan menyeka ujung matanya yang berair, lalu memasukkan dokumen sertifikat rumah itu lagi ke dalam map transparant.   “Kamu benar, kalau memang itu tujuan mereka membunuh Abi, kita harus menolong Rhea, tapi apa saudara iparmu itu percaya begitu saja?” “Itu yang aku khawatirkan, Bu. Rhea pasti nggak percaya begitu saja sama aku,” sahut Abisatya sambil memikirkan sesuatu. “Aaah sudahlah, kita pikirkan nanti, aku mau mandi dulu.” Laki-laki itu segera meletakkan map transparant itu di atas meja dan beralih ke pintu. “Satya!” Pria itu segera berhenti di depan pintu kamar dan menoleh ke belakang sambil memegang handle pintu, menunggu pertanyaan sang ibu yang tampak begitu cemas. “Apa Abi terlihat bahagia?” Abisatya pun tersenyum. “Ibu nggak usah khawatir, saat ini dia memang terlihat sedih dan marah, tapi aku yakin kalau masalah ini selesai, Abi pasti akan bahagia.” Bu Mayang  mengangguk kecil sambil tersenyum tipis. “Aku mandi dulu, yaa ….” Perempuan tua itu kembali mengangguk seraya berkata, “Iyaa, kamu mandi saja dulu, nanti kita sarapan bareng. Ibu tunggu di ruang makan, ya.”   ♥♥♥ Bau aroma rumah sakit yang begitu kuat tampak menguar di udara saat Abisatya melalui lorong-lorong rumah sakit yang berlantai marmer putih. Lantai itu begitu bersih dan terkesan licin, mungkin untuk memudahkan para perawat berlari ketika mereka harus mendorong brankar yang berisi pasien di atasnya, agar mereka bisa segera menolong nyawa pasien tersebut. Abisatya pernah ada di posisi itu sebagai seorang pasien yang terkapar tidak berdaya beberapa tahun yang silam saat dirinya terlibat tawuran hebat dengan anak-anak dari sekolah lain. Saat itu dia di antara hidup dan mati, tubuhnya bersimbah darah, dipenuhi luka tusukkan dan bacokkan hingga koma beberapa hari. Sejak saat itulah, dirinya bisa melihat alam lain yang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Seperti siang ini, sejak memasuki rumah sakit ini, Abisatya telah disambut oleh senyuman manis dari sosok menyeramkan yang wajahnya terbakar separuh. Laki-laki itu berusaha tidak merespon. Namun, para sosok tidak bernyawa ini mungkin memiliki radar atau penciuman yang tajam untuk orang-orang indigo, karena meskipun dia berusaha tidak merespon dan pura-pura tidak melihat, sosok itu tetap mengikutinya. “Kamu mau apa ke sini?” “Kamu sendiri ngapain di rumah sakit? Bukannya kamu masih cuti berkabung?” Abisatya balik bertanya ke Rhea yang saat itu sedang membaca-baca berkas pasiennya yang datang hari ini, sementara laki-laki itu duduk di depan meja kerja sang dokter sambil meletakkan sebuah map plastik besar di atas meja. “Masa berkabungku sudah berakhir, Kak Satya. Jadi aku harus bekerja, aku nggak mau berlarut-larut dalam kesedihan,” sahut Rhea datar. “Tapi kamu itu masih berkabung, Rhe! Seharusnya kamu di rumah saja, menemani Shira dan belum saatnya kamu kerja,” sela Abisatya kesal sambil mengedarkan tatapannya ke seluruh ruang praktek mantan istri saudara kembarnya itu. Sosok menyeramkan itu sudah tidak terlihat lagi di belakangnya, mungkin karena ada sosok berbaju merah yang duduk di atas lemari besi yang berisi berkas-berkas data pasien. Kakinya yang panjang terlihat menjuntai ke bawah, sementara rambut panjangnya menutup sebagian wajahnya yang terlihat pucat. Laki-laki itu menghela napas dalam, sebenarnya dia tidak ingin melihat hal-hal ghaib seperti ini. Namun, apa daya, sosok-sosok itu tampak berlalu lalang di depannya. “Oooh, jadi menurut Kak Satya, aku harus diam di rumah dan menangisi Kak Abi terus menerus, begitu? Apa dengan menangis, suamiku akan kembali? Sudah, yaa. Aku sudah cukup menangisi dia seharian penuh kemarin! Sekarang aku ingin bangkit! Aku nggak boleh cengeng!” Abisatya menggeleng. “Lalu apa yang harus aku lakukan?” “Ibumu mengkhawatirkanmu, Rhe. Ibumu cerita semuanya ke ibuku, kalau dari semalam kamu nggak mau makan, bahkan pagi ini, kamu juga nggak sarapan, lalu kamu langsung pergi kerja ke rumah sakit. Apa itu cara yang benar untuk keluar dari kesedihanmu akan Abi? Tanpa peduli ke anakmu yang masih butuh asupan ASI dari kamu?” sindir Abisatya resah. “Aku masih peduli sama Shira, Kak. Aku masih menyusuinya, tapi the show must go on. Aku harus menjalani hidupku, meskipun Kak Abi sudah nggak ada di sisiku!” Rhea mencoba membela diri. “Yaa! Aku setuju itu!” sela Abisatya lantang, “bukan cuma kamu! Kita semua! Aku, kamu, ibumu, ibuku, keluarga kita memang harus menjalani hidup kita masing-masing, meskipun Abi sudah pergi! Aku setuju itu!” lanjutnya lagi, “tapi bukan dengan begini caranya!” “Aku rasa, ini cara yang benar, Kak!” sahut Rhea tegas, “aku harus sibuk kerja, agar aku nggak kepikiran terus.” “Aku tahu, kalau ini berat buat kamu, tapi jangan siksa dirimu seperti ini, Rhe.” Suara Abisatya sedikit melunak, “jiwamu ini masih labil, jangan bilang kalau kamu nggak labil. Dengan kamu nggak makan, itu artinya kamu itu nggak labil.” Perempuan itu hanya terdiam, mendengarkan ocehan saudara iparnya sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi kerja dan sesekali merapikan jas dokter warna putih yang dikenakan. “Kamu memang harus keluar dari kesedihan ini, tapi secara bertahap, bukan begini caranya, Bu Dokter. Aku yakin kalau Abi tahu semua ini, dia juga akan sedih melihat kamu seperti ini.” Rhea hanya tersenyum masam. Dua belas tahun sudah Rhea tidak bertemu dengan laki-laki yang duduk di depannya ini, ternyata pengalaman hidup, membuatnya jadi semakin bijaksana, tidak ceroboh dan sembrono seperti dulu. Perempuan itu salut dengan perubahan Abisatya yang dulu sempet deket dengan dirinya saat SMA. “Dan asal kamu tahu saja, aku datang ke sini, dengan tujuan khusus,” lanjutnya sambil membuka map yang berada di atas meja. Kening Rhea berkerut ke tengah. “Aku dapat tugas khusus untuk menyerahkan dokumen sertifikat ini untuk kamu!” ujar Abisatya. “Untuk aku? Dari siapa?” Rhea jadi penasaran. “Siapa lagi, kalau bukan dari Abiwara Darmais!” Rhea pun tertegun. “Apa kamu bilang? Dari Kak Abi? Nggak salah?” tanyanya heran. Abisatya menggeleng sambil mengeluarkan dokumen sertifikat rumah itu dan sebuah kunci rumah, lalu menyerahkannya ke Rhea. “Jujur, aku nggak pernah tahu kalau Abi punya rencana mau beli rumah. Kalau ibuku tahu, kalau Abi mau beli rumah, tapi Ibu nggak tahu kalau rumah itu sudah dibeli, karena almarhum suami itu belum sempat bilang ke Ibu,” jelasnya sambil menyodorkan sertifikat rumah itu ke Rhea. “Lalu apa hubungannya sama aku?” Rhea semakin tidak mengerti. “Nama di dalam sertifikat rumah ini adalah namamu. Coba kamu lihat!” Perlahan Rhea membuka sertifikat itu dan membaca isi di dalamnya, “Abi sebenarnya ingin ngasih surprise ke kamu dan memberikan sertifikat rumah ini buat kamu sebagai hadiah ulang tahun nanti.” Riak kecil itu kembali menggantung di kedua bola mata Rhea yang bulat, dia tidak menyangka kalau almarhum suaminya sudah mempersiapkan semuanya sejauh ini. “Lalu, bagaimana kamu bisa tahu semua ini?” “Abi yang ngasih tahu ke aku, Rhe,” ujarnya santai sambil melirik ke sosok berbaju merah itu yang duduk santai di atas lemari besi. Gayanya terlihat santai, seolah-olah dia lah penguasa ruang yang bernuansa putih ini. Apalagi dengan warna bajunya yang mencolok—warna merah darah—sosok itu begitu terlihat jelas di antara beberapa warna putih dan warna peach dari beberapa perabot yang berada di ruang itu. “Apa? Kak A-bi? Kak A-bi? Kamu nggak ngimpi ‘kan?” Abisatya kembali menggeleng. “Aku nggak ngimpi, Rhe. Ini bener! Abiwara, almarhum suami kamu memang menemui aku dan menceritakan semuanya ke aku tentang rumah yang dibelinya. Coba kamu pikir, darimana aku tahu kalau dia punya rumah dan sertifikatnya itu disimpan di laci lemari? Kalau bukan dia sendiri yang bilang ke aku?” Laki-laki itu berusaha meyakinkan perempuan itu agar percaya pada apa yang dilihatnya.   “Masa, sih? Aku nggak percaya,” sela Rhea ragu, “oke lah, aku tahu kalau yang beginian memang ada di dunia ini, tapi ini bener-bener mustahil, Kak! Kak Abi itu sudah meninggal! Sudah meninggal, mana mungkin tahu-tahu dia datang dan menemui kamu lalu cerita semua ini. Ini bener-bener nggak masuk di akal! Aku nggak percaya!” lanjutnya heran.   “Kalau nggak masuk akal, lalu bagaimana caranya aku tahu soal rumah yang dibelinya itu?” “Kak Satya sendiri ‘kan bilang tadi, kalau Ibu tahu kalau Kak Abi mau beli rumah!” sela Rhea cepat. “Iyaa, tapi itu baru rencana, Rhe. Ibu belum tahu kalau Abi sudah bayar lunas rumah itu, Ibu cuma tahu kalau Abi mau beli, ingat, yaa! Ma-u be-li! Bukan su-dah be-li! Kamu tahu perbedaannya, ‘kan? Antara mau beli dan sudah beli?” “Iyaa, aku tahu! Tapi mungkin saja Ibu menemukan sertifikat rumah ini waktu beres-beres barang Kak Abi? Bisa jadi, ‘kan?” Perempuan itu berusaha tetap berpikir rasional, karena dari dulu dia memang tidak percaya sama hal-hal yang berbau supranatural. “Kamu lupa? Kalau Ibu belum masuk ke kamar Abi sejak dia meninggal? Abi ‘kan sekamar sama kamu. Dan lagi sertifikat ini aku temukan di ruang kerja Abi. So dari mana aku tahu semua ini kalau bukan dia yang cerita sama aku?” tanya Abisatya kesal. Memang tidak mudah meyakinkan dokter muda yang satu ini. “Tapi ini di luar nalar, Kak. Ya sudah lah, terserah Kak Satya, kalau Kakak percaya, monggo! Tapi aku bener-bener nggak percaya, mana mungkin ada orang yang meninggal lalu menemui kita secara kasat mata? Rasanya nggak mungkin! Dimensi kita sudah berbeda, Kak.” “Terserah kamu juga, Rhe! Mau percaya atau nggak, tapi yang jelas selain soal sertifikat rumah ini, Abi juga nitipin polis asuransinya untuk kamu, karena kamu adalah ahli warisnya, kamu bisa baca semuanya! Dan asal kamu tahu, gara-gara polis asuransi ini, Abi meregang nyawa!” “Maksudmu?” Rhea jadi semakin tidak mengerti. “Kamu tahu ‘kan berapa uang pertanggungan yang kamu terima kalau Abiwara meninggal dunia?” Rhea mengangguk ragu dan kembali membaca isi dari polis asuransi Abiwara dengan seksama hingga pada bagian ahli waris dan nilai uang pertanggungan yang bisa diterima oleh sang ahli waris. Rhea tercengang dan tidak percaya kalau dirinya akan mendapat uang pertanggungan sebesar 2,5 miliar rupiah sebagai ahli waris almarhum suaminya. “Apa … 2,5 miliar?” “Yaa, 2,5 miliar!” sela Abisatya cepat, “apa kamu baru tahu kalau kamu bakal dapat uang segitu?” tanyanya heran sambil menatap perempuan itu yang sempat terbengong dengan wajahnya yang polos. “Jadi selama ini kamu nggak tahu kalau uang pertanggungan Abiwara segitu?” Perempuan itu kembali menggeleng bingung, “kamu tahu, gara-gara uang 2,5 miliar itu saudara kembarku mati!” ujarnya sedih sambil menyeka embun yang mendesak keluar dari sisi matanya. “Apa maksudmu?” tanya Rhea heran dengan kedua bola matanya yang berkaca-kaca. Dia benar-benar terharu dengan semua persiapan almarhum suaminya, seolah-olah dia sudah menyiapkan semua ini untuknya, sebelum dia pergi. “Kecelakaan yang terjadi sama Abi itu,” sahut Abisatya lirih sambil mengusap ujung matanya dan terdiam sesaat, “kecelakaan itu, sebenarnya bukan kecelakaan murni, Rhe. Kecelakaan itu sengaja dibuat dan direkayasa.” Abisatya lalu menceritakan semua insiden kecelakaan yang diceritakan oleh sosok yang menyerupai Abiwara. Rhea jadi semakin bingung, karena bagaimana bisa seseorang yang sudah mati menceritakan ini semua ke orang yang masih hidup. Rhea pun menginterupsi cerita Abisatya. “Tunggu, tunggu! Kamu bilang, semua ini kamu tahu dari Kak Abi? Bener Kak Abi yang cerita semua ini ke Kak Satya? Bagaimana mungkin?” tanyanya heran. Abisatya mendengkus kesal dan memutar bola matanya, dari dulu ngobrol sama Rhea memang tidak mudah. Perempuan ini selalu bicara berdasarkan logika dan selalu mengkritik, apalagi setelah menjadi dokter, daya pikirnya semakin tajam dan tidak mudah terpengaruh. “Kalau semua itu nggak mungkin, nggak bener. Lalu bagaimana aku bisa tahu semua cerita tentang kecelakaan itu? Malam itu aku masih di Bandung, Rhe!” selanya kesal, karena perempuan ini masih saja tidak gampang percaya dengan semua yang diceritakannya. “Iyaa, aku tahu, tapi ini antara percaya dan nggak percaya, Kak! Aku masih belum bisa percaya, karena kedua teman Kak Abi itu. Kak Beno dan Kak Adham itu orangnya baik banget, nggak mungkin mereka berbuat seperti itu! Apalagi ke Kak Abi! Rasanya nggak mungkin! Kak Satya nggak mengada-ngada, ‘kan?” “Bagaimana bisa aku mengada-ngada? Lagian buat apa aku mengada-ngada?” “Yaa, aku sendiri juga nggak tahu, karena aku bener-bener nggak percaya sama semua ini. Ini bener-bener di luar akal sehat dan logika-ku! Aku nggak bisa percaya begini saja, aku butuh bukti! Bukti yang kongkret!” “Apa sertifikat rumah dan polis asuransi ini bukan bukti yang kongkret buat kamu? Kedua benda ini nyata ‘kan, Rhe?” sela Abisatya sambil menunjuk ke berkas yang masih berada di depan Rhea, “dan keduanya ada hubungannya sama Abiwara Darmais!” Abisatya masih berusaha meyakinkan istri saudara kembarnya itu tentang keberadaan almarhum Abiwara yang benar-benar ada. “Tapi kata hatiku masih menolaknya, Kak. Aku masih belum percaya sama semua itu, karena bisa aja ‘kan, maaf … kalau semua ini hasil rekayasa Ibumu. Sorry, aku bukannya nggak percaya sama Ibu, tapi aku masih belum bisa percaya! Aku belum bisa menerima semua ini.”   “Coba kamu pikir lagi, Rhe. Buat apa Ibu melakukan hal ini? Apa untungnya buat beliau? Karena semua itu buat kamu, Rhe! Sepeser pun Ibu nggak ngambil dari apa yang diberikan Abi ke kamu dan Shira! Kecuali kalau Ibu mengakui milikmu itu adalah miliknya, itu kamu baru bisa curiga sama beliau!” ujarnya kesal. Abisatya sebenarnya tidak terima kalau ibunya dituduh yang tidak-tidak sama menantunya sendiri. “Okee, sorry, sorry. Aku bukannya nuduh Ibu seperti itu, tapi jujur ini nggak masuk di akal, Kak! Ini nonsense buatku!” Rhea masih saja belum menerima cerita Abisatya tentang almarhum Abiwara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD