Sorry, Sorry, and Sorry

1523 Words
Sungguh, tidak ada yang terjadi ketika Auriga membiarkan Lovarie memakai kamarnya untuk istirahat. Gadis itu sudah agak sadar dan tidak menolak untuk menginap karena tahu alasannya. Auriga mengalah tidur di sofa ruang tengah. Lelaki itu menutup mata dengan lengan kanannya. Adegan tadi di pesta Russell terngiang-ngiang. Kalimat panjang yang Lovarie lontarkan begitu jelas tanpa ragu. Juga ciuman itu. Tidak. Ini mimpi buruk. Sial, padahal Auriga belum benar-benar tidur, tetapi dia sudah bermimpi buruk. Dia mengusap-usap wajah, berusaha menyingkirkan memori itu. Kalau bisa, Auriga berharap dia tidak pernah melihat adegan tadi. Empat menit paling sialan di hidupnya. Dua jam kemudian, Auriga menyerah. Dia tidak akan berusaha tidur lagi. Sia-sia saja. Otaknya tidak mengizinkan dia terlelap, ia terus saja memutar empat menit itu seolah Auriga harus mengingatnya sepanjang hidup. Jam dinding baru menunjukkan pukul sepuluh malam lewat sebelas menit. Terlalu sore untuk ukuran anak malam yang terbiasa tidur dini hari. Auriga mengambil MacBook-nya, berusaha menyibukkan diri dengan tugas. Sepuluh menit berusaha fokus, hasilnya percuma. Tidak berhasil. Dia masih terbayang-bayang. Auriga hanya ingin tenang tanpa memikirkannya. Jika tidak bisa tidur, setidaknya buatlah pikiran Auriga sibuk dengan memikirkan hal lain. Ketika SMA, Auriga tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan jatuh cinta pada seseorang. Ini cukup tidak adil karena di pengalaman pertamanya, dia justru menyukai gadis yang mencintai orang lain. It was another level of pain. Rasa-rasanya, dia ingin menangis saja, lalu tertidur dengan pulas. Sayang, skenario hanya skenario. Dia bahkan tidak bisa meneteskan setitik air mata pun. Payah. Padahal hatinya sudah remuk redam, mengapa masih saja begini? Auriga bangkit dari sofa, berjalan menuju laci yang terdapat di dapur. Dia mengeluarkan benda yang hanya pernah disentuhnya sekali seumur hidup. Rokok. Jujur, Auriga tidak menyukai rasa rokok dan bagaimana sensasi asap rokok memenuhi rongga paru-parunya. Namun, jika itu membantu Auriga sedikit melupakan Lovarie, mungkin beberapa batang tidak apa-apa. Baru dua kali hisap, suara Lovarie terdengar dari lantai atas. Gadis itu sepertinya mual-mual. Berikutnya, ada suara pintu kamar mandi ditutup. Pastilah Lovarie sedang di kamar mandi. Setahu Auriga yang awam, kandungan alkohol pada red wine tidak begitu tinggi. Kemudian, dia teringat bahwa dua gelas terakhir yang diminum Lovarie bukanlah red wine, melainkan whisky. Sempurna. Lovarie yang sejatinya tidak kuat minum langsung tipsy. Sudah batang kedua rokok dinyalakan. Auriga duduk di kursi tinggi, menatap lurus pada televisi yang mati. Hingga terdengar suara duk-duk-duk dari tangga. Benar saja, Lovarie datang dari lantai dua dengan sedikit terkejut melihat Auriga merokok. Akan tetapi, dia diam saja, tidak mengatakan apa-apa. Auriga sengaja tidak menyapa Lovarie terlebih dahulu. Dia masih sibuk merokok, tidak terpengaruhi oleh keberadaan gadis itu. Dari sudut matanya, dapat Auriga lihat Lovarie sedang mengusap-usap tengkuk. Terdengar suara dehaman, lalu dia bertanya, "Ehm, Ri-ga, gue boleh bikin teh?" Tidak ada jawaban berupa kata-kata dari Auriga, lelaki itu hanya mengangguk singkat. Lovarie langsung berkutat dengan teko, cangkir, teh, dan gula. Beberapa saat berlalu, terdengar suara air dituang. Detik berikutnya, Lovarie mengaduh kesakitan. Auriga tebak, pasti jarinya tersiram air panas. Sempat hendak balik badan dan membantu Lovarie, tetapi urung. Dia melanjutkan kegiatan merokoknya dengan khidmat. Bukannya ingin berbuat jahat, melainkan Auriga sedikit kesal. Boat hati merokok untuk melupakan Lovarie sejenak, gadis itu justru turun dan membuat teh. Dua mug berisi teh hangat dengan asap mengepul diletakkan di meja. Lovarie duduk di sebelah Auriga, diam mematung. Dia melirik-lirik Auriga yang tampak tenang menghisap rokok ketiganya. Tanpa ditanya pun, Lovarie tahu benar Auriga bukanlah perokok. Sepanjang dia mengenal Auriga, tidak pernah dia melihat lelaki itu memegang rokok. Akan tetapi, malam ini Auriga merokok. Dengan raut wajah datar dan rambut acak-acakan. Lovarie tahu benar, ini gara-gara hal bodoh di pesta Russell tadi. Malu memang terasa, tetapi Lovarie lebih ke merasa bersalah. Lagi-lagi dia merasa bersalah. Pada Auriga. Pada Auriga yang baik hati dan luar biasa pengertian. "Ga." Tidak ada sahutan. Auriga tidak menyentuh mug berisi teh sama sekali. Melirik titik lain pun tidak. Dia masih setia menatap layar mati televisi. Merasa tidak enak dengan suasana seperti ini, Lovarie bangkit. Auriga hampir saja menghela napas lega karena Lovarie hendak pergi. Akan tetapi, lima detik berikutnya, dia justru menahan napas tatkala Lovarie justru mengambil posisi duduk di hadapannya persis. "Ga, liat gue." Butuh proses peneguhan hati sebelum Auriga menatap Lovarie. Dia perlu menyiapkan dirinya agar tidak memancarkan tatapan mata menyedihkan. Keduanya sudah saling tatap, Lovarie malah salah tingkah sendiri. Dia menunduk menatap mugnya, lalu berkata, "I-itu teh buat lo, diminum." Lagi, Auriga tidak menjawab. Dia hanya menatap lurus ke arah Lovarie. Gadis itu menyesap tehnya perlahan. Sensasi hangat dan menenangkan langsung menyapa kerongkongannya yang hanya dilewati minuman keras tadi. "Gue jarang tipsy, tapi gue tau dengan minum teh, kesadaran gue bakal balik pelan-pelan. Lo sendiri pernah tipsy kayak gini sebelumnya? Pasti enggak, ya? Keren, gue juga penginnya enggak nyoba tipsy gini, tapi dulu gue--" "Kalo bisa, gue pengin marah sama lo." Lidah Lovarie langsung kelu. Nyalinya menciut begitu saja. Tidak pernah Lovarie bayangkan bahwa Auriga cukup mengerikan ketika dia marah. Namun, Lovarie paham benar apa yang tengah dirasakan Auriga. Bukan kemarahan, tetapi kekecewaan. Meski masih ditatap datar oleh Auriga, Lovarie masih mencoba bicara. "Sialnya—sebenernya gue enggak tau harus ngomong sial atau untungnya—gue selalu inget semua kejadian ketika gue tipsy. Emang kepala gue bakal sakit ketika sadar sepenuhnya, tapi ingatan itu pasti muncul. Gue enggak bisa lupa ingatan ketika gue tipsy. Aneh, padahal, secara fisik gue lagi enggak sadar." "Kalo bisa, gue pengin hapus ingatan empat menit itu dari hidup gue." Hati Lovarie makin gentar. Dia memegang mug sekuat tenaga agar tidak tremor. Mendengar suara berat Auriga membuatnya merinding. Lovarie sudah membuat kesalahan besar, dia tahu. Namun .... "Sayang gue enggak bisa. Lo sahabat gue. Begitu juga Jensen. Sedari awal gue emang cuma figuran di hidup lo. Siapa gue sampe berani ikut campur urusan pribadi lo?" Lovarie menggeleng pelan. Itu tidak benar. Auriga bukanlah figuran di hidupnya ketika dia sudah memberi impact besar. Posisi Auriga tidak seremeh itu. Bahkan, Lovarie yakin Jensen juga merasa bersalah sama seperti dirinya. Jensen memang sering bertindak tanpa hati, tetapi dia masih punya hati. "Sorry ...." Auriga mematikan rokok ketiganya, lalu menyalakan yang keempat. Lovarie menahan pergerakan tangan lelaki itu. "Enggak gini caranya." Seolah tak terinterupsi, Auriga lanjut menyalakan rokok. "Deja vu, Lov? Tadi juga lo yang tetep minum meski gue larang, 'kan?" Meski terdengar merengek, Lovarie ingin sekali Auriga yang biasanya kembali. Dia mati kutu bicara dengan Auriga yang sekarang. "Lo jangan kayak kaget gitu. Lo sendiri yang bilang 'I'll show you every version of yourself tonight'. Sekarang, lo udah nunjukin hampir semua versi dalam diri gue. Keren, ya?" Lovarie lagi-lagi terkejut dengan respons Auriga. Lelaki itu mematikan rokok keempat di asbak, lalu menyiram asbak tersebut dengan teh di mugnya sendiri. "Lo enggak berhenti ketika gue suruh lo berhenti minum. Lo seolah gue emang enggak berdampak apa-apa di hidup lo. Mungkin itu hal kecil, tapi basic. Atau mungkin itu hal enggak penting dan gue aja yang overreacting." Sambil Auriga berujar demikian, Lovarie sadar akan satu hal. Mengapa Auriga mematikan rokoknya? Baiklah, kesimpulan yang tidak berani dia tanyakan kebenarannya membuat Lovarie menggigit bibir karena gugup dan tidak tahu harus apa. Simpel saja, Auriga langsung berhenti ketika Lovarie menyuruhnya berhenti. Artinya, Lovarie memiliki impact di hidup Auriga. Bukan berarti Lovarie mengiakan tentang Auriga yang tidak berarti di hidupnya. Itu salah besar. Auriga sudah menjadi bagian penting di hidupnya. Sahabat yang sangat berharga. Teman bercerita yang senantiasa mendengar. Lovarie menutup wajah dengan dua telapak tangan. "Plis, Ga, gue enggak ngerti harus gimana sekarang. Gue tau, kata maaf enggak bisa balikin apa-apa, tapi cuma itu yang bisa gue omongin." "Maaf buat apa?" Tidak tahu harus menjawab apa. Lovarie terbungkam seribu bahasa. Dia tidak mungkin mengutarakan praduganya yang bisa saja salah. "Untuk ... udah repotin lo malem ini." Auriga menghela napas, berusaha tenang. "Gue juga minta maaf." "Tentang?" "Karena gue enggak nerima mug dari lo." Raut wajah Lovarie berubah. Tidak terdefinisikan. "Lo tau itu bukan salah lo." "Begitu juga lo. Enggak perlu minta maaf atas hal di luar kendali lo," ucap Auriga pelan. Dia menyesap tehnya yang mulai menghangat, sudah tidak sepanas tadi. Sepuluh menit kemudian, tidak ada percakapan sama sekali. Keduanya sama-sama diam. Hingga Lovarie berdiri, mencuci mugnya, lalu berjalan untuk mengambil tas yang ada di ruang tamu. Sebelum melangkah ke pintu depan, Lovarie menyambar bungkus rokok dan korek api milik Auriga yang diletakkan di meja. "Lo enggak butuh ini. Gue balik dulu. Thanks, Ga, for ... tonight. And sorry." Auriga menunggu Lovarie mengatakan hal yang mengganjal sejak tadi, dia tahu. Namun, hingga Lovarie sampai di pintu depan pun, gadis itu tidak mengatakannya. "Say it, Lov. Katakan, Lov." Lovarie membuka pintu rumah Auriga, membalik badannya. "Sebenernya gue mau minta maaf karena ... gue tadi tau lo ada di sana. Sejak awal. Sorry, Ga. Sorry banget." Seulas senyum tipis peninggalan Lovarie masih membekas di pintu yang sudah tertutup. Tatapan mata itu menghantuinya. Auriga marah, sedih, kecewa. Mengapa? Mengapa mata Lovarie bicara seolah dia sedih mengatakan hal itu? Auriga tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini terlalu mendadak. Terlalu menikam hatinya. Jadi ... Lovarie tahu dia berdiri menyaksikan mereka? How could .... Bagaimana bisa .... Senyum kecut tercipta di wajah kusut Auriga. Dia meminum tehnya hingga tandas. Mungkin bisa dibilang, ini adalah hari terburuk. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD